Cerpen Online. Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Hujan akhir november

Hujan akhir november ini, kau tahu? Betapa hal ini membuatku bahagia. Mungkin juga selama hidupku. Ada kisah yang amat menyenangkan di akhir bulan ini. Di sana terkandung sebuah kisah yang tak henti-henti ku syukuri. Kisah yang belum pernah aku mengalaminya. Dan kau, adalah pelengkap yang nyata kisah termanis itu.


Pagi itu, pagi yang terasa hambar, ibarat sayur tanpa garam. Hanya saja sebuah melati yang bermekaran di pekarangan rumah, cukup lumayan menemaniku. Antara sejuknya pagi dan basahnya embun. Ku lihat samar-samar bayangmu, ya, cuma bayangmu. Tak lebih dari itu. Karena ku tahu, kau tak mungkin datang kesini menemaniku. Kau seperti temali yang terjerat waktu. Tak bisa apa apa, dan tak sanggup melawannya lantas menemaniku.

Oh tidak, tidak mungkin kau menemaniku walaupun waktu tidak menjeratmu. Ya, ya, aku tahu, kau adalah manusia yang ku rindu, namun kau sendiri tak merasakan hal itu. Oh ya, kan ku ceritakan secara detil semua perasaanku terhadapmu. Perasaan yang bertahun tahun ku pendam tanpa sepengetahuan orang, apalagi semacam dirimu.

Tahukah kau? Sejak dulu memang aku ada rasa denganmu--rasa cinta lebih tepatnya. Sejak pertama aku memandangmu, sejak dahan-dahan dan ranting-ranting masih basah oleh air embun. Begitu sudah lamanya aku begitu, tentu saja hal itu hanya aku yang tahu.

Dulu, aku tak pernah merasakan seperti itu, rindu yang membara. Cinta yang membahana. Yang terpikirkan olehku hanyalah bermain dan bermain. Namun, ternyata benar. Filosofi orang-orang. Mereka benar adanya. Jika seseorang beranjak dewasa, ia akan mengenali apa itu cinta, apa itu rindu. Hukum alam yang tak akan tergantikan. Ah, hal ini benar-benar terjadi padaku. Membelit pada permukaan hati dan mendesaknya. Seperti terjerat.

Kau mungkin takkan pernah tahu, bahwa pagi itu, hari sabtu, aku sangat linglung. Mirip orang kesambet jin pendiam. Hari-hari hanya memandangi melati. Karena setiap kali ku melihat melati itu, aku selalu dan selalu terbayang wajahmu--yang cantik itu. Memandang dengan mata sayu. Terkatup katup lamban. Mirip bunga mawar kurang siraman air. Hari itu aku--merasakan puncak kerinduan. Dan berfikir, mengapa kau tak lekas bisa membaca pikiranku?, tak lekas mengerti arti penantianku.

Takkah kau kenal arti bahasa penantian? Atau tak mau mengenalinya? Coba saja kenal, pasti kau akan merasa iba terhadapku yang mirip pengemis. Terlunta-lunta. Ingin sekali kau sumbangkan taburan cinta itu padaku. Tapi kau, benar-benar tak kenal. Maka, sekalipun kau tak akan pernah mengerti bahwa aku, pengemis cinta.

Baru kali ini aku merasakan serindu-rindunya. Ternyata, rindu itu sakit, buat hati gelisah tak tentu arah. Apalagi mencoba tersenyum terasa tak mudah. Aku mondar-mandir, kesana-kemari. Menggigit jemari, kadang juga pulpen. Tak terasa sekali, aku sudah mengenalimu dua tahun silam. Serasa baru kemarin kita mengenalkan diri di depan kelas sebagai murid baru madrasah Aliyah. Serasa baru kemarin saja aku tatap matamu untuk pertama kalinya.

Dua tahun aku menyimpan rasa itu, bayangkan! Betapa aku tak ingin rasa cintaku berlari kemana saja jika ku mau, tak ingin cintaku tergadaikan ke orang selainmu. Dua tahun, jika kita merasa itu kesedihan, maka akan terasa lama. Lama sekali. Telur rindu tak kunjung terpecahkan olehmu.

'' I don't wanna fall in love but you.''

Kau memang pendiam, namun kependiamanmu keterlaluan. Hingga tak mampu membaca suara hatiku. Cobalah. Kau pandangi aku lekat-lekat. Jangan buru-buru lewat. Kau akan menemukan segenggam mutiara cintaku. Betapa itu ingin sekali kurasa. Ingatkah kau? Disaat ku memberimu beberapa surat berisi puisi-puisi, segenggam melati serta senyum pasti. Tapi kau menganggap itu soal remeh temeh. Tak perduli. Meski kau menyimpan puisi itu. Namun tetap saja kau tak bisa membaca pikiranku bahkan tak mau.

Aku mengagumimu. Iya, benar. Seperti orang-orang mengidolakan artis kesukaanya. Kaulah ibarat guru. Memberi teladan tentang ilmu-ilmu tata bicara. Diam mengagumkan, bicara lebih mengagumkan. Itu mungkin prinsip yang tertera di kehidupanmu. Mengajariku arti sebuah diam dan tak pernah bicara soal cinta. Ironisnya, aku tak suka hal itu. Sebab, saat itu aku ingin sekali engkau membuka pembicaraan tentang cinta. Serta lekas dapat membaca setiap urat nadiku adalah tentangmu. Tapi kau tetap diam, bahkan membisu.

Kau tak pernah bilang kalau aku ini sahabatmu, juga tak pernah bilang aku ini kekasih atau apalah. Kau memang pendiam, namun aku ingin sekali kau bicara. Oh ya, apa kau malu? Apa kau takut?

''you know? I am weak without you''

Sepuluh menit kemudian, aku tetap saja mondar-mandir. Dan hampir saja aku putus asa. Meninggalkanmu yang acuh tak acuh terhadap cinta. Namun, ada hal yang membuatku curiga. Apa yang aku cintai darimu? Sehingga dua tahun telah berlalu, aku bertahan di antara cinta yang bertepuk sebelah tangan, diantara gejolak rindu. Aku mulai berpikir, meski tempurung kepalaku terasa panas.

Dan jawabnya adalah, aku mencintaimu karena aku sendiri tak tahu maksudku.
Tak perlu lagi ku tafsirkan kata-kata di atas. Kerena ku sudah tak sanggup mengatakannya panjang lebar. Mulutku terlanjur kelu. Meski begitu, aku masih menyimpan pertanyaan. Kok ada orang sepertimu? Tak mengenali cinta.
Telah lama aku berfikir tentang bagaimana agar engkau mengerti, biar cintaku ini tak termakan api. Biar cintaku ini tak memudar. Tapi lagi-lagi aku tak kunjung-kunjung menemukan ide itu.

¤

Se-jam kemudian, entah ada angin apa, sebuah ide tak di duga-duga, muncul menyalang menyergap otakku
Aku teringat apa kata kak iqball rapper indonesia.

''jika kau merasakan cinta pada seseorang, maka ungkapkanlah, entah orang itu menerima atau tidak, yang penting kau sudah berani ungkapkan dan itu akan membuatmu lebih mengenal cinta. Serta tidak akan membuat hatimu sakit selanjutnya''

Aha, iya benar, aku harus ungkapkan dengan jelas. Dengan lisan yang jelas. Aku baru sadar, selama ini aku mencintaimu dengan isyarat dan kau tak mengerti isyarat itu.

Besoknya-- atau hari ini, hari jum'at. Aku menemuimu, dan apa jawabmu? Itulah yang mengejutkanku. Selama ini aku tak menyangka sekali, ketika ku katakan cinta padamu, di depan matamu. Kau hanya memandangku konyol. Namun aneh, buku diarymu terjatuh. Lempiran-lempiran itu berterbangan di terjang angin mendung.
Kau tak bisa menjawab dengan kata-kata, hanya anggukan saja. Aku berbenah diri, mengambil kertas-kertas yang berterbangan. Betapa hal itu membuatku bahagia. Mungkin seumur hidupku. Karena tertera jelas disana;

"Aku mencintaimu, tapi hatiku tak sanggup mengatakannya, sungguh tak sanggup. Hanya ku pendam saja, barangkali kau tahu. Aku mencintaimu sejak dulu, dua tahun yang lalu, dan aku, malu membuktikannya"

Seperti tersambar petir, seluruh tubuhku pyar-pyar. Gelombang seperti menerjangku kuat-kuat. Merasakan betapa engkau juga merasakan hal yang sama. Selama ini aku salah sangka, benar-benar salah sangka. Kau ulurkan tanganmu dan aku menyentuhnya, memegangnya. Betapa halus dan lembut. Dan di benakku, aku menyalahkan diriku, mengapa kita tak saling mengadu cinta sejak dulu. Mungkin kau juga menyalahkan dirimu.
Langit mulai menumpahkan air. Gerimis ini persis sekali di surga-surga. Gerimis yang mengundang cinta. Lama-lama gerimis itu berubah hujan, hujan yang belum pernah aku temukan. Hujan yang penuh kasih sayang.

"And now, i am very love the rain."

Dan kau tahu? Hujan akhir november ini, mengakhiri rasa rinduku padamu. Dan akan membuka lembaran-lembaran baru kisah hidup yang akan ku lalui bersamamu, bersama cintamu.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar