tag:blogger.com,1999:blog-15633492010081044012024-03-05T13:35:41.871-08:00Cerpen OnlineAde Maulana Rahmanhttp://www.blogger.com/profile/06806462507728421518noreply@blogger.comBlogger18125tag:blogger.com,1999:blog-1563349201008104401.post-6341122717061997922013-06-05T02:50:00.001-07:002013-06-05T02:50:22.721-07:00Cinta Laki Laki Biasa<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh7PyjX8LooR0YDZV6RyrDTeYb-3hTBY5-mFtQPB7qiHJqkavjDDY178H8uMEk-B7ET7oJjOwkbruZRr1L0gBoqIhLEX7n2EA83k0m64mVunuD6k3hgo1QH5TlgVJZAnWPK-yoRyAr6No6z/s1600/Cinta+laki2+biasa.jpg" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="185" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh7PyjX8LooR0YDZV6RyrDTeYb-3hTBY5-mFtQPB7qiHJqkavjDDY178H8uMEk-B7ET7oJjOwkbruZRr1L0gBoqIhLEX7n2EA83k0m64mVunuD6k3hgo1QH5TlgVJZAnWPK-yoRyAr6No6z/s320/Cinta+laki2+biasa.jpg" width="221" /></a></div>
Menjelang hari H, Nania masih saja sulit mengungkapkan alasan kenapa dia
mau menikah dengan lelaki itu. Baru setelah menengok ke belakang,
hari-hari yang dilalui, gadis cantik itu sadar, keheranan yang terjadi
bukan semata miliknya, melainkan menjadi milik banyak orang; Papa dan
Mama, kakak-kakak, tetangga, dan teman-teman Nania. Mereka ternyata sama
herannya.<br />
Kenapa? Tanya mereka di hari Nania mengantarkan surat undangan.<br />
<br />
<a href="http://www.blogger.com/null" name="more"></a><br /><br />
Saat
itu teman-teman baik Nania sedang duduk di kantin menikmati hari-hari
sidang yang baru saja berlalu. Suasana sore di kampus
sepi.Berpasang-pasang mata tertuju pada gadis itu.<br />
<br />
Tiba-tiba saja pipi Nania bersemu merah, lalu matanya berpijar bagaikan lampu neon limabelas watt.<span class="fullpost">
Hatinya sibuk merangkai kata-kata yg barangkali beterbangan di otak
melebihi kapasitas. Mulut Nania terbuka. Semua menunggu. Tapi tak ada
apapun yang keluar dari sana. Ia hanya menarik nafas, mencoba bicara
dan? menyadari, dia tak punya kata-kata!<br /><br />Dulu gadis berwajah indo
itu mengira punya banyak jawaban, alasan detil dan spesifik, kenapa
bersedia menikah dengan laki-laki itu. Tapi kejadian di kampus adalah
kali kedua Nania yang pintar berbicara mendadak gagap.Yang pertama
terjadi tiga bulan lalu saat Nania menyampaikan keinginan Rafli untuk
melamarnya. Arisan keluarga Nania dianggap momen yang tepat karena semua
berkumpul, bahkan hingga generasi ketiga, sebab kakak-kakaknya yang
sudah berkeluarga membawa serta buntut mereka.<br /><br />Kamu pasti bercanda!<br /><br />Nania
kaget. Tapi melihat senyum yang tersungging di wajah kakak tertua,
disusul senyum serupa dari kakak nomor dua, tiga, dan terakhir dari Papa
dan Mama membuat Nania menyimpulkan: mereka serius ketika mengira Nania
bercanda.<br /><br />Suasana sekonyong-konyong hening. Bahkan
keponakan-keponakan Nania yang balita melongo dengan gigi-gigi mereka
yang ompong. Semua menatap Nania!<br /><br />Nania serius! tegasnya sambil menebak-nebak, apa lucunya jika Rafli memang melamarnya.<br /><br />Tidak ada yang lucu, suara Papa tegas, Papa hanya tidak mengira Rafli berani melamar anak Papa yang paling cantik!<br /><br />Nania
tersenyum. Sedikit lega karena kalimat Papa barusan adalah pertanda
baik. Perkiraan Nania tidak sepenuhnya benar sebab setelah itu
berpasang-pasang mata kembali menghujaninya, seperti tatapan mata penuh
selidik seisi ruang pengadilan pada tertuduh yang duduk layaknya
pesakitan.<br /><br />Tapi Nania tidak serius dengan Rafli, kan? Mama
mengambil inisiatif bicara, masih seperti biasa dengan nada penuh
wibawa, maksud Mama siapa saja boleh datang melamar siapapun, tapi
jawabannya tidak harus iya, toh?<br /><br />Nania terkesima.<br /><br />Kenapa?<br /><br />Sebab kamu gadis Papa yang paling cantik.<br /><br />Sebab
kamu paling berprestasi dibandingkan kami. Mulai dari ajang busana,
sampai lomba beladiri. Kamu juga juara debat bahasa Inggris, juara baca
puisi seprovinsi. Suaramu bagus!<br /><br />Sebab masa depanmu cerah.
Sebentar lagi kamu meraih gelar insinyur.Bakatmu yang lain pun luar
biasa. Nania sayang, kamu bisa mendapatkan laki-laki manapun yang kamu
mau!<br /><br />Nania memandangi mereka, orang-orang yang amat dia kasihi,
Papa, kakak-kakak, dan terakhir Mama. Takjub dengan rentetan panjang
uraian mereka atau satu kata 'kenapa' yang barusan Nania lontarkan.<br /><br />Nania Cuma mau Rafli, sahutnya pendek dengan airmata mengambang di kelopak.<br /><br />Hari
itu dia tahu, keluarganya bukan sekadar tidak suka, melainkan sangat
tidak menyukai Rafli. Ketidaksukaan yang mencapai stadium empat. Parah.<br /><br />Tapi kenapa?<br /><br />Sebab
Rafli cuma laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan
biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yg amat sangat
biasa.<br /><br />Bergantian tiga saudara tua Nania mencoba membuka matanya.<br /><br />Tak ada yang bisa dilihat pada dia, Nania!<br /><br />Cukup!<br /><br />Nania
menjadi marah. Tidak pada tempatnya ukuran-ukuran duniawi menjadi
parameter kebaikan seseorang menjadi manusia. Di mana iman, di mana
tawakkal hingga begitu mudah menentukan masa depan seseorang dengan
melihat pencapaiannya hari ini?<br /><br />Sayangnya Nania lagi-lagi gagal
membuka mulut dan membela Rafli. Barangkali karena Nania memang tidak
tahu bagaimana harus membelanya. Gadis itu tak punya fakta dan data
konkret yang bisa membuat Rafli tampak 'luar biasa'. Nania Cuma punya
idealisme berdasarkan perasaan yang telah menuntun Nania menapaki hidup
hingga umur duapuluh tiga. Dan nalurinya menerima Rafli. Di sampingnya
Nania bahagia.<br /><br />Mereka akhirnya menikah.<br /><br />***<br /><br />Setahun pernikahan.<br /><br />Orang-orang
masih sering menanyakan hal itu, masih sering berbisik-bisik di
belakang Nania, apa sebenarnya yang dia lihat dari Rafli. Jeleknya,
Nania masih belum mampu juga menjelaskan kelebihan-kelebihan Rafli agar
tampak di mata mereka.<br /><br />Nania hanya merasakan cinta begitu besar
dari Rafli, begitu besar hingga Nania bisa merasakannya hanya dari
sentuhan tangan, tatapan mata, atau cara dia meladeni Nania. Hal-hal
sederhana yang membuat perempuan itu sangat bahagia.<br /><br />Tidak ada lelaki yang bisa mencintai sebesar cinta Rafli pada Nania.<br /><br />Nada suara Nania tegas, mantap, tanpa keraguan.<br /><br />Ketiga saudara Nania hanya memandang lekat, mata mereka terlihat tak percaya.<br /><br />Nia,
siapapun akan mudah mencintai gadis secantikmu! Kamu adik kami yang tak
hanya cantik, tapi juga pintar! Betul. Kamu adik kami yang cantik,
pintar, dan punya kehidupan sukses!<br /><br />Nania merasa lidahnya kelu.
Hatinya siap memprotes. Dan kali ini dilakukannya sungguh-sungguh.
Mereka tak boleh meremehkan Rafli.<br /><br />Beberapa lama keempat adik dan kakak itu beradu argumen.<br /><br />Tapi Rafli juga tidak jelek, Kak!<br />Betul. Tapi dia juga tidak ganteng kan?<br /><br />Rafli juga pintar!<br />Tidak sepintarmu, Nania.<br /><br />Rafli juga sukses, pekerjaannya lumayan.<br />Hanya lumayan, Nania. Bukan sukses. Tidak sepertimu.<br /><br />Seolah
tak ada apapun yang bisa meyakinkan kakak-kakaknya, bahwa adik mereka
beruntung mendapatkan suami seperti Rafli. Lagi-lagi percuma.<br /><br />Lihat hidupmu, Nania. Lalu lihat Rafli! Kamu sukses, mapan, kamu bahkan tidak perlu lelaki untuk menghidupimu.<br /><br />Teganya kakak-kakak Nania mengatakan itu semua. Padahal adik mereka sudah menikah dan sebentar lagi punya anak.<br /><br />Ketika
lima tahun pernikahan berlalu, ocehan itu tak juga berhenti. Padahal
Nania dan Rafli sudah memiliki dua orang anak, satu lelaki dan satu
perempuan. Keduanya menggemaskan. Rafli bekerja lebih rajin setelah
mereka memiliki anak-anak. Padahal itu tidak perlu sebab gaji Nania
lebih dari cukup untuk hidup senang. Tak apa, kata lelaki itu, ketika
Nania memintanya untuk tidak terlalu memforsir diri. Gaji Nania cukup,
maksud Nania jika digabungkan dengan gaji Abang.<br /><br />Nania tak
bermaksud menyinggung hati lelaki itu. Tapi dia tak perlu khawatir sebab
suaminya yang berjiwa besar selalu bisa menangkap hanya maksud baik..<br /><br />Sebaiknya
Nania tabungkan saja, untuk jaga-jaga. Ya? Lalu dia mengelus pipi Nania
dan mendaratkan kecupan lembut. Saat itu sesuatu seperti kejutan
listrik menyentakkan otak dan membuat pikiran Nania cerah.<br /><br />Inilah hidup yang diimpikan banyak orang. Bahagia!<br /><br />Pertanyaan
kenapa dia menikahi laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan
pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yang
amat sangat biasa, tak lagi mengusik perasaan Nania. Sebab ketika
bahagia, alasan-alasan menjadi tidak penting.<br /><br />Menginjak tahun
ketujuh pernikahan, posisi Nania di kantor semakin gemilang, uang
mengalir begitu mudah, rumah Nania besar, anak-anak pintar dan lucu, dan
Nania memiliki suami terbaik di dunia. Hidup perempuan itu berada di
puncak!<br /><br />Bisik-bisik masih terdengar, setiap Nania dan Rafli
melintas dan bergandengan mesra. Bisik orang-orang di kantor, bisik
tetangga kanan dan kiri, bisik saudara-saudara Nania, bisik Papa dan
Mama.<br /><br />Sungguh beruntung suaminya. Istrinya cantik.<br />Cantik ya? dan kaya!<br /><br />Tak imbang!<br /><br />Dulu
bisik-bisik itu membuatnya frustrasi. Sekarang pun masih, tapi Nania
belajar untuk bersikap cuek tidak peduli. Toh dia hidup dengan perasaan
bahagia yang kian membukit dari hari ke hari.<br /><br />Tahun kesepuluh
pernikahan, hidup Nania masih belum bergeser dari puncak. Anak-anak
semakin besar. Nania mengandung yang ketiga. Selama kurun waktu itu, tak
sekalipun Rafli melukai hati Nania, atau membuat Nania menangis.<br /><br />Bayi yang dikandung Nania tidak juga mau keluar. Sudah lewat dua minggu dari waktunya.<br /><br />Plasenta kamu sudah berbintik-bintik. Sudah tua, Nania. Harus segera dikeluarkan!<br /><br />Mula-mula
dokter kandungan langganan Nania memasukkan sejenis obat ke dalam rahim
Nania. Obat itu akan menimbulkan kontraksi hebat hingga perempuan itu
merasakan sakit yang teramat sangat. Jika semuanya normal, hanya dalam
hitungan jam, mereka akan segera melihat si kecil.<br /><br />Rafli tidak
beranjak dari sisi tempat tidur Nania di rumah sakit. Hanya waktu-waktu
shalat lelaki itu meninggalkannya sebentar ke kamar mandi, dan
menunaikan shalat di sisi tempat tidur. Sementara kakak-kakak serta
orangtua Nania belum satu pun yang datang.<br /><br />Anehnya, meski obat
kedua sudah dimasukkan, delapan jam setelah obat pertama, Nania tak
menunjukkan tanda-tanda akan melahirkan. Rasa sakit dan melilit sudah
dirasakan Nania per lima menit, lalu tiga menit. Tapi pembukaan berjalan
lambat sekali.<br /><br />Baru pembukaan satu.<br />Belum ada perubahan, Bu.<br />Sudah bertambah sedikit, kata seorang suster empat jam kemudian menyemaikan harapan.<br /><br />Sekarang
pembukaan satu lebih sedikit. Nania dan Rafli berpandangan. Mereka
sepakat suster terakhir yang memeriksa memiliki sense of humor yang
tinggi.<br /><br />Tigapuluh jam berlalu. Nania baru pembukaan dua. Ketika
pembukaan pecah, didahului keluarnya darah, mereka terlonjak bahagia
sebab dulu-dulu kelahiran akan mengikuti setelah ketuban pecah.
Perkiraan mereka meleset.<br /><br />Masih pembukaan dua, Pak!<br />Rafli
tercengang. Cemas. Nania tak bisa menghibur karena rasa sakit yang sudah
tak sanggup lagi ditanggungnya. Kondisi perempuan itu makin payah.
Sejak pagi tak sesuap nasi pun bisa ditelannya.<br /><br />Bang?<br />Rafli termangu. Iba hatinya melihat sang istri memperjuangkan dua kehidupan.<br /><br />Dokter?<br /><br />Kita operasi, Nia. Bayinya mungkin terlilit tali pusar.<br /><br />Mungkin?<br />Rafli dan Nania berpandangan. Kenapa tidak dari tadi kalau begitu?<br />Bagaimana jika terlambat?<br /><br />Mereka
berpandangan, Nania berusaha mengusir kekhawatiran. Ia senang karena
Rafli tidak melepaskan genggaman tangannya hingga ke pintu kamar
operasi. Ia tak suka merasa sendiri lebih awal.<br /><br />Pembiusan
dilakukan, Nania digiring ke ruangan serba putih. Sebuah sekat ditaruh
di perutnya hingga dia tidak bisa menyaksikan ketrampilan dokter-dokter
itu. Sebuah lagu dimainkan. Nania merasa berada dalam perahu yang
diguncang ombak. Berayun-ayun. Kesadarannya naik-turun. Terakhir,
telinga perempuan itu sempat menangkap teriakan-teriakan di sekitarnya,
dan langkah-langkah cepat yang bergerak, sebelum kemudian dia tak
sadarkan diri.<br /><br />Kepanikan ada di udara. Bahkan dari luar Rafli bisa menciumnya. Bibir lelaki itu tak berhenti melafalkan zikir.<br /><br />Seorang dokter keluar, Rafli dan keluarga Nania mendekat.<br /><br />Pendarahan hebat!<br /><br />Rafli
membayangkan sebuah sumber air yang meluap, berwarna merah. Ada varises
di mulut rahim yang tidak terdeteksi dan entah bagaimana pecah! Bayi
mereka selamat, tapi Nania dalam kondisi kritis.<br /><br />Mama Nania yang
baru tiba, menangis. Papa termangu lama sekali. Saudara-saudara Nania
menyimpan isak, sambil menenangkan orangtua mereka.<br /><br />Rafli seperti
berada dalam atmosfer yang berbeda. Lelaki itu tercenung beberapa saat,
ada rasa cemas yang mengalir di pembuluh-pembuluh darahnya dan tak bisa
dihentikan, menyebar dan meluas cepat seperti kanker.<br /><br />Setelah itu adalah hari-hari penuh doa bagi Nania.<br /><br />Sudah
seminggu lebih Nania koma. Selama itu Rafli bolak-balik dari
kediamannya ke rumah sakit. Ia harus membagi perhatian bagi Nania dan
juga anak-anak. Terutama anggota keluarganya yang baru, si kecil. Bayi
itu sungguh menakjubkan, fisiknya sangat kuat, juga daya hisapnya. Tidak
sampai empat hari, mereka sudah oleh membawanya pulang.<br /><br />Mama,
Papa, dan ketiga saudara Nania terkadang ikut menunggui Nania di rumah
sakit, sesekali mereka ke rumah dan melihat perkembangan si kecil. Walau
tak banyak, mulai terjadi percakapan antara pihak keluarga Nania dengan
Rafli.<br /><br />Lelaki itu sungguh luar biasa. Ia nyaris tak pernah
meninggalkan rumah sakit, kecuali untuk melihat anak-anak di rumah.
Syukurnya pihak perusahaan tempat Rafli bekerja mengerti dan memberikan
izin penuh. Toh, dedikasi Rafli terhadap kantor tidak perlu diragukan.<br /><br />Begitulah
Rafli menjaga Nania siang dan malam. Dibawanya sebuah Quran kecil,
dibacakannya dekat telinga Nania yang terbaring di ruang ICU. Kadang
perawat dan pengunjung lain yang kebetulan menjenguk sanak famili
mereka, melihat lelaki dengan penampilan sederhana itu bercakap-cakap
dan bercanda mesra..<br /><br />Rafli percaya meskipun tidak mendengar, Nania bisa merasakan kehadirannya.<br /><br />Nania, bangun, Cinta?<br />Kata-kata itu dibisikkannya berulang-ulang sambil mencium tangan, pipi dan kening istrinya yang cantik.<br /><br />Ketika
sepuluh hari berlalu, dan pihak keluarga mulai pesimis dan berfikir
untuk pasrah, Rafli masih berjuang. Datang setiap hari ke rumah sakit,
mengaji dekat Nania sambil menggenggam tangan istrinya mesra. Kadang
lelaki itu membawakan buku-buku kesukaan Nania ke rumah sakit dan
membacanya dengan suara pelan. Memberikan tambahan di bagian ini dan
itu. Sambil tak bosan-bosannya berbisik,<br /><br />Nania, bangun, Cinta?<br />Malam-malam
penantian dilewatkan Rafli dalam sujud dan permohonan. Asalkan Nania
sadar, yang lain tak jadi soal. Asalkan dia bisa melihat lagi cahaya di
mata kekasihnya, senyum di bibir Nania, semua yang menjadi sumber
semangat bagi orang-orang di sekitarnya, bagi Rafli.<br /><br />Rumah mereka
tak sama tanpa kehadiran Nania. Anak-anak merindukan ibunya. Di luar
itu Rafli tak memedulikan yang lain, tidak wajahnya yang lama tak
bercukur, atau badannya yang semakin kurus akibat sering lupa makan.<br /><br />Ia
ingin melihat Nania lagi dan semua antusias perempuan itu di mata,
gerak bibir, kernyitan kening, serta gerakan-gerakan kecil lain di
wajahnya yang cantik. Nania sudah tidur terlalu lama.<br /><br />Pada hari ketigapuluh tujuh doa Rafli terjawab. Nania sadar dan wajah penat Rafli adalah yang pertama ditangkap matanya.<br /><br />Seakan
telah begitu lama. Rafli menangis, menggenggam tangan Nania dan
mendekapkannya ke dadanya, mengucapkan syukur berulang-ulang dengan
airmata yang meleleh.<br /><br />Asalkan Nania sadar, semua tak penting lagi.<br /><br />Rafli
membuktikan kata-kata yang diucapkannya beratus kali dalam doa. Lelaki
biasa itu tak pernah lelah merawat Nania selama sebelas tahun terakhir.
Memandikan dan menyuapi Nania, lalu mengantar anak-anak ke sekolah satu
per satu. Setiap sore setelah pulang kantor, lelaki itu cepat-cepat
menuju rumah dan menggendong Nania ke teras, melihat senja datang sambil
memangku Nania seperti remaja belasan tahun yang sedang jatuh cinta.<br /><br />Ketika
malam Rafli mendandani Nania agar cantik sebelum tidur. Membersihkan
wajah pucat perempuan cantik itu, memakaikannya gaun tidur. Ia ingin
Nania selalu merasa cantik. Meski seringkali Nania mengatakan itu tak
perlu. Bagaimana bisa merasa cantik dalam keadaan lumpuh?<br /><br />Tapi
Rafli dengan upayanya yang terus-menerus dan tak kenal lelah selalu
meyakinkan Nania, membuatnya pelan-pelan percaya bahwa dialah perempuan
paling cantik dan sempurna di dunia. Setidaknya di mata Rafli.<br /><br />Setiap
hari Minggu Rafli mengajak mereka sekeluarga jalan-jalan keluar. Selama
itu pula dia selalu menyertakan Nania. Belanja, makan di restoran,
nonton bioskop, rekreasi ke manapun Nania harus ikut. Anak-anak, seperti
juga Rafli, melakukan hal yang sama, selalu melibatkan Nania. Begitu
bertahun-tahun.<br /><br />Awalnya tentu Nania sempat merasa risih dengan
pandangan orang-orang di sekitarnya. Mereka semua yang menatapnya iba,
lebih-lebih pada Rafli yang berkeringat mendorong kursi roda Nania ke
sana kemari. Masih dengan senyum hangat di antara wajahnya yang bermanik
keringat.<br /><br />Lalu berangsur Nania menyadari, mereka, orang-orang
yang ditemuinya di jalan, juga tetangga-tetangga, sahabat, dan
teman-teman Nania tak puas hanya memberi pandangan iba, namun juga
mengomentari, mengoceh, semua berbisik-bisik.<br /><br />Baik banget suaminya!<br />Lelaki lain mungkin sudah cari perempuan kedua!<br /><br />Nania beruntung!<br />Ya, memiliki seseorang yang menerima dia apa adanya.<br /><br />Tidak,
tidak cuma menerima apa adanya, kalian lihat bagaimana suaminya
memandang penuh cinta. Sedikit pun tak pernah bermuka masam!<br /><br />Bisik-bisik serupa juga lahir dari kakaknya yang tiga orang, Papa dan Mama.<br /><br />Bisik-bisik yang serupa dengungan dan sempat membuat Nania makin frustrasi, merasa tak berani, merasa?<br /><br />Tapi
dia salah. Sangat salah. Nania menyadari itu kemudian. Orang-orang di
luar mereka memang tetap berbisik-bisik, barangkali selamanya akan
selalu begitu. Hanya saja, bukankah bisik-bisik itu kini berbeda bunyi?<br /><br />Dari
teras Nania menyaksikan anak-anaknya bermain basket dengan ayah
mereka.. Sesekali perempuan itu ikut tergelak melihat kocak permainan.<br /><br />Ya.
Duapuluh dua tahun pernikahan. Nania menghitung-hitung semua, anak-anak
yang beranjak dewasa, rumah besar yang mereka tempati, kehidupan yang
lebih dari yang bisa dia syukuri. Meski tubuhnya tak berfungsi<br />sempurna. Meski kecantikannya tak lagi sama karena usia, meski karir telah direbut takdir dari tangannya.<br /><br />Waktu telah membuktikan segalanya. Cinta luar biasa dari laki-laki biasa yang tak pernah berubah, untuk Nania.<br /><br />Seperti yg diceritakan oleh seorang sahabat..<br /><br />- Asma Nadia -<br />Menjelang
hari H, Nania masih saja sulit mengungkapkan alasan kenapa dia mau
menikah dengan lelaki itu. Baru setelah menengok ke belakang, hari-hari
yang dilalui, gadis cantik itu sadar, keheranan yang terjadi bukan
semata miliknya, melainkan menjadi milik banyak orang; Papa dan Mama,
kakak-kakak, tetangga, dan teman-teman Nania. Mereka ternyata sama
herannya.<br /><br />Kenapa? Tanya mereka di hari Nania mengantarkan surat undangan.<br /><br />Saat
itu teman-teman baik Nania sedang duduk di kantin menikmati hari-hari
sidang yang baru saja berlalu. Suasana sore di kampus
sepi.Berpasang-pasang mata tertuju pada gadis itu.<br /><br />Tiba-tiba saja
pipi Nania bersemu merah, lalu matanya berpijar bagaikan lampu neon
limabelas watt. Hatinya sibuk merangkai kata-kata yg barangkali
beterbangan di otak melebihi kapasitas. Mulut Nania terbuka. Semua
menunggu. Tapi tak ada apapun yang keluar dari sana. Ia hanya menarik
nafas, mencoba bicara dan? menyadari, dia tak punya kata-kata!<br /><br />Dulu
gadis berwajah indo itu mengira punya banyak jawaban, alasan detil dan
spesifik, kenapa bersedia menikah dengan laki-laki itu. Tapi kejadian di
kampus adalah kali kedua Nania yang pintar berbicara mendadak
gagap.Yang pertama terjadi tiga bulan lalu saat Nania menyampaikan
keinginan Rafli untuk melamarnya. Arisan keluarga Nania dianggap momen
yang tepat karena semua berkumpul, bahkan hingga generasi ketiga, sebab
kakak-kakaknya yang sudah berkeluarga membawa serta buntut mereka.<br /><br />Kamu pasti bercanda!<br /><br />Nania
kaget. Tapi melihat senyum yang tersungging di wajah kakak tertua,
disusul senyum serupa dari kakak nomor dua, tiga, dan terakhir dari Papa
dan Mama membuat Nania menyimpulkan: mereka serius ketika mengira Nania
bercanda.<br /><br />Suasana sekonyong-konyong hening. Bahkan
keponakan-keponakan Nania yang balita melongo dengan gigi-gigi mereka
yang ompong. Semua menatap Nania!<br /><br />Nania serius! tegasnya sambil menebak-nebak, apa lucunya jika Rafli memang melamarnya.<br /><br />Tidak ada yang lucu, suara Papa tegas, Papa hanya tidak mengira Rafli berani melamar anak Papa yang paling cantik!<br /><br />Nania
tersenyum. Sedikit lega karena kalimat Papa barusan adalah pertanda
baik. Perkiraan Nania tidak sepenuhnya benar sebab setelah itu
berpasang-pasang mata kembali menghujaninya, seperti tatapan mata penuh
selidik seisi ruang pengadilan pada tertuduh yang duduk layaknya
pesakitan.<br /><br />Tapi Nania tidak serius dengan Rafli, kan? Mama
mengambil inisiatif bicara, masih seperti biasa dengan nada penuh
wibawa, maksud Mama siapa saja boleh datang melamar siapapun, tapi
jawabannya tidak harus iya, toh?<br /><br />Nania terkesima.<br /><br />Kenapa?<br /><br />Sebab kamu gadis Papa yang paling cantik.<br /><br />Sebab
kamu paling berprestasi dibandingkan kami. Mulai dari ajang busana,
sampai lomba beladiri. Kamu juga juara debat bahasa Inggris, juara baca
puisi seprovinsi. Suaramu bagus!<br /><br />Sebab masa depanmu cerah.
Sebentar lagi kamu meraih gelar insinyur.Bakatmu yang lain pun luar
biasa. Nania sayang, kamu bisa mendapatkan laki-laki manapun yang kamu
mau!<br /><br />Nania memandangi mereka, orang-orang yang amat dia kasihi,
Papa, kakak-kakak, dan terakhir Mama. Takjub dengan rentetan panjang
uraian mereka atau satu kata 'kenapa' yang barusan Nania lontarkan.<br /><br />Nania Cuma mau Rafli, sahutnya pendek dengan airmata mengambang di kelopak.<br /><br />Hari
itu dia tahu, keluarganya bukan sekadar tidak suka, melainkan sangat
tidak menyukai Rafli. Ketidaksukaan yang mencapai stadium empat. Parah.<br /><br />Tapi kenapa?<br /><br />Sebab
Rafli cuma laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan
biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yg amat sangat
biasa.<br /><br />Bergantian tiga saudara tua Nania mencoba membuka matanya.<br /><br />Tak ada yang bisa dilihat pada dia, Nania!<br /><br />Cukup!<br /><br />Nania
menjadi marah. Tidak pada tempatnya ukuran-ukuran duniawi menjadi
parameter kebaikan seseorang menjadi manusia. Di mana iman, di mana
tawakkal hingga begitu mudah menentukan masa depan seseorang dengan
melihat pencapaiannya hari ini?<br /><br />Sayangnya Nania lagi-lagi gagal
membuka mulut dan membela Rafli. Barangkali karena Nania memang tidak
tahu bagaimana harus membelanya. Gadis itu tak punya fakta dan data
konkret yang bisa membuat Rafli tampak 'luar biasa'. Nania Cuma punya
idealisme berdasarkan perasaan yang telah menuntun Nania menapaki hidup
hingga umur duapuluh tiga. Dan nalurinya menerima Rafli. Di sampingnya
Nania bahagia.<br /><br />Mereka akhirnya menikah.<br /><br />***<br /><br />Setahun pernikahan.<br /><br />Orang-orang
masih sering menanyakan hal itu, masih sering berbisik-bisik di
belakang Nania, apa sebenarnya yang dia lihat dari Rafli. Jeleknya,
Nania masih belum mampu juga menjelaskan kelebihan-kelebihan Rafli agar
tampak di mata mereka.<br /><br />Nania hanya merasakan cinta begitu besar
dari Rafli, begitu besar hingga Nania bisa merasakannya hanya dari
sentuhan tangan, tatapan mata, atau cara dia meladeni Nania. Hal-hal
sederhana yang membuat perempuan itu sangat bahagia.<br /><br />Tidak ada lelaki yang bisa mencintai sebesar cinta Rafli pada Nania.<br /><br />Nada suara Nania tegas, mantap, tanpa keraguan.<br /><br />Ketiga saudara Nania hanya memandang lekat, mata mereka terlihat tak percaya.<br /><br />Nia,
siapapun akan mudah mencintai gadis secantikmu! Kamu adik kami yang tak
hanya cantik, tapi juga pintar! Betul. Kamu adik kami yang cantik,
pintar, dan punya kehidupan sukses!<br /><br />Nania merasa lidahnya kelu.
Hatinya siap memprotes. Dan kali ini dilakukannya sungguh-sungguh.
Mereka tak boleh meremehkan Rafli.<br /><br />Beberapa lama keempat adik dan kakak itu beradu argumen.<br /><br />Tapi Rafli juga tidak jelek, Kak!<br />Betul. Tapi dia juga tidak ganteng kan?<br /><br />Rafli juga pintar!<br />Tidak sepintarmu, Nania.<br /><br />Rafli juga sukses, pekerjaannya lumayan.<br />Hanya lumayan, Nania. Bukan sukses. Tidak sepertimu.<br /><br />Seolah
tak ada apapun yang bisa meyakinkan kakak-kakaknya, bahwa adik mereka
beruntung mendapatkan suami seperti Rafli. Lagi-lagi percuma.<br /><br />Lihat hidupmu, Nania. Lalu lihat Rafli! Kamu sukses, mapan, kamu bahkan tidak perlu lelaki untuk menghidupimu.<br /><br />Teganya kakak-kakak Nania mengatakan itu semua. Padahal adik mereka sudah menikah dan sebentar lagi punya anak.<br /><br />Ketika
lima tahun pernikahan berlalu, ocehan itu tak juga berhenti. Padahal
Nania dan Rafli sudah memiliki dua orang anak, satu lelaki dan satu
perempuan. Keduanya menggemaskan. Rafli bekerja lebih rajin setelah
mereka memiliki anak-anak. Padahal itu tidak perlu sebab gaji Nania
lebih dari cukup untuk hidup senang. Tak apa, kata lelaki itu, ketika
Nania memintanya untuk tidak terlalu memforsir diri. Gaji Nania cukup,
maksud Nania jika digabungkan dengan gaji Abang.<br /><br />Nania tak
bermaksud menyinggung hati lelaki itu. Tapi dia tak perlu khawatir sebab
suaminya yang berjiwa besar selalu bisa menangkap hanya maksud baik..<br /><br />Sebaiknya
Nania tabungkan saja, untuk jaga-jaga. Ya? Lalu dia mengelus pipi Nania
dan mendaratkan kecupan lembut. Saat itu sesuatu seperti kejutan
listrik menyentakkan otak dan membuat pikiran Nania cerah.<br /><br />Inilah hidup yang diimpikan banyak orang. Bahagia!<br /><br />Pertanyaan
kenapa dia menikahi laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan
pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yang
amat sangat biasa, tak lagi mengusik perasaan Nania. Sebab ketika
bahagia, alasan-alasan menjadi tidak penting.<br /><br />Menginjak tahun
ketujuh pernikahan, posisi Nania di kantor semakin gemilang, uang
mengalir begitu mudah, rumah Nania besar, anak-anak pintar dan lucu, dan
Nania memiliki suami terbaik di dunia. Hidup perempuan itu berada di
puncak!<br /><br />Bisik-bisik masih terdengar, setiap Nania dan Rafli
melintas dan bergandengan mesra. Bisik orang-orang di kantor, bisik
tetangga kanan dan kiri, bisik saudara-saudara Nania, bisik Papa dan
Mama.<br /><br />Sungguh beruntung suaminya. Istrinya cantik.<br />Cantik ya? dan kaya!<br /><br />Tak imbang!<br /><br />Dulu
bisik-bisik itu membuatnya frustrasi. Sekarang pun masih, tapi Nania
belajar untuk bersikap cuek tidak peduli. Toh dia hidup dengan perasaan
bahagia yang kian membukit dari hari ke hari.<br /><br />Tahun kesepuluh
pernikahan, hidup Nania masih belum bergeser dari puncak. Anak-anak
semakin besar. Nania mengandung yang ketiga. Selama kurun waktu itu, tak
sekalipun Rafli melukai hati Nania, atau membuat Nania menangis.<br /><br />Bayi yang dikandung Nania tidak juga mau keluar. Sudah lewat dua minggu dari waktunya.<br /><br />Plasenta kamu sudah berbintik-bintik. Sudah tua, Nania. Harus segera dikeluarkan!<br /><br />Mula-mula
dokter kandungan langganan Nania memasukkan sejenis obat ke dalam rahim
Nania. Obat itu akan menimbulkan kontraksi hebat hingga perempuan itu
merasakan sakit yang teramat sangat. Jika semuanya normal, hanya dalam
hitungan jam, mereka akan segera melihat si kecil.<br /><br />Rafli tidak
beranjak dari sisi tempat tidur Nania di rumah sakit. Hanya waktu-waktu
shalat lelaki itu meninggalkannya sebentar ke kamar mandi, dan
menunaikan shalat di sisi tempat tidur. Sementara kakak-kakak serta
orangtua Nania belum satu pun yang datang.<br /><br />Anehnya, meski obat
kedua sudah dimasukkan, delapan jam setelah obat pertama, Nania tak
menunjukkan tanda-tanda akan melahirkan. Rasa sakit dan melilit sudah
dirasakan Nania per lima menit, lalu tiga menit. Tapi pembukaan berjalan
lambat sekali.<br /><br />Baru pembukaan satu.<br />Belum ada perubahan, Bu.<br />Sudah bertambah sedikit, kata seorang suster empat jam kemudian menyemaikan harapan.<br /><br />Sekarang
pembukaan satu lebih sedikit. Nania dan Rafli berpandangan. Mereka
sepakat suster terakhir yang memeriksa memiliki sense of humor yang
tinggi.<br /><br />Tigapuluh jam berlalu. Nania baru pembukaan dua. Ketika
pembukaan pecah, didahului keluarnya darah, mereka terlonjak bahagia
sebab dulu-dulu kelahiran akan mengikuti setelah ketuban pecah.
Perkiraan mereka meleset.<br /><br />Masih pembukaan dua, Pak!<br />Rafli
tercengang. Cemas. Nania tak bisa menghibur karena rasa sakit yang sudah
tak sanggup lagi ditanggungnya. Kondisi perempuan itu makin payah.
Sejak pagi tak sesuap nasi pun bisa ditelannya.<br /><br />Bang?<br />Rafli termangu. Iba hatinya melihat sang istri memperjuangkan dua kehidupan.<br /><br />Dokter?<br /><br />Kita operasi, Nia. Bayinya mungkin terlilit tali pusar.<br /><br />Mungkin?<br />Rafli dan Nania berpandangan. Kenapa tidak dari tadi kalau begitu?<br />Bagaimana jika terlambat?<br /><br />Mereka
berpandangan, Nania berusaha mengusir kekhawatiran. Ia senang karena
Rafli tidak melepaskan genggaman tangannya hingga ke pintu kamar
operasi. Ia tak suka merasa sendiri lebih awal.<br /><br />Pembiusan
dilakukan, Nania digiring ke ruangan serba putih. Sebuah sekat ditaruh
di perutnya hingga dia tidak bisa menyaksikan ketrampilan dokter-dokter
itu. Sebuah lagu dimainkan. Nania merasa berada dalam perahu yang
diguncang ombak. Berayun-ayun. Kesadarannya naik-turun. Terakhir,
telinga perempuan itu sempat menangkap teriakan-teriakan di sekitarnya,
dan langkah-langkah cepat yang bergerak, sebelum kemudian dia tak
sadarkan diri.<br /><br />Kepanikan ada di udara. Bahkan dari luar Rafli bisa menciumnya. Bibir lelaki itu tak berhenti melafalkan zikir.<br /><br />Seorang dokter keluar, Rafli dan keluarga Nania mendekat.<br /><br />Pendarahan hebat!<br /><br />Rafli
membayangkan sebuah sumber air yang meluap, berwarna merah. Ada varises
di mulut rahim yang tidak terdeteksi dan entah bagaimana pecah! Bayi
mereka selamat, tapi Nania dalam kondisi kritis.<br /><br />Mama Nania yang
baru tiba, menangis. Papa termangu lama sekali. Saudara-saudara Nania
menyimpan isak, sambil menenangkan orangtua mereka.<br /><br />Rafli seperti
berada dalam atmosfer yang berbeda. Lelaki itu tercenung beberapa saat,
ada rasa cemas yang mengalir di pembuluh-pembuluh darahnya dan tak bisa
dihentikan, menyebar dan meluas cepat seperti kanker.<br /><br />Setelah itu adalah hari-hari penuh doa bagi Nania.<br /><br />Sudah
seminggu lebih Nania koma. Selama itu Rafli bolak-balik dari
kediamannya ke rumah sakit. Ia harus membagi perhatian bagi Nania dan
juga anak-anak. Terutama anggota keluarganya yang baru, si kecil. Bayi
itu sungguh menakjubkan, fisiknya sangat kuat, juga daya hisapnya. Tidak
sampai empat hari, mereka sudah oleh membawanya pulang.<br /><br />Mama,
Papa, dan ketiga saudara Nania terkadang ikut menunggui Nania di rumah
sakit, sesekali mereka ke rumah dan melihat perkembangan si kecil. Walau
tak banyak, mulai terjadi percakapan antara pihak keluarga Nania dengan
Rafli.<br /><br />Lelaki itu sungguh luar biasa. Ia nyaris tak pernah
meninggalkan rumah sakit, kecuali untuk melihat anak-anak di rumah.
Syukurnya pihak perusahaan tempat Rafli bekerja mengerti dan memberikan
izin penuh. Toh, dedikasi Rafli terhadap kantor tidak perlu diragukan.<br /><br />Begitulah
Rafli menjaga Nania siang dan malam. Dibawanya sebuah Quran kecil,
dibacakannya dekat telinga Nania yang terbaring di ruang ICU. Kadang
perawat dan pengunjung lain yang kebetulan menjenguk sanak famili
mereka, melihat lelaki dengan penampilan sederhana itu bercakap-cakap
dan bercanda mesra..<br /><br />Rafli percaya meskipun tidak mendengar, Nania bisa merasakan kehadirannya.<br /><br />Nania, bangun, Cinta?<br />Kata-kata itu dibisikkannya berulang-ulang sambil mencium tangan, pipi dan kening istrinya yang cantik.<br /><br />Ketika
sepuluh hari berlalu, dan pihak keluarga mulai pesimis dan berfikir
untuk pasrah, Rafli masih berjuang. Datang setiap hari ke rumah sakit,
mengaji dekat Nania sambil menggenggam tangan istrinya mesra. Kadang
lelaki itu membawakan buku-buku kesukaan Nania ke rumah sakit dan
membacanya dengan suara pelan. Memberikan tambahan di bagian ini dan
itu. Sambil tak bosan-bosannya berbisik,<br /><br />Nania, bangun, Cinta?<br />Malam-malam
penantian dilewatkan Rafli dalam sujud dan permohonan. Asalkan Nania
sadar, yang lain tak jadi soal. Asalkan dia bisa melihat lagi cahaya di
mata kekasihnya, senyum di bibir Nania, semua yang menjadi sumber
semangat bagi orang-orang di sekitarnya, bagi Rafli.<br /><br />Rumah mereka
tak sama tanpa kehadiran Nania. Anak-anak merindukan ibunya. Di luar
itu Rafli tak memedulikan yang lain, tidak wajahnya yang lama tak
bercukur, atau badannya yang semakin kurus akibat sering lupa makan.<br /><br />Ia
ingin melihat Nania lagi dan semua antusias perempuan itu di mata,
gerak bibir, kernyitan kening, serta gerakan-gerakan kecil lain di
wajahnya yang cantik. Nania sudah tidur terlalu lama.<br /><br />Pada hari ketigapuluh tujuh doa Rafli terjawab. Nania sadar dan wajah penat Rafli adalah yang pertama ditangkap matanya.<br /><br />Seakan
telah begitu lama. Rafli menangis, menggenggam tangan Nania dan
mendekapkannya ke dadanya, mengucapkan syukur berulang-ulang dengan
airmata yang meleleh.<br /><br />Asalkan Nania sadar, semua tak penting lagi.<br /><br />Rafli
membuktikan kata-kata yang diucapkannya beratus kali dalam doa. Lelaki
biasa itu tak pernah lelah merawat Nania selama sebelas tahun terakhir.
Memandikan dan menyuapi Nania, lalu mengantar anak-anak ke sekolah satu
per satu. Setiap sore setelah pulang kantor, lelaki itu cepat-cepat
menuju rumah dan menggendong Nania ke teras, melihat senja datang sambil
memangku Nania seperti remaja belasan tahun yang sedang jatuh cinta.<br /><br />Ketika
malam Rafli mendandani Nania agar cantik sebelum tidur. Membersihkan
wajah pucat perempuan cantik itu, memakaikannya gaun tidur. Ia ingin
Nania selalu merasa cantik. Meski seringkali Nania mengatakan itu tak
perlu. Bagaimana bisa merasa cantik dalam keadaan lumpuh?<br /><br />Tapi
Rafli dengan upayanya yang terus-menerus dan tak kenal lelah selalu
meyakinkan Nania, membuatnya pelan-pelan percaya bahwa dialah perempuan
paling cantik dan sempurna di dunia. Setidaknya di mata Rafli.<br /><br />Setiap
hari Minggu Rafli mengajak mereka sekeluarga jalan-jalan keluar. Selama
itu pula dia selalu menyertakan Nania. Belanja, makan di restoran,
nonton bioskop, rekreasi ke manapun Nania harus ikut. Anak-anak, seperti
juga Rafli, melakukan hal yang sama, selalu melibatkan Nania. Begitu
bertahun-tahun.<br /><br />Awalnya tentu Nania sempat merasa risih dengan
pandangan orang-orang di sekitarnya. Mereka semua yang menatapnya iba,
lebih-lebih pada Rafli yang berkeringat mendorong kursi roda Nania ke
sana kemari. Masih dengan senyum hangat di antara wajahnya yang bermanik
keringat.<br /><br />Lalu berangsur Nania menyadari, mereka, orang-orang
yang ditemuinya di jalan, juga tetangga-tetangga, sahabat, dan
teman-teman Nania tak puas hanya memberi pandangan iba, namun juga
mengomentari, mengoceh, semua berbisik-bisik.<br /><br />Baik banget suaminya!<br />Lelaki lain mungkin sudah cari perempuan kedua!<br /><br />Nania beruntung!<br />Ya, memiliki seseorang yang menerima dia apa adanya.<br /><br />Tidak,
tidak cuma menerima apa adanya, kalian lihat bagaimana suaminya
memandang penuh cinta. Sedikit pun tak pernah bermuka masam!<br /><br />Bisik-bisik serupa juga lahir dari kakaknya yang tiga orang, Papa dan Mama.<br /><br />Bisik-bisik yang serupa dengungan dan sempat membuat Nania makin frustrasi, merasa tak berani, merasa?<br /><br />Tapi
dia salah. Sangat salah. Nania menyadari itu kemudian. Orang-orang di
luar mereka memang tetap berbisik-bisik, barangkali selamanya akan
selalu begitu. Hanya saja, bukankah bisik-bisik itu kini berbeda bunyi?<br /><br />Dari
teras Nania menyaksikan anak-anaknya bermain basket dengan ayah
mereka.. Sesekali perempuan itu ikut tergelak melihat kocak permainan.<br /><br />Ya.
Duapuluh dua tahun pernikahan. Nania menghitung-hitung semua, anak-anak
yang beranjak dewasa, rumah besar yang mereka tempati, kehidupan yang
lebih dari yang bisa dia syukuri. Meski tubuhnya tak berfungsi<br />sempurna. Meski kecantikannya tak lagi sama karena usia, meski karir telah direbut takdir dari tangannya.<br /><br />Waktu telah membuktikan segalanya. Cinta luar biasa dari laki-laki biasa yang tak pernah berubah, untuk Nania.</span>Ade Maulana Rahmanhttp://www.blogger.com/profile/06806462507728421518noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1563349201008104401.post-18364215809632822662013-06-05T02:49:00.001-07:002013-06-05T02:49:22.357-07:00Kisah Cinta yang Mengharukan<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiDGNvVu91KdA_-cvcPYbF_fVsw_dnoqs_Cl1XdBKLoumIOK3-aZ618_NDQ-vSYXxdMVZi8X_FpaiNgGakWaMMAaVsXimY9eJuQn76iQceMJdGdlbIg86SbfZ5OL_cobBFvqYaCPf3V7B88/s1600/kisah+cinta.jpg" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="171" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiDGNvVu91KdA_-cvcPYbF_fVsw_dnoqs_Cl1XdBKLoumIOK3-aZ618_NDQ-vSYXxdMVZi8X_FpaiNgGakWaMMAaVsXimY9eJuQn76iQceMJdGdlbIg86SbfZ5OL_cobBFvqYaCPf3V7B88/s320/kisah+cinta.jpg" width="171" /></a></div>
<span class="userContent"> GUBRAK…!!!” banting pintu kamar kost nya.<br />
Hari yang melelahkan..” getar bibirnya pelan. Sejurus ia langsung
nyalakan AC kamarnya. ia campakkan tas kerjanya, ia rebahkan
badannya..Wusss … angin sejuk langsung me<span class="text_exposed_show">nampar tubuhnya. Ia lihat jam di dinding, masih jam empat, masih ada satu jam lagi. Ucapnya pelan.<br /> </span></span><br />
<a href="http://www.blogger.com/null" name="more"></a><span class="userContent"><span class="text_exposed_show"><br />
Ia baringkan badannya dikasur, ia hendak istirahat sejenak sebelum
berangkat kuliah, rencana hatinya. Karena baginya waktu sangat
bermanfaat dalam hidupnya, aktivitasnya cukup sibuk, pagi ia bekerja,
sore hari ia kuliah. Ia bekerja di sebuah perusahaan cukup besar di kota
dumai itu, penghasilannya lebih dari cukup, maka dari itu, untuk
sekolah adiknya, ia yang mengambil alih.<br /> Ti dit…ti dit…Tidurnya terganggu dengan dering HP nya. Ada sms masuk, ucap batinnya. Ia baca’”<br /> <br /> Ass.. mas Irul.. sebelumnya aku<br /> Mohon maaf beribu maaf mas..<br /> Dalam keputus asaanku. Aku ingin<br /> Mengabarkan bahwa aku akan<br /> Menikah esok hari.<br /> Allah mentakdirkan lain.<br /> Doakan aku ya mas…<br /> <br />
Spontan ia kaget, ia bingung, ada apa yang terjadi dengan Luna. Tanya
batinnya. Luna adalah pacarnya, cinta yang ia jalin hampir tiga tahun
itu, tiba tiba hancur berkeping keping, tak tahu apa penyebabnya,
padahal baru bulan kemaren ia mengunjungi Luna dan keluarganya. Semua
berjalan lancar penuh dengan canda tawa.<br /> <br /> Ia coba telpon,
tenyata tidak aktif. Ia coba kembali, tetap masih nada yang sama. Ia
bangkit dari kasurnya, semula jadwalnya hari itu hendak kuliah,
sementara waktu ia batalkandulu.<br /> Hatinya masih risau dan bingung,
sekejap mata ia langsung tancap gas menuju rumahnya Luna, dengan
mengendarai sepeda motornya, ia melaju membelah jalan dengan hatinya
bertanya tanya. “Ya Rabb… apa yang terjadi ya rabbi”. Rintih hatinya
bingung.<br /> <br /> Di jalan, ia melaju dengan kecepatan tinggi, ia ingin
tahu segera, gerangan apa yang terjadi dengan pacarnya. Baru bulan yang
lalu ia merencanakan bersama keluarganya luna untuk melamar Luna setelah
kuliahnya selesai, hanya tinggal menunggu skripsinya selesai saja baru
ia akan wisuda.<br /> <br /> Setelah sampai didepan rumah Luna, ia langsung memarkirkansepeda motornya, jarak rumah luna cukup jauh dari tempat kostnya,<br />
“Tok…tok…tok… assalamu’alaiku m. Sapanya sambil mengetuk pintu. Ia
tunggu sejenak, belum ada jawaban, ia ulangi tok..tok..tok…a
ssalamu’alaikum ..<br /> Wa’alaikum salam, pintunya terbuka, ternyata ibunya Luna,<br /> Sore bu.. maaf menggangu.. Lunanya ada bu… sapanya ramah.<br />
Eh… nak irul, silahkan masuk dulu nak…jawab ibunya luna sambil
mempersilahkan masuk. Terima kasih bu…Ia tatap wajah ibunya luna, ada
kegelisahan dan kesedihan yang mendalam tergambar dari raut wajahnya,
mukanya terlihat pucat melihat irul yang datang. Hatinya semakin
bingung. Lunanya ada bu…? Tanya penasaran..<br /> Ibunya luna diam
menunduk sesaat… Lu..luna pergi ke pekan baru bersama ayahnya nak irul.
Emang nak irul tidak diberi tahu luna..? jawab ibunya dengan getar bibir
terbata bata.<br /> Justru itu bu.. aku ingin menanyakan perihal apa yang
terjadi dengan luna,,? Tiba tiba aku mendapat sms dari luna…? irul
menjelaskan maksud kedatangannya.<br /> Tiba tiba mata ibunya luna berkaca
kaca dan menunduk diam sesaat. Ada kepedihan dalam batinnya, suasana
ruangan itu menjadi hening, hati irul semakin bingung bercampur gelisah,<br /> Bu… apa yang terjadi dengan luna bu..? Tanyanya memecah keheningan.<br /> Ma…maafkan kami nak irul.. maafkan kami.. takdir Allah lah yang berkuasa. Jawab ibunya luna dengan terbata.<br /> Sebenarnya..apa yang terjadi bu..?<br />
Ba…baiklah.. ibu coba menjelaskan semua, kami telah menerima kuasa
takdir Allah, se..sebenarnya yang terjadi adalah bermula saat luna
seminar di pekan baru. Dua hari setelah nak irul datang bulan kemaren
kesini. Luna minta izin mengikuti seminar itu. Kampusnya luna mengirim
utusan dua orang untuk mengikuti seminar itu. Luna salah satunya,
seminar IPTEK itu diadakan pemko pekan baru. Ia berangkat bersama Indra
teman kampusnya, indra adalah anak ketua yayasan kampusnya luna, seminar
itu berlangsung dua hari. Kampusnya luna memberikan fasilitas dua kamar
hotel untuk menginap. Tiba tiba suara ibunya luna terhenti dan
tangisnya semakin menjadi jadi.<br /> <br /> Dengan perasaan gelisah hati irul menebak nebak apa yang terjadi.<br /> Tenang bu..” sabar bu..<br /> Tangis ibunya luna diam sesaat, ia coba menerima realita yangada, lalu ia melanjutkan,<br />
Sepulangnya luna dari pekan, wajah luna tampak pucat, kami coba
menanyakan ada apa dengannya. Ia tak mau cerita, tetapi kami coba merayu
dan memaksanya. Dengan hati menjerit dan berlinang air mata, ia
menjelaskan,, bahwa ia .. bahwa ia … Dijebak dan DIPERKOSA oleh indra.
Tiba tiba tangis ibunya luna kembali meledak, air matanya mengalir
deras, Ternyata…. indra telah lama menyukainya. ia mengetahui bahwa luna
akan segera dilamar nak irul. Maka itu, dalam kesempatan adanya seminar
itu, ia minta kepada ayahnya yang ketua yayasan untuk mengirim ia
bersama luna.<br /> <br /> Hati irul pedih, langit seakan runtuh ia rasa.
Matanya berkaca kaca, badannya kaku serasa lumpuh, bibirnya bertasbih,,
batinnya merintih dengan apa yang baru ia dengar.<br /> Kami pihak
keluarga telah sepakat untuk menikahkan luna dengan indra. Maafkan kami
nak irul..maafkan kami….Ibunya luna mengakhiri penjelasannya.<br /> <br />
Suasana jadi mencekam, hati irul seakan ingin meledak, wajahnya
menunduk, ada yang menetes dari matanya. Ia tidakkuat untuk menahan
perasaannya. Ia langsung pamit,,<br /> Ass…assalamu’al aikum bu. Saya pamit, sampaikan salam tegarku buat luna.<br /> <br />
Dalam perjalanan pulang bibirnya terus bertasbih, hatinya remuk,
matanya terus mengalirkan sesuatu. Pernikahan yang ia rencanakan gagal,
wisuda yang ia tunggu tunggu sebagai awal puncak kesuksesan masa
depannya, terasa tak bermanfaat lagi. Luna adalah gadis cantik dan
jelita, pujaan hatinya itu telah terbang dibawa seekor elang yang rakus
tak bermoral.<br /> <br /> Sesampainya dikamar kostnya. Ia menangis sejadi
jadinya.. ia meratap kepada tuhannya, ia mohon diberi kekuatan dan
ketabahan, ia larut dalam kesedihan, tiba tiba suara adzan maghrib
berkumandang ia dengar. Panggilan tuhan merasuk dalam batinnya.<br /> Dengan berlinang air mata ia mencoba tegar menghadapi kuasa Allah itu. Ia wudhu’, ia bentangkan sejadahnya, ia bertakbir.<br />
Usai sholat, ia munajat kepada rabbnya. Ia bertafakkur, ia roboh
bersujud dihadapan takdir Allah. Ia utarakan kegundahan hatinya. Ia
berharap diberikan cinta diatas cinta.<br /> <br /> Enam bulan telah
berlalu, dengan hati yang tegar ia selesaikan kuliahnya. Kini ia akan
meraih gelar S1 nya. Namun dari hari kehari bayangan luna masih saja
hadir dalam benaknya. Tanpa kabar, tanpa pertemuan, dan tanpa penjelasan
terakhir dari bibir luna. setelah hari yang pahit itu. Ia coba menata
kembali masa depannya.<br /> Di hari wisudanya itu. Sengaja ia panggil
ibunya dari kampung untuk mendampinginya. Senyum ibunya itulah yang
membuat ia cukup terhibur menghadapi hari yang ia tunggu tunggu
dulu.Hari yang semula ia rencanakan untuk melamar luna. tapi keadaan
berubah. Dengan bantuan Allahlah ia sanggup menghadapi semuanya.<br /> <br />
Tiba tiba suasana Aula gedung itu bertasbih. Acara wisuda heboh dengan
kedatangan sosok bidadari yang anggun jelita. Mata semua lelaki
memandang kearahnya. Ia menoleh. Subhanallah…” batin nya bertasbih.
Sosok itu adalah luna. wajahnya yang dibalut jubah dan jilbab putih itu
seakan membuat ia seperti bidadari yang baru turun dari langit.<br /> <br />
Hatinya berdesir, jantungnya berdegup kencang. Sama seperti rasa
pertama kali ia berjumpa dengan luna dulu. Alangkah beruntung orang yang
menikahinya..” Batinnya mengupat..<br /> Astaghfirullah… ia sudah menikah,, aku haram memikirkannya. getar bibirnya menepis perasaannya,<br />
Ibunya tersenyum melihat perubahan pada anaknya. Apa lagi rul..” kamu
udah pantas menikah.. kerjaanmu sudah mapan, sarjana pun sudah ditangan,
semua para ibu ibu ingin bermenantukan kamu. Canda ibunya, karena
ibunya tidak tahu dengan apa yang terjadi, ia hanya balas dengan
senyuman. Tunggu aja bu.. pilihan Allah. Jawabnya.<br /> <br /> Ternyata luna menghampirinya .<br /> Assalamu’alaiku m..Selamat ya mas… aku datang bersama ibu ingin melihatmu. Sapa luna dengan senyuman malu.<br /> Wa’alaiku salam… terima kasih..ibu mu mana dan ….<br />
Dan.. apa mas…? potong luna. Seakan luna sudah mengetahui maksud nya..
Oh ya.. kedatanganku kali ini hanya untuk menyampaikan maafku saja kok
mas…dan menjelaskan apa yang terjadi padaku selama ini. Sekaligus
menebus ketidakberdayaa nku mas. Lanjut luna dengan wajah menundukdengan
matanya menetes kan sesuatu.<br /> <br /> Belum sempat bertanya lagi, irul
diajak luna bicara empat mata. Luna hendak menjelaskan sesuatu hal yang
penting seperti yang ia tunggu selama ini.<br /> Baik lah.. kita ke depan mushollah saja.<br /> Dengan air mata yang terus jatuh, luna coba menenangkan diri.<br /> Ia menjelaskan apa yang terjadi selama ini.<br /> <br />
Mungkin mas… telah diberi tahu ibu kejadian yang menimpaku. Tetapi
semua itu berubah, ternyata takdir Allah berubah lagi. aku terus berdo’a
kepada Allah, agar diberi kekuatan untuk menjalani hidup.<br /> Umur
pernikahanku dengan lelaki itu hanya bertahan satu minggu, setelah acara
pesta pernikahan kami di pekan baru usai, tanpa melalui malam pertama
ia lebih memilih merayakan pesta kemenangannya bersama teman temannya,
pada malam itu ia bersama komplotannya merayakan pesta narkoba, dan
naas, malam itu juga ia over dosis dan dibawa kerumah sakit, 1 minggu ia
koma tak sadarkan diri, lalu ia tewas, aku hanya melihat proses kuasa
Allah itu dengan bersyukur, Allah maha tahu penderitaan hambanya. Maka
dari itu mas… Allah sedang menguji diriku.. statusku sekarang janda
mas.. jelas luna panjang lebar dengan hati tegar.<br /> <br /> Jadi ..? Ucap irul ceplos sambil melihat kondisi Luna.<br />
Oh ya… aku sekali lagi bersyukur kepada Allah, Setelah seminggu
kematian brengsek itu, aku memeriksakan diri ke dokter. Ternyata
kesucianku masih utuh. Brengsek itu hanya menjebakku agar ia punya
alasan untuk menikahiku. Begitu lah kisah hidupku mas… Allah masih
menyayangiku..<br /> <br /> Mendengar semua penjelasan itu, hati irul
berdesir, setetes embun masuk ke dalam batinnya. Ternyata ujian Allah
telah berakhir. Ia bertakbir dalam hati. Ia hendak langsung melamar luna
hari itu juga..</span></span>Ade Maulana Rahmanhttp://www.blogger.com/profile/06806462507728421518noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1563349201008104401.post-57875941687441403422013-06-05T02:48:00.004-07:002013-06-05T02:48:49.463-07:00Cintaku Berlabuh Di Mesir<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhv5-1NkQhTEnVbEopV8SX79cJiqrI09YMGPwwUEY-QzqSWfYOMzPnA2F_gdt7zViVNAzoQONPcpld2uzi-54jvwumnZVgRk0XORoLWWxd3dbCi3dqCuChlQqJ5aalyg4rdsMrZIAo2Iskm/s1600/mesir.jpg" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="179" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhv5-1NkQhTEnVbEopV8SX79cJiqrI09YMGPwwUEY-QzqSWfYOMzPnA2F_gdt7zViVNAzoQONPcpld2uzi-54jvwumnZVgRk0XORoLWWxd3dbCi3dqCuChlQqJ5aalyg4rdsMrZIAo2Iskm/s320/mesir.jpg" width="213" /></a><span class="userContent">Narina masih saja sibuk dengan komputernya, ia tengah melengkapi
data-data yang harus ia bawa ke Mesir. Pikirannya masih kacau balau,
ibunya bersikukuh untuk tidak mengijinkannya pergi ke Mesir<span class="text_exposed_show">.<br /> Ditengah kesibukannya, Ibu Nafisah memanggil anaknya,<br /> “Narina ayo keluar dari kamarmu, sekarang sudah waktunya makan siang. Sudah sejak tadi pagi kau tidak keluar kamar.”<br />
Dengan setengah berlari ia pun keluar kamar, jilbabnya yang anggun
membuat ia terlihat lebih cantik, “Ia bu, tunggu sebentar.” Ia segera
duduk dan bersiap untuk makan, sebelum makan ia mencuci tangannya
terlebih dahulu.</span></span><br />
<a href="http://www.blogger.com/null" name="more"></a><br />
<span class="userContent"><span class="text_exposed_show"><br /> “Ayah mana bu? Kok dia gak makan bareng kita?”<br /> “Ayahmu sedang keluar sebentar, ngga lama lagi ayahmu juga pulang nak.”<br /> <br /> “ Oh ya bu, rencananya minggu depan aku akan berangkat ke Mesir. Semua data-data yang aku butuhkan sudah hampir selesai…<br /> <br />
Belum selesai bicara, ibunya langsung memotong ucapan anaknya, “ Sudah
berapa kali ibu bilang, ibu tak akan pernah mengijinkan kamu untuk pergi
ke Mesir. Buat apa sih nak kamu kuliah jauh-jauh disana? Di Jakarta kan
juga banyak Universitas Islam yang bagus,”<br /> “Tapi bu kesempatan untuk kuliah disana hanya sekali,” tanpa sadar air matanya pun menetes.<br />
Memang berat bila ia harus berpisah dengan ibunya, terlebih lagi ia
akan berada di Mesir selama kurang lebih empat tahun dan belum tentu ia
dapat pulang setiap tahun untuk menemui ibunya. Kepergiannya ke Mesir
untuk melanjutkan pendidikannya, ia mendapatkan beasiswa di Al Azhar
University Cairo. Sejak kecil ia selalu bermimpi untuk pergi ke Mesir
dan melihat betapa indahnya Sungai Nil, dan impiannya kini sudah ada di
depan mata.<br /> “Tolong ijinkan aku bu, aku hanya beberapa tahun saja
disana, aku akan selalu memberi kabar pada ibu. Aku tak akan pernah lupa
pada ibu yang sangat aku sayangi,”<br /> “Apapun alasanmu tetap saja ibu
tak rela bila harus hidup sendirian tanpamu nak, ibu sangat
menyayangimu. Ibu tak ingin kehilangan anak semata wayang ibu, huhuhu
(ibunya pun ikut menangis).<br /> <br /> Ayahnya pun masuk segera masuk ke dalam rumah ketika ia mendengar suara tangisan yang terdengar dari teras rumah.<br /> “Kenapa kalian berdua menangis?” Tanya sang ayah kebingungan.<br /> “Ibu tetap tidak mengijinkanku untuk berangkat ke Mesir ayah, aku sudah tidak tau harus bagaimana lagi.”<br /> “Sudahlah bu biarkan anakmu memilih jalan hidupnya, ia sudah dewasa dan ayah yakin kalau ia bisa menjaga dirinya baik-baik.”<br />
“Iya bu, benar apa kata ayah. Aku yakin bisa menjaga diri disana, di
Mesir aku juga tidak sendiri. Aku ditemani Hikami dan Amalia, mereka
juga kuliah disana,”<br /> “Huh yasudahlah terserah kalian … tapi jika terjadi apa-apa pada Narina, ayah yang akan ibu salahkan.”<br />
Akhirnya Ibu Nafisah mengijinkan kepergian anaknya ke Mesir. Memang
berat melepaskan anak semata wayangnya untuk hidup mandiri di Mesir. Ia
sangat menyayangi Narina dan kemana saja Narina pergi selalu ditemani
ibunya. Wajah mereka pun sangat mirip, bahkan terkadang ada orang yang
mengira bahwa mereka adalah kakak beradik. Perbedaan umur diantara
mereka juga tidak berbeda jauh, ibunya baru berusia 37 tahun dan anaknya
20 tahun lebih muda dari usianya kini.<br /> ***<br /> <br /> Tibalah hari
yang ia tunggu-tunggu, hari ini adalah hari keberangkatannya ke Mesir.
Ia memasukkan semua perlengkapan pribadinya ke dalam koper birunya. Tak
lupa ia membawa Novel Ketika Cinta Bertasbih 1 & 2 karangan
Habiburrahman El Shirazy, ia sangat menyukai novel itu. Baginya begitu
banyak ilmu yang ia dapatkan dari novel itu. Setelah selesai menyiapkan
perlengkapannya, ia langsung mengambil air wudhu untuk Salat Dhuha. Ia
masih punya waktu setengah jam lagi sebelum berangkat ke Bandara
Internasional Soekarno-Hatta.<br /> <br /> Sebelum berangkat ia menyempatkan
diri untuk menelpon kedua temannya, Hikami dan Amalia, ia ingin
memastikan bahwa kedua temannya sudah siap untuk berangkat ke Mesir.
Setelah itu tak lupa ia berpamitan kepada kedua orang tuanya,<br /> Narina
pun berangkat, tak lupa ia mencium tangan kedua orang tuanya. Baru
beberapa langkah berjalan, ia lalu memalingkan tubuhnya dan kembali
untuk memeluk ibunya. Tak terasa air matanya mengalir membasahi jilbab
biru mudanya, ia begitu sedih harus berpisah untuk sementara waktu
dengan ibunya tapi di sisi lain ia juga tak bisa menyia-nyiakan
kesempatan untuk kuliah di Mesir.<br /> <br /> Sudah lima jam ia berada di
dalam pesawat, perjalannya masih sekitar tujuh jam lagi tetapi ia belum
bisa tertidur. Padahal Amalia sudah tertidur pulas, sedangkan Hikami
masih saja fokus dengan bukunya. Anak yang satu ini memang suka sekali
membaca buku, baginya waktu terasa hambar bila ia tak membaca buku.
Narina lalu memutuskan untuk memasang headset dan memutar sebuah lagu
favoritnya,<br /> </span></span><br />
<br />
<blockquote class="tr_bq">
<span class="userContent"><span class="text_exposed_show"> Bertuturlah cinta</span></span><br /><span class="userContent"><span class="text_exposed_show"> Mengucap satu nama</span></span><br /><span class="userContent"><span class="text_exposed_show"> Seindah goresan sabdamu dalam kitabku</span></span><br /><span class="userContent"><span class="text_exposed_show"> Cinta yang bertasbih</span></span><br /><span class="userContent"><span class="text_exposed_show"> Mengutus hati ini</span></span><br /><span class="userContent"><span class="text_exposed_show"> Kusandarkan hidup dan matiku padamu</span></span><br /><span class="userContent"><span class="text_exposed_show"> Bisikkan doaku dalam butiran tasbih</span></span><br /><span class="userContent"><span class="text_exposed_show"> Kupanjatkan pintaku padamu Maha Cinta</span></span><br /><span class="userContent"><span class="text_exposed_show"> Sudah diubun-ubun cinta mengusik resah</span></span><br /><span class="userContent"><span class="text_exposed_show"> Tak bisa kupaksa walau hatiku menjerit</span></span><br /><span class="userContent"><span class="text_exposed_show"> Ketika cinta bertasbih nadiku berdenyut merdu</span></span><br /><span class="userContent"><span class="text_exposed_show"> Kembang kempis dadaku merangkai butir cinta</span></span><br /><span class="userContent"><span class="text_exposed_show"> Garis tangan tergambar tak bisa aku menentang</span></span><br /><span class="userContent"><span class="text_exposed_show"> Sujud syukur pada-Mu atas segala cinta</span></span></blockquote>
<span class="userContent"><span class="text_exposed_show"> <br />
Akhirnya ia pun tertidur dalam bait-bait lagu Ketika Cinta Bertasbih,
sejurus kemudian ia sudah tiba di Mesir. Hikami membangunkan kedua
temannya, sejak tadi pagi Hikami belum memejamkan mata sehingga wajahnya
terlihat agak pucat. Mereka pun segera turun dari pesawat dan menuju
rumah yang telah disewa oleh Amalia. Kebetulan salah satu kerabat dari
Amalia ada yang tinggal di Mesir dan rumah itu sudah tidak ditempati
lagi. Wajah Narina tampak begitu bahagia ketika menapakkan kakinya di
Mesir, ia seolah tak percaya.<br /> Setelah tiba di rumah, tak lupa Narina
memberi kabar pada orang tuanya di Indonesia. Mereka bertiga langsung
membersihkan rumah dan beristirahat sejenak untuk melepas lelah. Ada dua
kamar, satu kamar untuk Narina dan yang satunya lagi untuk Hikami dan
Amalia. Mereka begitu kelelahan, tetapi Narina memutuskan keluar
sebentar untuk mencari makanan. Narina melihat pemandangan di
sekelilingnya, begitu banyak wanita bercadar disana. Lalu ia berhenti
sejenak ketika ada rumah makan yang menjual makanan asli Indonesia. Ia
memperhatikan semua menu yang tersedia, tampaknya ia agak sedikit
bingung harus memesan apa. Akhirnya ia memutuskan untuk membeli 3
bungkus nasi, rendang, sayur nangka, dan es teh. Semuanya dibungkus
untuk ia makan bersama kedua temannya. Saat ia ingin keluar, ia hampir
bertabrakan dengan seorang lelaki yang sepertinya orang Indonesia juga.<br /> “Maaf maaf, saya sedang terburu-buru.” Ujar lelaki itu dengan nafas yang terengah-engah.<br />
“Iya ngga apa-apa”, sepintas ia terpesona oleh lelaki itu. Wajahnya
yang terlihat lelah seperti orang yang tidak tidur semalaman tapi aura
yang dipancarkannya begitu memikat bagi siapapun yang melihatnya.<br /> <br /> Ternyata kedua temannya sudah bangun dan tengah menonton tv di rumah.<br /> “Assalamualaikum,”<br /> “Waalaikumsalam,” jawab kedua temannya hampir bersamaan. “Dari mana kamu Na?”<br />
“Ini aku beli makanan, aku tau pasti kalian laper banget,’’ tanpa
disuruh Amalia langsung mengambil piring dan gelas. Ia sudah tidak bisa
lagi menahan rasa laparnya. Dan lusa adalah hari pertama mereka kuliah,
kebetulan Amalia mengambil jurusan yang sama dengan Narina, yakni
jurusan Sejarah dan Peradaban Islam sedangkan Hikami mengambil jurusan
Perbandingan Agama.<br /> “Ternyata Al-Azhar gede benget ya, duh ga nyesel
deh kuliah disini. Meskipun aku ga dapet beasiswa seperti kalian, tapi
aku seneng bisa satu universitas sama kalian.” Kata Amalia. Kebetulan
Narina tidak sekelas dengan Amalia, maka ia mencari kelasnya sendiri.
Saat ia sedang kebingungan mencari kelasnya, lalu ada seorang lelaki
yang menghampirinya, “Lagi bingung nyari kelas ya? Tanya lelaki itu,<br /> <br />
Seketika itu juga Narina kaget bukan kepalang, ternyata lelaki yang
waktu itu pernah membuatnya terpesona kini ada di hadapannya. Dengan
sedikit gugup ia menjawab pertanyaan lelaki tadi, “Ia, dan saya
mahasiswa baru disini,” Lalu mereka saling berkenalan, lelaki itu
bernama Andi Hanif Rahman. Ternyata Andi juga kuliah di Al-Azhar dan
berada dalam jurusan yang sama, tetapi Andi satu tingkat diatas Narina.
Ada sedikit rasa senang di hatinya saat ia tau siapa nama lelaki itu, ia
merasa apakah ia sedang jatuh cinta atau tidak.<br /> ***<br /> <br /> Hari
berganti hari, minggu berganti minggu, dan bulan berganti bulan. Tak
terasa ia sudah tiga tahun di Mesir, rasanya sudah begitu lama ia tak
bertemu dengan ibunya. Rasa rindunya sudah tak tertahankan lagi,
terkadang ia menangis dalam sujudnya di malam hari. Pemandangan sungai
nil yang begitu indah, membuatnya semakin sedih. Seandainya saja saat
ini ada sang ibu yang menemaninya, pasti kebahagiaannya di Mesir akan
lengkap sudah. Butir demi butir air matanya menetes, hembusan angin
merasuk ke dalam tubuh dan jiwanya. Tanpa sadar ternyata ada seorang
lelaki yang berdiri di sampingnya, ia pun segera mengusap air matanya
dengan tisu yang ada di sakunya.<br /> <br /> “Kuperhatikan sejak tadi, mengapa kau menangis? Sepertinya kau sedang memikirkan sesuatu,” Tanya Andi.<br />
Dengan suara serak ia pun membuka suara,”Aku rindu pada ibuku, sudah 3
tahun aku tak bertemu dengannya, oh ya kenapa ka Andi bisa ada disini?”<br /> ‘’Hehe sebenarnya aku mengikutimu sejak kau pulang kuliah, kelihatannya kau sangat sedih dan begitu terburu-buru,”<br />
“Ah, mana mungkin kakak ngikutin aku. Hehe kakak ini ada-ada aja,”
akhirnya ia pun sudah mulai bisa tersenyum. “Kakak masih inget ngga
waktu kita ketemu di rumah makan? Tepatnya tiga tahun yang lalu,”<br /> “Ya iyalah, kakak inget banget malah. Kakak kan suka sama kamu sejak kita ketemu waktu itu…”<br /> <br />
Wajah Narina terlihat memerah, sepertinya ia malu dan tidak tau harus
berkata apa. Mereka diam sejenak, tak ada yang berani untuk membuka
suara. Narina malah pulang ke rumahnya, Andi hendak mengejarnya tapi ia
tak punya keberanian. Sebenarnya Andi tak berniat untuk mengatakan itu
pada Narina, tapi kata-kata itu keluar seketika dari mulutnya. Ia memang
jatuh hati pada Narina sejak pertama kali ia bertemu. Waktu itu ia
hampir telat untuk masuk kerja jadi ia terburu-buru dan hampir menabrak
Narina. Sejak saat itu ia penasaran dengan sosok gadis itu, sampai
akhirnya ia bertemu lagi dengan Narina di Universitas Al-Azhar. Ia
semakin sering memperhatikan Narina saat gadis itu berada di kampus,
tetapi Narina tak pernah menyadarinya. Baginya, Narina adalah sosok yang
sederhana, lemah lembut dan ia bagaikan bunga yang bermekaran di musim
semi. Narina cukup terkenal di kampusnya, ia adalah mahasiswi yang
cerdas. Ia pun aktif dalam kegiatan-kegiatan kampus.<br /> <br /> Setibanya
di rumah, Narina langsung masuk ke dalam kamarnya dan menangis hingga
sesenggukan. Kedua temannya langsung menghampiri Narina, lalu Narina
menceritakan apa yang ia alami hari ini kepada kedua temannya. Termasuk
awal mula pertemuannya dengan Andi dan perasaan yang ia pendam pada
Andi.<br /> <br /> “Ya ampun Narina, kenapa kamu gak bilang ke Andi kalo
kamu juga suka sama dia? Jelas-jelas kalian kan saling cinta,” tutur
Lia, <br /> “Tapi aku ga mau kalo kak Andi suka sama aku,”<br /> <br /> Hikami
dan Amalia langsung saling berpandangan, mereka bingung mengapa Narina
bersikap seperti itu.” Aku itu ga mau kalo nantinya aku malah pacaran
sama kak Andi, aku takut kalo kuliah aku jadi terganggu. Disini aku
tinggal satu tahun lagi, aku pengen pulang ke Indonesia dengan gelar
sarjana terbaik jadi aku gak pengen ngerusak impian aku itu dengan
pacaran,” ungkap Narina.<br /> Dengan spontannya, Lia langsung megeluarkan
idenya, “ Emm gimana kalo kamu nikah aja? Kak Andi juga udah lulus, kan
ga ada larangan menikah buat mahasiswa.”<br /> Saran dari Lia hanya
membuatnya semakin bingung, akhirnya ia memutuskan untuk menjauhi Andi
selama beberapa waktu. Ia butuh waktu untuk memikirkan masa depannya
itu.<br /> ***<br /> <br /> Sudah hampir sepuluh bulan Narina tidak bertemu
dengan Andi, ada rasa rindu yang terbersit dalam hatinya tapi ia memilih
untuk menahan rasa rindunya itu. Padahal Andi selalu berusaha untuk
menemuinya, tapi ia selalu menolak. Ada saja alasan yang dibuat oleh
Narina, padahal Andi telah membulatkan tekadnya untuk melamar Narina.<br />
Dan sepuluh bulan setelah kelulusannya, usaha yang Andi rintis semakin
maju. Setelah menyelesaikan kuliahnya, ia mencoba bisnis berbagai macam
pakaian muslim secara online dan omset yang ia dapatkan sangat
memuaskan. Mungkin cukup untuk biaya pernikahannya kelak, tapi belum ada
jodoh yang tepat untuknya. Padahal banyak<br /> <br /> Tak terasa, hari
kelulusan itu telah tiba dan Narina dinobatkan sebagai mahasiswa terbaik
di kampusnya. Betapa bahagia dan terharunya dia, ia pun tak sabar untuk
kembali ke tanah air dan bertemu dengan kedua orang tuanya. Ia pun
memutuskan untuk segera pulang ke Indonesia bersama Amalia. Sementara
Hikami memilih untuk melanjutkan S2 nya, meskipun ada sedikit rasa sedih
karena ia harus berpisah dengan kedua temannya tapi ia mencoba untuk
tetap tegar karena ia memang bercita-cita untuk mengenyam pendidikan
setinggi-tingginya. Narina pun pulang tanpa sempat memberi kabar kepada
Andi, karena ia sudah terburu-buru.<br /> Dua belas jam di pesawat,
membuatnya kelelahan. Tapi setibanya di rumah, seolah rasa lelah itu
hilang sudah. Ia langsung memeluk kedua orang tuanya dan menangis di
pundak ibunya. Mereka saling melepas rindu, lalu sang ibu bertanya pada
Narina, “Ibu bangga sama kamu nak, kamu bisa memberikan yang terbaik.
Lalu bagaimana dengan jodohmu nak, apakah kau sudah menemukan jodoh yang
tepat di Mesir?”<br /> <br /> <br /> Seketika itu juga Narina merasa seolah
tubuhnya bak tersiram air panas, ia teringat dengan Andi. Ia tidak
sempat menemui Andi, bagaimana nasib andi sekarang, semua itu hanya
terbenak dalam pikirannya.<br /> “Ditanya ko malah diem?”, ucap ibunya.<br />
Ia mulai membuka suara, dengan terbata-bata ia menceritakan pada ibunya
bahwa ia sudah menemukan lelaki yang ia dambakan tapi ia malah
menjauhinya.<br /> “Yasudah nak gak apa-apa, kalo jodoh gak akan kemana,”<br />
Lalu ia masuk kedalam kamar, ia masih memikirkan Andi. Bagaimana Andi
sekarang, sudah hampir setahun ia menjauhi Andi. Apakah Andi masih
menyukainya,<br /> <br /> ***<br /> <br /> Ibu Nafisah ingin sekali ke Mesir,
maka sang Ayah mengajak istri dan anaknya untuk berlibur di Mesir selama
beberapa pekan. Di sisi lain, Andi masih terus mencari Narina. Setelah
Narina lulus, ia tak pernah memberi kabar pada Andi tapi tetap saja Andi
setia menunggu Narina.<br /> Saat Narina hendak berkunjung ke rumah
Hikami, ia bertemu dengan Andi. Ingin rasanya ia memeluk Andi untuk
menghilangkan rasa rindunya selama ini tapi ia tak bisa. Mereka berdua
menangis dan saling bertatapan, Andi tak menyangka penantiannya selama
ini membuahkan hasil.<br /> “Narina aku sangat menyayangimu, selama ini
aku selalu menunggumu tapi kau tak pernah ada kabar. Aku tak ingin bila
harus kehilanganmu lagi, maka maukah kau menikah denganku?”<br /> <br />
Narina pun tak bisa menjawab, ia merasa sangat terharu. Inilah saat-saat
yang selalu ia tunggu. “Huhuhu aku juga sayang sama kakak, kalau begitu
temui orang tuaku dan nikahi aku.”<br /> “Baiklah kalau begitu, akan kusuruh teman-temanku untuk memanggil penghulu dan surat-surat pernikahan akan diurus secepatnya,”<br />
Sesampainya di hotel, Andi langsung meminta ijin pada orang tua Narina
untuk menikahi anaknya nanti malam ba’da Isya dan orang tua Narina
menyetujuinya.<br /> Setelah azan isya berkumandang, semua teman-teman
Narina dan Andi yang berada di Mesir ikut datang untuk menyaksikan
prosesi akad nikah mereka. Narina terlihat begitu cantik dengan
pakaiannya yang serba putih, Andi juga terlihat tampan. Akad nikah
mereka cukup sederhana.<br /> <br /> Narina begitu bahagia, kini ia telah
menemukan cinta sejatinya. Ia pun sempat meneteskan air mata saat Andi
berkata,” Saya terima nikah dan kawinnya Narina Najmatunnisa binti
Husein dengan seperangkat alat solat dibayar tunai.”<br /> Semua hadirin pun turut berbahagia, akhirnya cinta Narina Najmatunnisa dan Andi Hanif Rahman berlabuh di Mesir.</span></span>Ade Maulana Rahmanhttp://www.blogger.com/profile/06806462507728421518noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1563349201008104401.post-9443816311683329442013-06-05T02:48:00.001-07:002013-06-05T02:48:09.549-07:00Dari Mata Turun Ke Hati<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj7oFjifw3T74tqztWB4AntbTESj17jRxxgOSXKnNScu5yl8U_bUICwIkJBnc2WggbCcoEgKODjS-xij_3FObSb5-xZ8ukSukd-MZJdkEDg1Gl9BQOFqF2eFCQf3h62EW4qwi8lv9U2oIA9/s1600/iman.jpg" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="164" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj7oFjifw3T74tqztWB4AntbTESj17jRxxgOSXKnNScu5yl8U_bUICwIkJBnc2WggbCcoEgKODjS-xij_3FObSb5-xZ8ukSukd-MZJdkEDg1Gl9BQOFqF2eFCQf3h62EW4qwi8lv9U2oIA9/s320/iman.jpg" width="208" /></a>Matahari telah tergelincir....<br />
Seorang lelaki terlihat bersegera menuju masjid ketika adzan zuhur
dikumandangkan dari sebuah masjid kampus. Lelaki itu berwudhu dan
menunaikan shalat nawafil. Lalu ia menjadi makmum di shaff terdepan.
Shalat wajib ia laksanakan dengan ruku’ dan sujud yang sempurna. Setelah
shalat tak lupa ia memuji nama Tuhannya dan memanjatkan doa untuk
dirinya, ibu, ayahnya dan untuk ummat Muhammad saw yang sedang berjihad
fii sabilillah.<br />
<a href="http://www.blogger.com/null" name="more"></a><br />
Sebelum menuju kelas untuk kuliah, lelaki itu menyempatkan diri
bersalam-salaman dengan beberapa jamaah lain. Dengan raut wajah yang
bersahaja, ia sedekahkan senyum terhadap semua orang yang ditemuinya.
Ucapan salam pun ditujukannya kepada para akhwat yang ditemuinya di
depan masjid.<br />
<br />
Lelaki yang bernama Ali itu kemudian segera memasuki ruang kelasnya. Ia
duduk di bangkunya dan mengeluarkan buku berjudul “Langitpun
Terguncang’. Buku berisi tentang hari akhir itu dibacanya dengan tekun.
Sesekali ia mengerutkan dahi dan dan sesekali ia tersenyum simpul.<br />
Ali sangat suka membaca dan meyukai ilmu Allah yang berhubungan dengan
hari akhir karena dengan demikian ia dapat membangkitkan rasa cinta akan
kampung akhirat dan tidak terlalu cinta pada dunia. Prinsipnya adalah
“Bekerja untuk dunia seakan hidup selamanya dan beribadah untuk akhirat
seakan mati esok.”<br />
<br />
Sejak setahun belakangan ini, Ali selalu berusaha mencintai akhirat.
Sunnah Rasululah saw ia gigit kuat dengan gigi gerahamnya agar tak
terjerumus kepada bid’ah. Ali selalu menyibukkan diri dengan segala
Islam. Ia sangat membenci sekularisme karena menurutnya, sekulerisme itu
tidak masuk akal. Bukankah ummat Islam mengetahui bahwa yang
menciptakan adalah Allah swt, lalu mengapa mengganti hukum Tuhannya
dengan hukum ciptaan dan pandangan manusia?<br />
Bukankah yang menciptakan lebih mengetahui keadaan fitrah ciptaannya?<br />
Allah swt yang menciptakan, maka sudah barang tentu segala sesuatunya
tak dapat dipisahkan dari hukum Allah. Katakan yang halal itu halal dan
yang haram itu haram, karena pengetahuan yang demikian datangnya dari
sisi Allah.<br />
Sementara Ali membaca bukunya dengan tekun, dua mahasiswi yang duduk tak
jauh dari Ali bercakap-cakap membicarakan Ali. Mereka menyayangkan
sekali, Ali yang demikian tampan dan juga pintar, namun belum mempunyai
pacar, padahal banyak mahassiwi cantik di kampus ini yang suka padanya.
Tapi tampaknya Ali tidak ambil peduli. Sikapnya itu membuat para wanita
menjadi penasaran dan justru banyak yang ber-tabarruj di hadapannya.
Kedua wanita itu terus bercakap-cakap hingga lupa bahwa mereka telah
sampai kepada tahap ghibah.<br />
Ali memang tak mau ambil pusing tentang urusan wanita karena ia yakin
jodoh di tangan Allah swt. Namun tampaknya iman Ali kali ini benar-benar
diuji oleh Allah SWT.<br />
Ali menutup bukunya ketika dosen telah masuk kelas. Tampaknya sang dosen
tak sendirian, di belakangnya ada seorang mahasiswi yang kelihatan
malu-malu memasuki ruang kelas dan segera duduk di sebelah Ali. Ali
merasa belum pernah melihat gadis ini sebelumnya. Saat dosen mengabsen
satu persatu, tahulah Ali bahwa gadis itu bernama Nisa.<br />
Tanpa sengaja Ali memandang Nisa. Jantungnya berdegup keras. Bukan
lantaran suka, tapi karena Ali selalu menundukkan pandangan pada semua
wanita, sesuai perintah Allah SWT dalam Al Qur’an dan Rasulullah saw
dalam hadits.<br />
“Astaghfirullah…!”, Ali beristighfar.<br />
Pandangan pertama adalah anugerah atau lampu hijau. Pandangan kedua
adalah lampu kuning. Ketiga adalah lampu merah. Ali sangat khawatir bila
dari mata turun ke hati karena pandangan mata adalah panah-panah iblis.<br />
***<br />
Pada pertemuan kuliah selanjutnya, Nisa yang sering duduk di sebelah
Ali, kian merasa aneh karena Ali tak pernah menatapnya kala berbicara.
Ia lalu menanyakan hal itu kepada Utsman, teman dekat Ali. Mendengar
penjelasan Utsman, tumbuh rasa kagum Nisa pada Ali.<br />
“Aku akan tundukkan pandangan seperti Ali”, tekad Nisa dalam hati.<br />
Hari demi hari Nisa mendekati Ali. Ia banyak bertanya tentang ilmu agama kepada Ali.<br />
Karena menganggap Nisa adalah ladang da’wah yang potensial, Ali menanggapi dengan senang hati.<br />
Hari berlalu… tanpa sengaja Ali memandang Nisa. Ada bisikan yang
berkata, “Sudahlah pandang saja, toh Nisa itu tidak terlau cantik.. Jadi
mana mungkin kamu jatuh hati pada gadis seperti itu” Namun bisikan yang
lain muncul, “Tundukkan pandanganmu. Ingat Allah! Cantik atau tidak,
dia tetaplah wanita.” Ali gundah. “Kurasa, jika memandang Nisa, tak akan
membangkitkan syahwat, jadi mana mungkin mata, pikiran dan hatiku ini
berzina.”<br />
<br />
Sejak itu, Ali terus menjawab pertanyaan-pertanyaan Nisa tentang agama,
tanpa ghadhul bashar karena Ali menganggap Nisa sudah seperti adik… ,
hanya adik.<br />
Ali dan Nisa kian dekat. Banyak hal yang mereka diskusikan. Masalah ummat maupun masalah agama. Bahkan terlalu dekat…<br />
Hampir setiap hari, Ali dapat dengan bebas memandang Nisa. Hari demi
hari, minggu demi minggu, tanpa disadarinya, ia hanya memandang satu
wanita, NISA! Kala Nisa tak ada, terasa ada yang hilang. Tak ada teman
diskusi agama…, tak ada teman berbicara dengan tawa yang renyah.., tak
ada…wanita. DEG!!! Jantung Ali berdebar keras, bukan karena takut
melanggar perintah Allah, namun karena ada yang berdesir di dalam
hati…karena ia… mencintai Nisa.<br />
Bisikan-bisikan itu datang kembali… “Jangan biarkan perasaan ini tumbuh
berkembang. Cegahlah sebisamu! Jangan sampai kamu terjerumus zina hati…!
Cintamu bukan karena Allah, tapi karena syahwat semata.”<br />
<br />
Tapi bisikan lain berkata, “Cinta ini indah bukan? Memang indah! Sayang
lho jika masa muda dilewatkan dengan ibadah saja. Kapan lagi kamu dapat
melewati masa kampus dengan manis. Lagipula jika kamu pacaran kan secara
sehat, secara Islami.. ‘Tul nggak!”<br />
Ali mengangguk-anggukkan kepalanya. “Manalah ada pacaran Islami, bahkan
hatimu akan berzina dengan hubungan itu. Matamu juga berzina karena
memandangnya dengan syahwat. Hubungan yang halal hanyalah pernikahan.
Lain itu tidak!!! Bukankah salah satu tujuan pernikahan adalah untuk
mengubur zina?”, bisikan yang pertama terdengar lagi.<br />
Terdengar lagi bisikan yang lain, “Terlalu banyak aturan! Begini zina,
begitu zina. Jika langsung menikah, bagaimana bila tidak cocok? Bukankah
harus ada penjajakan dulu agar saling mengenal! Apatah lagi kamu baru
kuliah tingkat satu. Nikah susah!”<br />
Terdengar bantahan, “Benci karena Allah, cinta karena Allah. Jika
pernikahanmu karena Allah, Insya Allah, Dia akan ridho padamu, dan akan
sakinah keluargamu. Percayalah pada Tuhan penciptamu! Allah telah
tentukan jodohmu. Contohlah Rasululah SAW, hubungan beliau dengan wanita
hanya pernikahan.”<br />
<br />
Bisikan lain berkata. “Bla.., bla.., Ali,… masa muda.., masa muda…, jangan sampai dilewatkan, sayang lho!”<br />
Ali berpikir keras. Kali ini imannya benar-benar dilanda godaan hebat.
Syetan telah berhasil membujuknya dengan perangkapnya yang selalu sukses
sepanjang zaman, yaitu wanita.<br />
Ali mengangkat gagang telepon. Jari-jarinya bergetar menekan nomor telepon Nisa. “Aah.., aku tidak berani.” Ali menutup telepon.<br />
Bisikan itu datang lagi, “Menyatakannya, lewat surat saja, supaya
romantis…!” “Aha! Benar! “ Ali mengambil selembar kertas dan menuliskan
isi hatinya. Ia berencana akan menitipkannya pada teman dekat Nisa.
Jantung Ali berdebar ketika dari kejauhan ia melihat Nisa terlihat
menerima surat dari temannya dan membaca surat itu.<br />
***<br />
<br />
Esoknya, Utsman mengantarkan surat balasan dari Nisa untuk Ali, sembari
berkata, “Nisa hari ini sudah pakai jilbab, dia jadi cantik lho. Sudah
jadi akhwat!”<br />
Ali terkejut mendengarnya, namun rasa penasarannya membuatnya lebih
memilih untuk membaca surat itu terlebih dahulu daripada merenungi
ucapan Ustman tadi. Ali membaca surat itu dengan sungguh-sungguh. Ia
benar-benar tak menyangka akan penolakan yang bersahaja namun cukup
membuatnya merasa ditampar keras. Nisa menuliskan beberapa ayat dari Al
Qur’an, isinya :<br />
“Katakanlah kepada laki-laki yang beriman : Hendaklah mereka menahan
pandangannya dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih
suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka
perbuat.” (QS. An Nuur : 30)<br />
“Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh hati.”(QS. Al Mu’minuun : 19).<br />
Ali menghela nafas panjang… Astaghfirullah… Astaghfirullah… Hanya ucapan
istighfar yang keluar dari bibirnya. Pandangan khianatku sungguh
terlarang. Memandang wanita yang bukan muhrim. Ya Allah… kami dengar dan
kami taat. Astaghfirullah… <br />
<br />
(Judul asli: “Kala Iman Tergoda”, dengan revisi. Pernah diterbitkan di Bulletin Biru SMUNSA Bogor No. 01/I/23 Shafar 1421 H).Ade Maulana Rahmanhttp://www.blogger.com/profile/06806462507728421518noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1563349201008104401.post-75190271159203177772013-06-05T02:47:00.001-07:002013-06-05T02:47:16.505-07:00Sebuah Jilbab<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi3j_4OfpeOZPW0LBWdmJmlwkHjMYURndZHBZt5nJcnEfnAMBE8BGUu2FHxv94xPtB3vS66pwwUde9qgJBxqMQh3OitIzrbt4HsbC3WfVgpZwp54tZOg5aoyfyJpSpCjMZWNiti-S8rD6wg/s1600/sebuah+jilbab.jpg" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="200" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi3j_4OfpeOZPW0LBWdmJmlwkHjMYURndZHBZt5nJcnEfnAMBE8BGUu2FHxv94xPtB3vS66pwwUde9qgJBxqMQh3OitIzrbt4HsbC3WfVgpZwp54tZOg5aoyfyJpSpCjMZWNiti-S8rD6wg/s200/sebuah+jilbab.jpg" width="200" /></a></div>
Aku terduduk di kursi taman yang terletak tak jauh dari rumahku.
Tanganku memegang sebuah novel yang kebetulan belum aku baca sampai
halaman terakhir, ku benahi posisi dudukku, dan memasang sebuah headset
ke dua saluran pendengaranku. Bola mataku mulai bergerak kanan kiri
membaca setiap kata dalam novel. Angin sepoi-sepoi sesekali menerbangkan
beberapa helai rambutku. Keadaan sepi seperti di taman ini yang kucari
selain mencari tempat yang enak untuk membaca, aku juga ingin
menenangkan pikiranku selepas dari sibuknya kegiatan sekolah.<br />
<a href="http://www.blogger.com/null" name="more"></a><br />
<br />
Drrzztt.. Drrzztt..<br />
<br />
Kurasakan sesuatu bergetar dari saku celanaku, ya.. Handphone. Segera ku
rogoh saku celanaku dan melihat siapa yang mengirimkan pesan.<br />
<br />
Assalamualaikum.<br />
Sya, Ima sakit. Di Rumah Sakit Amanda.<br />
<br />
Seketika perasaanku berdebar khawatir setelah membaca isi pesan
tersebut. Tanpa membalas sms yang masuk, aku langsung pergi menuju rumah
sakit yang dimaksud.<br />
<br />
***<br />
<br />
"Mbak, Ima kenapa?" tanyaku dengan napas terengah-engah, ketika sudah berdiri dihadapan wanita berjilbab anggun itu.<br />
<br />
"Mbak, nggak tahu, Sya. Mudah-mudahan Ima nggak apa-apa" jawab wanita
yang berumur tiga tahun diatasku, yang kuikuti dengan mengaminkan.<br />
<br />
Namanya Hani, kakak Ima, sahabatku. Jari-jarinya terlihat diremas-remas.
Wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang sangat akan keadaan adiknya itu.<br />
Setelah dokter memeriksa keadaan Ima, dokter memberitahukan jika Ima
hanya kelelahan, dan telat makan, yang menyebabkan mag nya kambuh lagi.
Aku menghela napas lega. Syukurlah !<br />
<br />
*****<br />
<br />
Tanganku sudah sibuk berkutat mengerjakan PR rangkuman Geografi yang
lupa untuk aku kerjakan tadi malam. Memburu waktu, aku berusaha
menyelesaikannya sebelum bel berbunyi, suasana sekolah dan kelas masih
terlihat lengang. Aku pun sengaja berangkat pagi hanya untuk tugas itu.<br />
<br />
"Huhft, beres juga" gumamku, sambil menghentakkan tangan kananku yang
letih sekian saat menggenggam pulpen. Kumasukkan kembali buku dan alat
tulisku ke dalam tas.<br />
Kutatap jam berwana ungu muda yang melingkar dipergelangan tanganku ,
jarum jamnya berhenti pada jam 06.10 WIB. Masih sangat pagi, bukan?<br />
<br />
Drzzt.. Drzzt..<br />
<br />
Kurasakan getaran didalam tas sekolahku, apalagi kalau bukan pesan masuk. Aku melihat layar hp, muncul sebuah nama : Ima.<br />
<br />
Sya, kamu udah nyampe di sekolah? Aku udah ada di halaman nih. Kesini dong [:D]<br />
<br />
Setelah membaca smsnya, aku bergegas ke halaman belakang sekolah untuk
menemui Ima. Disana aku melihat seorang gadis membelakangiku, dengan
jilbabnya yang lumayan panjang, dan dilengkapi seragam panjangnya.<br />
Keningku berkerut. "Mana Ima?" gumamku dengan nada suara yang hanya aku yang bisa mendengarnya.<br />
<br />
Gadis yang ku lihat itu jelas bukan Ima, Ima gadis tomboy yang paling
suka main basket dan main gitar. Aku memutuskan untuk bergegas kembali
ke kelas.<br />
<br />
"Sya..," panggil seseorang ketika kakiku nyaris melangkah.<br />
<br />
Suara itu sudah tak asing bagiku, segera ku tolehkan kepalaku. Aku
terkaget-kaget, juga heran dengan apa yang kulihat . Gadis itu tersenyum
dan senyuman khas yang sudah sering ku lihat. Aku mendekat pada gadis
yang tak lain adalah Ima, gadis yang dikenal tomboy, dan bukan seseorang
seperti yang ku lihat sekarang.<br />
<br />
"I... Ima, kamu?" Ucapanku menggantung, masih dengan perasaan heran melihatnya berubah 180 derajat.<br />
<br />
"Assalamualaikum, Sya. Kenapa? Kamu kaget, ya lihat aku?" jawabnya yang tumben-tumbenan melontarkan salam. Manis sih..<br />
<br />
Dhuar. Seperti meletus balaon hijauku.<br />
"Waalaikumsallam, Ma. Jelas! Aku kaget dan gak percaya kamu pake jilbab?
Kok bisa, Ma?" tanyaku yang menatap Ima lekat-lekat. Ima tersenyum dan
memilih menatap lurus ke depan.<br />
<br />
Kami pun duduk di kursi panjang, dekat kolam ikan sebelum meneruskan perbincangan.<br />
<br />
"Ini udah saatnya aku menutup aurat, Sya. Aku sadar, aku ini udah
baligh, bukan anak kecil lagi. Saat aku masuk rumah sakit kemarin, aku
sempat bermimpi ketemu sama Alm. Ibuku. Dia datang menemuiku dengan
membawa jilbab berwarna putih. Senyuman ibu begitu indah dan mengembang.
Tanpa berbicara satu kata pun ibu menghilang setelah memberikan jilbab
yang ia pegang" jelas Ima, air matanya terlihat menetes.<br />
<br />
Aku tak menyangka dengan perubahan drastisnya, padahal aku sudah lama
mengenal Ima, dan dia paling anti memakai jilbab, apalagi rok. Lebih
dari aku yang nggak terlalu risih kalau pake jilbab. Tapi, sekarang ia
terlihat anggun, dan nada bicaranya yang lembut tak seperti biasanya.<br />
<br />
"Dari situlah aku merasakan kasih sayang ibu yang luar biasa, beliau
sejak dulu sangat menginginkan aku memakai jilbab dan menutup aurat.
Tapi aku membandel tak mendengar perintah Ibu. Sepertinya sekarang
saatnya aku diberikan kerinduan untuk menaati Ibu," butiran bening itu
sudah keluar dengan derasnya.<br />
<br />
"Aku kangen Ibuku, Sya.."<br />
<br />
Aku bisa melihat gurat penyesalan dari mata bulatnya.<br />
<br />
"Udah, Ma. Jangan nangis! Aku yakin Ibu kamu udah bahagia sekarang. Kamu
cantik, lebih cantik setelah kamu pake jilbab. Aku kagum sama kamu,
Ma." Ima mengalihkan pandangannya menjadi menatapku. Lagi-lagi dia
tersenyum, dan tangannya mengusap sisa-sisa hujan yang jatuh dari
kelopak matanya.<br />
<br />
"Aku harap kamu juga bisa pake jilbab, Sya" balas Ima, yang membuatku
tercekat. Aku bingung harus membalas omongannya dengan menjawab apa. Aku
hanya bisa menggoreskan senyum walaupun kupaksakan.<br />
<br />
***<br />
<br />
Semenjak memakai jilbab, Ima benar-benar total melaksanakan kewajibannya
sebagai seorang muslimah. Dulunya yang jarang banget sholat, sekarang
rajin sholat dan juga mengaji. Main basket pun memakai jilbab, padahal
kan agak ribet basket make jilbab begitu. Sekarang Ima memilih menambah
ikut eskul yang berbau Islami.<br />
Disela-sela acara melamunku, kurasakan seseorang menyentuh bahuku, aku
segera menoleh dan beranjak dari dudukku. Sebuah senyum cantik sudah
menyambutku.<br />
<br />
"Ima," ucapku, saat tahu orang itu adalah Ima.<br />
<br />
"Udah adzan, tuh, sholat yuk? Dari pada ngelamunin yang nggak jelas" Ima
tersenyum, membuatku tersenyum malu, tahu saja kalau aku sedang melamun
tentang dirinya. Setelah sholat, Ima memberikan ku sebuah kotak sedang
yang berbalut kertas kado berwarna ungu, warna kesukaanku. Aku
menerimanya dengan rasa bingung, inikan bukan hari ulang tahunku. Dan
dalam rangka apa Ima memberikan kado itu?.<br />
<br />
"Anggap aja itu kado ulangtahun kamu yang udah kelewat. Aku harap kamu
bisa pake itu setiap kamu menemui aku. Bukanya di rumah aja, ya, Sya"
ucap Ima, yang sudah menjawab pertanyaanku yang belum aku utarakan.<br />
<br />
"Makasih, ya, Ma kadonya" balasku yang tak lupa tersenyum, lalu dibalas
cepat oleh Ima. Sesampainya di rumah, aku langsung membuka kado yang
diberikan Ima, karena dari tadi aku memikirkan apa isinya. Kertas kado
yang tadinya rapi, terburu-buru kusobek. Setelah terbuka, ku ambil kain
putih yang terlipat rapi itu.<br />
<br />
"Jilbab..," gumamku tersentak. "Cantik banget jilbabnya. Tapi, aku belum
siap buat berjilbab," ucapku lirih, yang tak lain pada diriku sendiri.<br />
<br />
******<br />
<br />
Lantunan lagu Katy Perry-Firework berdering lewat handponeku. Tanganku meraba-raba dimana handponeku berada.<br />
<br />
"Haduh, siapa sih yang telepon subuh-subuh? Kurang kerjaan apa?"
gerutuku, dengan mata yang belum terbuka sempurna. Nama yang tertera
dilayar HP pun tak ku lihat jelas.<br />
<br />
"Hallo, " sapaku dengan nada sedikit kesal.<br />
<br />
"Assalamualaikum, Sya" balas seseorang bersuara parau.<br />
<br />
"Waalaikumsallam" jawabku singkat, diantara berat mataku yang terjaga dan tak terjaga.<br />
<br />
"Sya, maaf sudah mengganggu subuh-subuh begini. Ini Mbak Hani.."<br />
mendengar nama Mbak Hani, aku langsung bangkit dari tidurku, menjadi posisi duduk. Mataku mulai terbuka sempurna.<br />
<br />
"Oh, Mbak! Ada apa, Mbak?"<br />
<br />
"Sya, kamu bisa datang ke rumah Mbak, sekarang?" aku mendengar isak
tangis dari suara Mbak Hani yang dia sembunyikan. Entah benar atau hanya
perasaanku saja.<br />
<br />
"Memangnya ada apa, Mbak?"<br />
<br />
"Hiks, Ima. . Ima, Sya" tangisan itu memang nyata. Tiba-tiba perasaanku tak enak.<br />
<br />
"Mbak, Ima kenapa?"<br />
<br />
***<br />
<br />
"Tengah malam Mbak masih mendengar Ima keluar kamar dan mengambil wudhu
untuk melaksanakan sholat tahajjud. Dan mbak masih mendengar dia mengaji
ayat suci Al-Quran. Sekitar pukul 04.00, Mbak pergi ke kamar Ima untuk
mengembalikan buku yang Mbak pinjam. Mbak lihat Ima malah terlelap
dengan mukena yang masih melekat di tubuhnya, beralas sejadah, dan
memegang Al-Quran. Saat mbak akan bangunkan, Ima gak memberi respon dan
ternyata Ima udah nggak bernapas lagi," jelas Mbak Hani yang terisak
menjelaskan kejadiaannya kepadaku, tepat di pinggir makam Ima yang masih
merah, bertabur bunga-bunga segar mewangi, dengan nisan yang kokoh
tertancap diatasnya "Fatimah Nurkhoerotun"<br />
<br />
Sama halnya dengan Mbak Hani, aku tak menyangka Allah memanggil sahabat
terbaikku itu begitu cepat, dan juga dengan cara yang mulia, di hari
Jumat pula, hari yang penuh arti menurutku.<br />
<br />
*****<br />
<br />
Di rumah, segera kubuka surat yang diberikan Mbak Hani dari Ima untukku.<br />
<br />
Assalamualaikum, Sya [:)]<br />
<br />
Alhamdulillah, aku masih bisa menulis surat ini untukmu. Sebelum aku
benar-benar merasa Allah akan segera memintaku kembali dan dipeluk dalam
syurga-Nya, amien..<br />
<br />
Sya, jilbab putih yang aku hadiahkan untukmu, adalah hadiah terakhir
yang bisa kuberikan. Dan berharap jika ada keinginan dalam hatimu untuk
segera memakainya.<br />
<br />
Dulu kamu juga tahu diriku anti terhadap Jilbab. Tapi, alhamdulillah
Allah memberikan cahayanya pada hatiku yang gelap. Jilbab itu bukan
sesuatu yang buruk, bukan sesuatu yang risih, apalagi bisa menghilangkan
kecantikan seorang wanita. Itu salah besar, Sya! Coba kamu perhatikan
dirimu di cermin. Betapa cantiknya jika tubuh dan rambut indahmu
tertutup, bahkan lebih cantik. Kecantikan yang pertama itu berasal dari
hati, kecantikan hati nggak akan pernah pudar, tapi kecantikan wajah,
akan berkerut dan mengendor. Allah takkan memerintahkan sesuatu, jika
itu bukan untuk kebaikkan. Jilbab melindungi kita dari mata nakal
laki-laki, lebih menjaga kita dari hal buruk, dan wujud rasa cinta dan
patuh kita sebagai hamba-Nya. Aku masih belajar untuk memakai jilbab
sesuai syariat, kamu juga sama. Kita sama-sama belajar.<br />
Oh iya, jangan lupa, Sya. Kalau kamu ingin menemuiku, pake jilbabnya, ya [:)].<br />
Sekian dariku, dan Semoga Allah selalu melindungimu.<br />
<br />
Wassalamualaikum wr.wb.<br />
<br />
Sahabatmu, Ima []<br />
<br />
Buliran hangat itu mengalir dengan sendirinya di pipi ini tanpa otakku
yang memerintahkan. Aku terenyuh, sangat benar yang dituliskan Ima dalam
surat itu. Aku menatap bayanganku di cermin, dengan kepala yang
terbalut jilbab pemberian Ima. Ya Allah, aku terlihat berbeda dan aku
merasakan getaran dalam hatiku, ketenangan yang belum aku rasakan
sebelumnya<br />
<br />
******<br />
<br />
Sodaqallahhul'adzim...<br />
Wa shodaqo rosululloh..<br />
<br />
Ku akhiri doaku saat itu disamping makam Ima. Kusirami air dan kutaburi bunga segar. Ku tatap batu nisan yang tertulis namanya.<br />
<br />
"Assalamualaikum, Ma. Lihat kan aku datang dengan jilbab yang kamu kasih
ke aku. Aku cantik nggak? Hehe. Makasih ya, Jilbab ini sangat berati
untukku. Seperti dirimu! Kamu pasti sudah bahagia di Syurga Allah.
Terimakasih juga sudah mengingatkanku. Kamu sahabat terbaikku, Ma. Aku
sudah berjanji, akan memakai jilbab dan nggak akan aku lepas lagi"<br />
<br />
---The End---<br />
<br />
Sebuah cerpen remaja islami tentang sebuah jilbab yang simple tapi bisa
diambil hikmahnya. Tentang sebuah jilbab dan juga pesan terakhir seorang
sahabat. Semoga bisa jadi bacaan dan juga renungan.Ade Maulana Rahmanhttp://www.blogger.com/profile/06806462507728421518noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1563349201008104401.post-40798785797810601402013-06-05T02:46:00.000-07:002013-06-05T02:46:39.098-07:00Cintaku Berlabuh Karena ALLAH<div class="MsoNormal">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEigW11OWZwvxYZGdnujlSTZ9soOXN38tbgiFN2LGJ0dGsASXu8kMF0GvHEbYdIZxU7w8qGYBlYkJhKU0ro3dEusMXp4e409nyCQtiQDu223B88OioMzkd2lG59AVJZ0-44XGarxVsuMarRH/s1600/labuh+cinta.jpg" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="204" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEigW11OWZwvxYZGdnujlSTZ9soOXN38tbgiFN2LGJ0dGsASXu8kMF0GvHEbYdIZxU7w8qGYBlYkJhKU0ro3dEusMXp4e409nyCQtiQDu223B88OioMzkd2lG59AVJZ0-44XGarxVsuMarRH/s320/labuh+cinta.jpg" width="220" /></a> Awalnya, aku bertemu dengannya di sebuah acara yang
diselenggarakan di rumahku sendiri. Gadis itu sangat berbeda dengan cewek-cewek
lain yang sibuk berbicara dengan laki-laki dan berpasang-pasangan. Sedangkan
dia dengan pakaian muslimah rapi yang dikenakannya membantu mamaku menyiapkan
hidangan dan segala kebutuhan dalam acara tersebut. Sesekali gadis itu bermain
di taman bersama anak-anak kecil yang lucu, kulihat betapa lembutnya dia dengan
senyuman manis kepada anak-anak.<br />
<a href="http://www.blogger.com/null" name="more"></a><br />
Dari sikapnya itu aku tertarik untuk
mengenalnya. Akhirnya dengan pede-nya keberanikan diri untuk mendekatinya dan
hendak berkenalan dengannya. Namun, kenyataannya dia menolak bersalaman
dengannku, dan cuma mengatakan, “Maaf...” dan berlalu begitu saja
meninggalkanku.
</div>
<div class="MsoNormal">
Betapa malunya aku terhadap teman-teman yang berada di
sekitarku.“Ini cewek kok jual mahal banget !” Padahal begitu banyak cewek yang
justru berlomba-lomba mau jadi pacarku. Dia, mau kenalan saja tidak mau !” ujarku.
Dari kejadian itu aku menjadi penasaran dengan gadis tersebut. Lalu aku mencari
tahu tentangnya. Ternyata dia adalah anak tunggal sahabat rekan bisnis papa.
Setiap ada acara pertemuan di rumah gadis itu, aku selalu ikut bersama papa.</div>
<div class="MsoNormal">
Gadis itu bernama Nina, kuliah di Fakultas Kedokteran dan
dia anak yang tidak suka berpesta, berfoya-foya, dan keluyuran seperti cewek
kebanyakan di kalangan kami. Aku pun jarang melihatnya jika aku pergi ke
rumahnya; dengan berbagai alasan yang kudengar dari pembantunya: sakitlah, lagi
mengerjakan tugas, atau kecapaian. Pokoknya, dia tidak pernah mau keluar.</div>
<div class="MsoNormal">
</div>
<div class="MsoNormal">
Hingga suatu hari aku dan papa sedang bertamu ke rumahnya.
Pada saat itu, Nina baru saja pulang dengan busana muslimahnya yang rapi,
terlihat turun dari mobil. Namun belum jauh melangkah dia pun terjatuh pingsan
dan mukanya terlihat sangat pucat. Kami yang berada di ruang tamu bergegas
keluar dan papanya pun menggendong ke kamar serta meminta tolong kami untuk
menghubungi dokter. Dari hasil pemeriksaan dokter, Nina harus dirawat di rumah
sakit.</div>
<div class="MsoNormal">
Keesokan harinya, aku datang ke rumah sakit bermaksud untuk
menjenguknya. Betapa kagetnya aku ketika kutahu Nina terkena leukimia (kanker
darah). Aku bertanya, “Kenapa gadis selembut dan sesopan dia harus mengalami
hal itu ?”. Perasaan kesalku padanya kini berubah menjadi kasihan dan khawatir.
Setiap usai kuliah, kusempatkan untuk datang menjenguknya. Aku mendapatinya
sering menangis sendirian. Entah itu karena tidak ada yang menjaganya atau
karena penyakit yang diderita.</div>
<div class="MsoNormal">
Beberapa hari di rumah sakit, Nina memintaku keluar setiap
kali aku masuk. Aku pun mendatanginya di rumah, tapi dia tidak pernah mau
keluar menemuiku dan hanya mengurung diri di dalam kamar. Aku tidak menyerah
begitu saja, kucoba menelpon Nina dan berharap dia mau bicara denganku. Namun,
dia tetap tidak mau mengangkat telpon dariku, lalu kukirimkan SMS padanya agar
dia mau menjadi pacarku, tetapi tidak ada balasan malah HP-nya dinonaktifkan
semalaman.</div>
<div class="MsoNormal">
Keesokan harinya aku nekat datang ke rumahnya untuk meminta
maaf atas kelancanganku. Ternyata ia akan berangkat ke Makasar, ke kampung
orang tuanya. Karena orang tuanya tak dapat mengantarnya, aku pun menawarkan
diri untuk mengantarnya, tapi Nina lebih memilih naik taksi dengan alasan tidak
mau merepotkan orang lain. Sebelum naik ke mobil, dia menitipkan kertas untukku
kepada mamanya.</div>
<div class="MsoNormal">
Alangkah hancur hatiku ketika membaca sebait kalimat yang
berbunyi, “Maaf saat ini aku hanya ingin berkonsentrasi kuliah.” Hatiku remuk
dan aku pulang dengan perasaan kesal sekali. Ini pertama kalinya aku ingin
pacaran, tapi ditolak. Sebenarnya, aku tidak begitu suka dengan hubungan
seperti pacaran itu karena begitu banyak dampak negatifnya, sampai ada yang
rela bunuh diri karena ditinggalkan kekasihnya –na’udzubillahi min dzalik.</div>
<div class="MsoNormal">
Namun entah mengapa ketika aku melihat Nina hatiku pun
tergoda untuk menjalin hubungan itu. Sejak perpisahan itu, aku tidak pernah
lagi bertemu dengannya sampai gelar sarjana aku raih. Lalu aku pun bekerja di
perusahaan milik keluargaku sebagai satu-satunya ahli waris. Melihat
ketekunanku dalam bekerja, papa Nina ,menyukaiku hingga hubungan kami menjadi
akrab dan kuutarakanlah maksudku bahwa aku menyukai Nina, anaknya, dan ternyata
papa Nina setuju untuk menjadikanku sebagai menantunya.</div>
<div class="MsoNormal">
24 Oktober 2006, bertepatan dengan hari raya Idul Fitri, aku
dan orang tuaku bersilaturahmi ke rumah keluarga Nina dengan maksud untuk
membicarakan perjodohan antara aku dan Nina. Tapi pada saat itu Nina baru
dirawat di rumah sakit sejak bulan Ramadhan. Saat kutemui, Nina terlihat sangat
pucat, lemah, dan senyumannya seakan menghilang dari bibirnya. Hari itu orang
tua kami resmi menjodohkan kami. Bahkan aku diminta untuk menjaganya karena
orang tuanya akan berangkat ke luar negeri. Tetapi Nina tidak pernah mau
meladeniku.</div>
<div class="MsoNormal">
Suatu hari aku mendapati Nina terlihat kesakitan, terlihat
darah keluar dari hidung dan mulutnya. Aku bermaksud untuk membantu mengusap
darah dan keringat yang ada di wajahnya, tetapi secara spontan dia menamparku
pada saat aku menyentuh wajahnya. Betapa</div>
<div class="MsoNormal">
kaget diriku dibuatnya, aku tidak menyangka sama sekali Nina
akan manamparku. Sungguh betapa istiqomahnya dia dalam menjaga kehormatan untuk
tidak disentuh laki-laki yang bukan muhrimnya. Saat itu aku belum mengetahui
tentang masalah ini dalam agama.</div>
<div class="MsoNormal">
Kejadian tersebut secara tak sengaja terlihat mama Nina maka
Nina pun dimarahi habis-habisan hingga sebuah tamparan mendarat di pipinya.
Kulihat Nina segera melepas infusnya dan berlari menuju kamar mandi. Nina pun
mengurung diri di kamar mandi tersebut. Dengan terpaksa kami mendobrak pintu
kamar mandi dan kami dapati Nina tergeletak di lantai tak sadarkan diri karena
terlalu banyak darah yang keluar.</div>
<div class="MsoNormal">
Setelah sadar, aku berusaha bicara dan meminta maaf
kepadanya atas kejadian tadi, namun Nina terus-terusan menangis. Aku pun
bertambah bingung apa yang mesti aku lakukan untuk menenangkannya. Tanpa pikir
panjang aku memeluknya, tapi Nina malah mendorongku dengan keras dan berlari
keluar dari kamar menuju taman. Ketika kudekati Nina berteriak hingga
menjadikan orang-orang memukulku karena menyangka aku mengganggu Nina. Karena
itulah, Nina semalaman tidur di taman dan aku hanya bisa melihatnya dari
kejauhan. Setelah waktu subuh menjelang kulihat Nina beranjak untuk
melaksanakan shalat shubuh di masjid, aku pun turut shalat. Namun setelah
shalat, tiba-tiba Nina menghilang entah kemana.</div>
<div class="MsoNormal">
Aku mencarinya berkeliling rumah sakit tersebut. Dan lama
berselang kulihat banyak kerumunan orang dan ternyata Nina sudah tak sadarkan
diri tergeletak dengan HP berada di sampingnya, sepertinya dia bosan telah
berbicara dengan seseorang. Keadaan Nina saat itu sangat kritis sehingga
pernafasannya harus dibantu dengan oksigen. Kata dokter, paru-paru Nina basah
yang mungkin diakibatkan semalaman tidur di taman.</div>
<div class="MsoNormal">
Nina tak kunjung juga sadar. Dengan perasaan khawatir dan
bingung aku berdoa dengan menatap wajahnya yang pucat pasi...</div>
<div class="MsoNormal">
Tiba-tiba ada sebuah SMS yang masuk ke HP Nina, tanpa sadar
aku pun membaca dan membalas SMS tersebut. Aku juga membuka beberapa SMS yang
masuk ke HP-nya dan aku sangat terharu dengan isinya, tenyata banyak sekali
orang yang menyayanginya. Di antaranya adalah orang yang bernama Ukhti. Dulu
sebelum aku mengetahui Ukhti adalah panggilan untuk saudari perempuan, aku
sempat cemburu dibuatnya. Aku mengira Ukhti itu adalah pacar Nina yang menjadi
alasan dia menolakku. Setelah Nina tersadar dari pingsannya, aku menunjukkan
SMS yang dikirimkan saudari-saudarinya dan dia sangat marah ketika tahu aku
sudah membaca dan membalas SMS dari saudari-saudarinya. Dia pun akhirnya
melarangku untuk memegang HP-nya apalagi mengangkat atau menghubungi
saudari-saudarinya.</div>
<div class="MsoNormal">
Namun, tetap saja aku sering ber-SMS-an dengan
saudari-saudarinya untuk mengetahui kenapa sikap Nina begini dan begitu. Dari
sinilah aku mendapat sebuah jawaban bahwa Nina tidak mau bersentuhan apalagi
berduaan denganku karena aku bukan mahramnya dan Nina menolak untuk berpacaran
serta bertunangan denganku karena di dalam Islam tidak ada hal-hal seperti itu
dan hal itu merupakan kebiasaan orang-orang non Muslim.</div>
<div class="MsoNormal">
Aku tahu juga Nina mencari seorang ikhwan yang mencintai
karena Alloh bukan atas dasar hawa nafsu. Akhirnya aku tahu kan sikap Nina
selama ini semata-mata dia hanya ingin menjalankan syariat Islam secara benar.
Hari berlalu dan aku terus belajar sedikit demi sedikit tentang Islam dari Nina
dan saudari-saudarinya, terutama dalam melaksanakan shalat lima waktu tepat
pada waktunya. Saat itu aku merasakan ketenangan dan ketentraman selama
menjalankannya dan menimbulkan perasaan rindu kepada Alloh untuk senantiasa
beribadah kepada-Nya.</div>
<div class="MsoNormal">
Niatku pun muncul untuk segera menikahi Nina agar tidak
terjadi fitnah, namun kondisi Nina semakin memburuk. Dia selalu mengigau
memanggil saudari-saudarinya yang dicintainya karena Alloh.....</div>
<div class="MsoNormal">
Melihat hal itu, aku membawanya ke kota Makassar, kampung
mama kandung Nina untuk mempertemukannya dengan saudari-saudarinya, Qadarulloh
(atas kehendak Alloh), aku tidak berhasil mempertemukan mereka. Yang ada
kondisi Nina semakin parah dan penyakitku juga tiba-tiba kambuh sehingga aku
pun haus dirawat di rumah sakit. Orang tua Nina datang dan membawanya kembali
ke kota Makassar tanpa sepengetahuanku karena pada saat itu aku juga diopname.</div>
<div class="MsoNormal">
Di kota Makassar, Nina diawasi dengan ketat oleh papanya,
karena papa Nina kurang suka dengan akhwat, apalagi yang bercadar. Rumah sakit
dan rumah yang ditempati Nina dirahasiakan. Dan Nina pun tak tahu di manakah ia
berada. Karena kondisinya masih lemah, diapun tak bisa berbuat apa-apa, bahkan
ia kadang dibius, apalagi ketika akan dipindahkan dari satu tempat ke tempat
yag satunya agar tidak tahu di mana keberadaaannya, karena papanya tidak ingin
ada akhwatyang menjenguk Nina. Sampai HPnya pun diambil dari Nina.</div>
<div class="MsoNormal">
Namun, karena Nina masih mempunyai HP yang ia sembunyian
dari papanya, sehingga beberapa kali Nina berusaha kabur untuk menemui
saudari-saudarinya, akhirnya Nina dikurung di dalam kamar. Mendengar hal itu,
aku langsung menyusul Nina ke Makassar dan aku sempat bicara dengannya dari
balik pintu. Nina menyuruhku untuk menemui seorang ustadz di sebuah masjid di
kota itu. Dari pertemuanku dengan ustadz tersebut aku pun diajak ta’lim
beberapa hari dan aku menginap di sana.</div>
<div class="MsoNormal">
Papa Nina menyangka Nina telah mengusirku sehingga ia pun
dimarahi. Setibanya di rumah, aku jelaskan duduk perkaranya kepada papa Nina,
bahwa ia tidak bersalah dan aku mengatakan agar pernikahan kami dipercepat.</div>
<div class="MsoNormal">
Hari Kamis, 24 November 2006. Kami melangsungkan pernikahan
dengan sangat sederhana. Acara tersebut Cuma dihadiri oleh orangtua kami
beserta dua orang rekanan papa. Setelah akad nikah aku langsung mengantar ustadz
sekalian shalat dhuhur. Betapa senangnya hatiku, akkhirnya aku bisa merasakan
cinta yang tulus karena Alloh. Semoga kami bisa membentuk keluarga sakinah
mawaddah, wa rahmah dan senantiasa dalam ketaatan kepada Alloh.....Itulah doaku
saat itu.</div>
<div class="MsoNormal">
Sepulang dari mengantar ustadz, perasaan bahagia itu seakan
buyar mendapati Nina yang baru saja menjadi istriku tergeletak di lantai, dari
hidung dan mulutnya kembali berlumuran darah. Dan tangannya terlihat ada
goresan. Kami langsung membawanya ke rumah sakit, diperjalanan, kondisi Nina
terlihat sangat lemah. Terdengar suaranya memanggilku dan berkata agar aku
harus tetap di jalan yang diridhai-Nya sambil memegang erat tanganku dengan
tulus, air mataku tak tertahankan melihat keadaan Nina yang terus berdzikir
sambil menangis.....Dia juga selalu menanyakan saudari-saudarinya dimana ?</div>
<div class="MsoNormal">
Setibanya di rumah sakit, aku bertanya-tanya kenapa tangan
Nina tergores. Aku pun menulis SMS kepada saudari-saudari Nina. Ternyata,
tangan Nina tergores ketika hendak menemui saudari-saudainya dengan keluar dari
kamar. Karena pintu kamar terkunci, Nina ingin keluar melalui jendela sehingga
menyebabkan tangannya tergores. Nina tak kunjung sadar hingga larut malam, aku
pun tertidur dan tidak menyadari kalau Nina bangkit dari tempat tidurnya. Dia
ingin sekali menemui saudari-saudarinya dan dia tidak menyadari kalau hari
telah larut malam. Dia Cuma berkata, “Pengin ketemu saudariku karena sudah tak
ada waktu lagi.” Berhubung Nina masih lemah, dia pun jatuh pingsan setelah
bebrapa saat melangkah.</div>
<div class="MsoNormal">
Aku benar-benar kaget dan bingung mau memanggil dokter tapi
tidak ada yang menemani Nina. Akhirnya, aku menghubungi salah seorang
saudarinya untuk menemani. Setelah aku dan dokter tiba, Nina sudah tidak
bernafas dan bergerak lagi. Pertahananku runtuh dan hancurlah harapanku melihat
Nina tidak lagi berdaya.... Dokter menyuruhku keluar. Pada saat itu kukira Nina
telah tiada, makanya aku segera menulis SMS kepada saudari Nina untuk
memberitahu bahwa Nina telah tiada. Namun begitu dokter keluar, masya Alloh !</div>
<div class="MsoNormal">
Denyut jantung Nina kembali beredetak dan ia dinyatakan
koma. Aku hendak memberi kabar kepada saudari Nina tapi baterai HP-ku habis dan
tiba-tiba penyakitku pun kambuh lagi sehingga aku harus diinfus juga.....</div>
<div class="MsoNormal">
Jam 11.30, perasaanku mengatakan Nina memangilku, maka aku
segera bangkit dari tempat tidur dan melepas infus dari tanganku menuju kamar
Nina. Kutatap wajah Nina bersamaan dengan kumandang adzan shalat Jum’at.
Sembari menjawab adzan, aku terus menatap wajah Nina berharap dia akan membuka
matanya.</div>
<div class="MsoNormal">
Begitu lafadz laa ilaaha illallah, suara mesin pendeteksi
jantung berbunyi, menandakan bahwa Nina telah tiada. Aku berteriak memanggil
dokter, tapi qadarulloh istriku sayang telah pergi untuk selama-lamanya dari
dunia ini. Nina langsung dimandikan dan dishalatkan selepas shalat Jum’at, lalu
diterbangkan ke rumah papanya di Malaysia. Untuk terakhir kalinya kubuka kain
putih yang menutupi wajah Nina. Wajahnya terlihat berseri.....</div>
<div class="MsoNormal">
Aku harus merelakan semua ini, aku harus kuat dan menerima
takdir-Nya. Teringat kata-kata Nina, “Berdoalah jika memang Alloh memangilku
lebih awal dengan doa, “Ya Alloh, berilah kesabaran dan pahala dari musibah
yang menimpaku dan berilah ganti yang lebih baik.” Setelah pemakaman, aku
langsung balik ke Jakarta karena kondisiku yang kurang stabil...Astaghfirullah
!!! aku lupa memberitahu saudari-saudari Nina. Mungkin karena aku terlalu larut
dalam kesedihan, hingga secara spontanitas aku menghubungi mereka dan
menyampaikan bahwa Nina benar-benar talah tiada. Aku tahu pasti, mereka pasti
sedih dengan kepergian saudari mereka yang mereka cintai karena Alloh. Dari
ketiga saudari Nina, ada seorang yang tidak percaya dan sepertinya dia sangat
membenciku. Entah, mengapa sikapnya seperti itu ?</div>
<div class="MsoNormal">
Sekiranya mereka tahu, bahwa sebelum kepergiannya, Nina
selalu memanggil nama mereka, tentulah mereka semakin sedih. Dalam HP Nina
terlihat banyak SMS yang menunjukkan betapa indahnya ukhuwah dengan
saudari-saudarinya. Semoga saudari-saudari Nina memaafkan kesalahannya dan
kesalahan diriku pribadi.</div>
<div class="MsoNormal">
“Salam sayang dari Nina tu kakak Rini, Sakinah, dan Aisyah
serta akhwat di Makassar. Teruslah berjuang menegakkan dakwah ilallah. Syukran
atas perhatian kalian....”</div>
<div class="MsoNormal">
*****</div>
<div class="MsoNormal">
Tak beberapa lama setelah kisah ini dimuat di Media Muslim
Muda Elfata, redaksi Elfata menerima SMS dari seorang ukhti, saudari Nina. Isi
SMS tersebut adalah, “Afwan , mungkin perlu Elfata sampaikan kepada pembaca
mengenai kisah ‘Akhirnya Cintaku Berlabuh karena Alloh’ di mana Kak Nina telah
meninggal dan kini Kak Adhit pun telah tiada. Kurang lebih 2 pekan (Kak Adhit
–red) dirawat di rumah sakit karena penyakit pada paru-parunya. Sebelum sempat
dioperasi, maut telah menjemputnya. Ana menyampaikan hal ini karena masih
banyak yang mengirim salam, memberi dukungan ke Kak Adhit yang kubaca di Elfata
dan beberapa orang yang kutemui di jalan juga selalu bertanya, Kak Adhit
bagaimana ? Ana salah satu ukhti dalam cerita tersebut...Syukran.”</div>
<div class="MsoNormal">
PERCIK RENUNGAN</div>
<div class="MsoNormal">
Subhanalloh ! Kisah Adhit dan Nina di atas dapat kita
jadikan sebuah cermin untuk berkaca. Renungkanlah keteguhan Nina untuk tak
meladeni tawaran cinta asmara yang tak terselimuti indahnya syariat. Padahal
Nina adalah seorang yang sedang membutuhkan dukungan, pertolongan, dan sandaran
bahu tempat menangis. Nina berprinsip, meski dalam situasi sesulit apapun,
kemurnian syariat tetap harus dijaga dan diamalkan.</div>
<div class="MsoNormal">
Gelombang kesulitan tak harus menjadikan kita surut dalam
berkonsisten dengan syariat ini. Bahkan bisa jadi kesulitan demi kesulitan yang
kita alami menjadi parameter seberapa jauh kita telah mengamalkan ajaran agama
ini. Di lain sisi, ketidaktahuan seseorang akan syariat ini seringkali
menjadikan pelakunya bertindak tanpa adanya rambu-rambu yang telah dicanangkan
agama.</div>
<div class="MsoNormal">
Namun, bisa jadi ketidaktahuan akan syariat ini menjadi
titik awal seseorang merasakan indahnya agama dan manisnya iman sebagaimana
yang terjadi pada Adhit, ikhwan yang menceritakan kisahnya ini. Semoga Alloh
merahmati mereka, menerima ruh mereka berdua dan</div>
<div class="MsoNormal">
menjadikan mereka berdua termasuk hamba-hamba-Nya yang
shalih yang dijanjikan surga-Nya. Amiin.</div>
<div class="MsoNormal">
</div>
SELESAIAde Maulana Rahmanhttp://www.blogger.com/profile/06806462507728421518noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1563349201008104401.post-30788405217118278782013-06-05T02:45:00.001-07:002013-06-05T02:45:26.199-07:00Ketika Ramadhan Datang<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjCjGVIHo_RVfhjS6CBjCedFVQDuinoLDQalzk3MgLT-s2x7FWhpGKUNgN-YzE2GoBq5BqnXhJkwAyLukhfwKaSqhWoWaP65SiQh-BmzAWPtaFFFaBG7F_IWvuykFAOi9rtulbS6E4TRUKp/s1600/keluarga.jpg" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="200" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjCjGVIHo_RVfhjS6CBjCedFVQDuinoLDQalzk3MgLT-s2x7FWhpGKUNgN-YzE2GoBq5BqnXhJkwAyLukhfwKaSqhWoWaP65SiQh-BmzAWPtaFFFaBG7F_IWvuykFAOi9rtulbS6E4TRUKp/s200/keluarga.jpg" width="200" /></a></div>
<div class="MsoNormal">
Tidak terasa bulan Ramadhan sudah bergulir sepuluh hari.</div>
<div class="MsoNormal">
"Gimana Bi ....... dapat ijin dari pak Hendra? "
tanya Fitri, isteriku penuh harap.</div>
<div class="MsoNormal">
"Nggak boleh Mi... nggak dapat ijin" jawabku.</div>
<div class="MsoNormal">
Kulihat Fitri terdiam, tapi terlihat semburat kekecewaan
nampak pada rona wajahnya. Yah betapa tidak cuti lebaran tahun ini tak
kuperoleh dari atasanku. Berarti ini sudah tahun ketujuh kami sekeluarga tidak
dapat berlebaran di kampung bersama sanak keluarga. Sejak menikah, sampai kami
mempunyai 3 anak, aku dan Fitri memang tidak pernah merasakan berlebaran
bersama keluarga.<br />
<a href="http://www.blogger.com/null" name="more"></a></div>
<div class="MsoNormal">
</div>
<div class="MsoNormal">
Pada mulanya aku begitu yakin pak Hendra atasanku akan
memberiku cuti 3 pekan, karena aku pikir sudah 2 tahun aku tidak mengambil
cuti, dan lagi sudah tujuh kali berturut aku tidak dapat kebagian cuti lebaran.
Tapi nyatanya dengan permintaan maaf, pak Hendra menolak ajuan cutiku. Posisiku
sebagai chief manager di perusahaan ini mengharuskan aku menangani kontrak
kerja yang diadakan sepekan setelah lebaran. Buyar sudah impian mudik lebaran
bersama keluarga.Terbayang bagaimana Fitri sudah menyiapkan berbagai macam
oleh-oleh untuk keluarga kami. Kebetulan keluargaku dankeluarga Fitri tinggal
di kampung yang sama hanya dibatasi oleh sungai yang membelah. Dan bagaimana
senangnya anak-anak kami dapat bertemu dengan mamak dan datuk nya. Oh tidak,
aku tidak boleh mengecewakan mereka.</div>
<div class="MsoNormal">
" Mi...bagimana kalau ummi saja yang pulang bersama
anak-anak?', tanyaku.</div>
<div class="MsoNormal">
"lalu abi bagaimana?" tanya Fitri.</div>
<div class="MsoNormal">
'Yaaa.. habis bagaimana lagi, abi tetap tinggal di Jakarta,
ummi dan anak-anak saja yang pulang ke Padang. Azzam, Ahmad dan Afif pasti
rindu dengan mamak dan datuk", timpalku, "sudah tiga tahun mereka
tidak pernah jumpa. Sekalian ummi refreshing kan, bisa ada yang bantuin momong
anak-anak", godaku.</div>
<div class="MsoNormal">
</div>
<div class="MsoNormal">
Selama ini kulihat Fitri memang begitu pontang-panting
mengurus tiga anak kami yang masih kecil-kecil. Azzam 5 tahun, Ahmad 3 tahun
dan Afif 1,5 tahun. Semua pekerjan rumah diurusnya sendiri mulai dari mengurus
anak-anak, mengurus keperluanku, membereskan rumah, masak, mencuci dan lain
lain. Ditambah lagi kegiatan isteriku untuk mengisi taklim dan pengajian kesana
kemari. Harus kuakui bahwa isteriku ini memang wanita aktif yang tidak bisa
diam. Aktifitasnya yang begitu padat tidak membuat dirinya merasa lelah. Kalau
sering berdiam diri tanpa ada kesibukan, setan selalu mengusik kita, begitu
alasannya.</div>
<div class="MsoNormal">
</div>
<div class="MsoNormal">
"Bukannya abi yang justru mau istirahat", kata
Fitri, " enak kan bi, nggak dengerin kecerewetan umi, atau tangisan
anak-anak" . Hemm....aku tersenyum kecut mendengarkan perkataan Fitri.
Tetapi dalam hatiku membenarkan apa yang baru Fitri ucapkan. Ya.. waktu
istirahat, pikirku nakal. Tidak mendengar suara teguran isteriku, ketika aku
masuk rumah tanpa membuka sepatu. Atau ketika makan tanpa membersihkan tangan dengan
sabun dan air yang bersih. Atau ketika pergi kantor tanpa menyisir rambut
dengan rapi, menggosok sepatu. Atau...beribu teguran yang selalu terdengar di
telinga. Memang kuakui Fitri mempunyai sifat resik dan disiplin dalam segala
hal. Dengan kesibukannya, kulihat rumah kami selalu rapi dan bersih.</div>
<div class="MsoNormal">
</div>
<div class="MsoNormal">
Kebersihan adalah sebagian dari Iman katanya sambil menyitir
salah satu hadits Rasulullah. Anak-anak tidak boleh tidur lewat dari pukul 9
malam dan pukul 4.30 harus sudah bangun. Setelah membaca koran dan buku harus
diletakkan kembali ketempatnya. Pakaian harus tergantung rapi. Azzam dan Ahmad
tampaknya sudah bisa mengikuti pola yang diterapkan umminya. Mereka menjadi
anak yang rajin dan disiplin.Aku yang selalu memakai pakaian asal comot
sekarang harus mematuhi 'peraturan' Fitri. Pakaian kantor, pakaian rumah,
pakaian tidur, pakaian kondangan dipilah-pilahnya, suatu hal yang tak
terpikirkan sebelum aku nikah. Pantas saja teman-temanku sering menggoda,
menurut mereka penampilanku setelah nikah berubah 180 derajat, lebih rapi dan
terurus katanya.</div>
<div class="MsoNormal">
</div>
<div class="MsoNormal">
Aku yang sebelum menikah tampil asal-asalan, hingga kamar
kostku pun terlihat amburadul, kadang agak jengah juga mendengar 'omelan'
Fitri. Sifat kami yang satu ini memang sangat jauh berbeda, seperti langit dan
bumi. Ketika aku mengatakan pada Fitri agar ia dapat mengurangi sedikit
kedisiplinannya dan keresikannya, ia mengelak dan mengatakan bahwa keluarga
muslim harus bersih. Bagaimana kita bisa mendakwahi orang lain agar terbiasa
hidup teratur dan bersih sementara diri kita tidak berbuat demikian tangkisnya.
Atau katanya kami harus malu kepada tetangga sebelah yang beragama Nasrani
apabila rumah kotor, penampilan awut-awutan dan hidup tidak teratur. Sebenarnya
betul juga apa yang dikatakannya. Tetapi sekarang aku mau istirahat di rumahku
sendiri, aku ingin merasakan sebentar kehidupan seperti dulu sewaktu kost dan
sebelum menikah. Bebas......</div>
<div class="MsoNormal">
</div>
<div class="MsoNormal">
****</div>
<div class="MsoNormal">
</div>
<div class="MsoNormal">
Pulang dari mengantar Fitri dan anak-anak ke Cengkareng, 10
hari sebelum Idul Fitri, rumah tampak begitu lengang sekali. Aku bisa
beristirahat dan tenang beriktikaf pikirku. Adzan maghrib terdengar,
bismillah... kuhirup air putih dari kulkas. Tidak ada teh hangat dan kolak
kesukaanku yang biasanya menemani berbuka puasa. Setelah sholat maghrib kuambil
nasi dari rice cooker dan rendang buatan Fitri yang tersimpan di lemari es. Aku
malas sekali untuk menghangatkannya. Biarlah... nasi putih plus rendang dingin
menjadi santapanku kali ini.</div>
<div class="MsoNormal">
Oh ya, aku harus segera pergi ke Masjid Baiturrohman
sekarang. Ada janji sholat tarawih dan pengajian Ramadhan. Piring-piring dan
gelas bekas makan kubiarkan saja tergeletak di meja. Kuambil baju sekenaku dan
tancap gas menuju masjid karena tak ada waktu lagi.</div>
<div class="MsoNormal">
</div>
<div class="MsoNormal">
****</div>
<div class="MsoNormal">
</div>
<div class="MsoNormal">
Tidak terasa Ramadhan sudah hampir berlalu. Ini adalah malam
Idul Fitri, terdengar suara takbir menggema di masjid-masjid. Ramai sekali.
Suara takbir nan merdu. Tiba-tiba aku tersadar dan merasa hampa. "
Ya..Alloh, aku begitu rindu kepada isteri dan anak-anakku......aku rindu dengan
celoteh dari mulut-mulut kecil mereka, tangis mereka, atau senandung do'a yang
sering mereka suarakan, dan juga rindu dengan senyum Fitri, serta
teguran-tegurannya". Butir-butir kristal berjatuhan tak terasa di atas
sajadah panjangku. Tangiskupun tak dapat ku bendung lagi. Ramadhan, bulan yang
penuh berkah akan meninggalkanku dan kerinduanku akan keluargaku membuat aku
tak bisa menahan tangis.</div>
<div class="MsoNormal">
</div>
<div class="MsoNormal">
Disuasana ramai seperti sekarang ini hanya kesunyian yang
aku rasakan. Aku merasa Alloh mencabut sementara nikmat yang telah
diberikanNya. Yaitu nikmat berkumpul dengan keluarga. Terasa sekarang ini
betapa nikmat itu ternyata merupakan karunia besaar sekali, yang tidak pernah
kusadari selama ini. Nikmat kesenangan berkumpul dengan keluarga kurasakan
setelah nikmat itu tidak ada untuk sementara.</div>
<div class="MsoNormal">
</div>
<div class="MsoNormal">
Aku ingat bagaimana wajah Fitri yang mendadak cemberut
ketika aku pulang kantor tanpa melepas sepatu walaupun kulihat dia sedang
mengepel lantai. Atau bagaimana kesalnya ia ketika aku memporak-porandakan lagi
lemari buku yang baru saja dibereskannya hanya karena ingin mencari sebuah buku
saja. Kuingat pula kurang lebih 4 bulan yang lalu ia mengatakan dengan sangat
hati-hati kepadaku bahwa mengurus Azzam, Ahmad dan Afif lebih mudah ketimbang
mengurusku. Aku yang mendengarnya hanya tersenyum geli, dan dengan santai
kujawab bahwa aku terlalu sibuk dengan pekerjaan di luar rumah. Perasaan
bersalah menumpuk di dada, aku yang seharusnya membantu meringankan beban Fitri
malah membuat pekerjaanya bertambah. Maafkan aku Fitri, karena telah membuatmu
bertambah repot selama ini..... Ramadhan kali ini telah memberiku banyak
pelajaran.</div>
<div class="MsoNormal">
</div>
<div class="MsoNormal">
Pagi-pagi aku bersiap untuk menunaikan shalat Idul Fitri,
kucari baju yang cocok. Tetapi tak ada baju yang sesuai di lemari pakaian.
Kulihat di ujung kamar ada seonggok pakaian kotor yang belum sempat kucuci apalagi
kuseterika. Terpaksa aku mengambil baju baru yang masih terbungkus plastik.
Andaikan Fitri ada pasti dengan sigap ia menyiapkan segala keperluanku.
Kutolehkan pandangan ke sekitar rumah.....ooou, rumah tampak kotor sekali.
Piring-piring dan gelas kotor menumpuk di dapur, lantai tampak kusam, jendela
berdebu, buku dan koran berserakan di mana-mana. Di halaman bunga bunga
kesayangan Fitri tampak layu dan daun-daun kering berguguran dimana-mana. Tak
sejuk dipandang mata.</div>
<div class="MsoNormal">
</div>
<div class="MsoNormal">
Aku bergegas melangkah menuju lapangan untuk menunaikan
Shalat Idul Fitri. Di jalan terlihat banyak anak-anak kecil bergandengan riang
dengan kedua orang tua mereka....senang sekali .Tiba-tiba aku merasa cemburu
sekali, itu sebabnya pulang dari shalat Idul Fitri segera kutelepon mereka dan
kukatakan agar sesegera mungkin mereka kembali ke Jakarta. Rinduku tak tertahan
lagi.</div>
<div class="MsoNormal">
</div>
<div class="MsoNormal">
****</div>
<div class="MsoNormal">
</div>
<div class="MsoNormal">
Hari ini aku bahagia sekali isteri dan anak-anakku telah
tiba kembali di Jakarta. Di perjalanan pulang dari Bandara Soekarno-Hatta,
banyak sekali cerita-cerita lucu yang kudengar. Bagaimana Azzam berceloteh
tentang keheranannya melihat kerbau yang dilepas begitu saja di sawah. Ahmad
yang gemar mengejar bebek di halaman. Tak ketinggalan pula Fitri begitu
semangat menceritakan bagaimana mamak senang sekali pada Afif yang menurutnya
amat mirip dengannya. Subhanalloh ...mereka adalah Qurrata 'ayun bagiku.
Diam-diam kubaca do'a "Robbana hablanaa min azwazina wa dzuriyatinaa
quratta'ayun waja'alna lilmutaqina imamah". Terima kasih ya Alloh .....
Engkau telah memberiku anak-anak yang sholeh, sehat dan pintar. Engkau telah
memberiku isteri yang sholehah, baik, dan rajin.</div>
Namun begitu tiba di rumah raut muka Fitri yang cerah
terlihat berubah seketika...... Ia terdiam dan kemudian
terpekik......."Masya Allah abi,..... ini rumah apa kapal pecah?"
Dalam hati aku sudah menduga. " Maafkan aku Fitri, insya Allah ini yang
terakhir kali......" bisikku seraya membantunya membereskan semuanya. (wi)<br />
<br />
Sekian...Ade Maulana Rahmanhttp://www.blogger.com/profile/06806462507728421518noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1563349201008104401.post-57056965899385307042013-06-05T02:44:00.001-07:002013-06-05T02:44:54.718-07:00Rembulan Dimata ibu<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj2kN_BAkaLShJ4rNG35H9ZOSfbXT4lgSrFdsvG6SuIrIyU0tVH9VqYhYqtgUtudyiKbBM1vEyOVuakagBaJJo-kQjR4Dzw4FoVrW-rSrQvHnC9W6XruVs4OET3R6OfHhqGE27_5uQoFyFe/s1600/rembulan.jpg" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="178" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj2kN_BAkaLShJ4rNG35H9ZOSfbXT4lgSrFdsvG6SuIrIyU0tVH9VqYhYqtgUtudyiKbBM1vEyOVuakagBaJJo-kQjR4Dzw4FoVrW-rSrQvHnC9W6XruVs4OET3R6OfHhqGE27_5uQoFyFe/s320/rembulan.jpg" width="188" /></a></div>
<div class="MsoNormal">
Kupandangi telegram yang barusan kubaca.</div>
<div class="MsoNormal">
Batinku galau</div>
<div class="MsoNormal">
Ibu sakit Diah, pulanglah!</div>
<div class="MsoNormal">
Begitu satu-satunya kalimat yang tertera di sana. Mbak Sri
mnyuruhku pulang? Tapi … benarkah Ibu sakit?</div>
<div class="MsoNormal">
Bayangan Ibu, dengan penampilannya yang tegar berkelebat.
Rasanya baru kemarin aku masih melihatnya berjalan memberi makan ternak-ternak
kami sendirian.</div>
<div class="MsoNormal">
Melalui padang rumput yang luas. Berputar-putar di sana
berjam-jam. Mnegawasi rumah kecil kami yang hanya berupa noktah dari balik
bukit.<br />
<a href="http://www.blogger.com/null" name="more"></a></div>
<div class="MsoNormal">
Tidak. Ibu bahkan tak pernah kelihatan lelah di malam hari.
Saat semua aktivitas seharian yang menguras kekuatan fisiknya berlalu. Ibu
selalu kelihatan sangat kuat.</div>
<div class="MsoNormal">
Tak hanya kauta, dari mulutnya pun masih kerap terdengar
ungkapan-ungkapan pedas,</div>
<div class="MsoNormal">
khususnya yang ditujukan kepadaku.</div>
<div class="MsoNormal">
“Jadi perempuan jangan terlalu sering melamun Diah! BEkerja,
itu akan membuat tubuhmu kuat!”</div>
<div class="MsoNormal">
Komentarnya suatu hari padaku. Padahal, saat itu aku sama
sekali tidak menganggur. Sebuah buku berada di pangkuanku. Tapi, Ibu tak pernah
menghargai kesukaanku membaca. Di mata beliau, itu hanyalah kegiatan tak
berguna yang tak</div>
<div class="MsoNormal">
menghasilkan.</div>
<div class="MsoNormal">
</div>
<div class="MsoNormal">
Di waktu yang lain Ibu mengecam kebiasaanku rapat dengan
para pemuda desa. Ibu sama sekali tak mau mengerti kalau rapat-rapat yang
kulakukan bukan tanpa tujuan. Kalau kami, anak-anak muda yang berkumpul di sana
sedang mencoba menyumbangkan pemikiran untuk kemajuan desa. Bagi wanita
sederhana itu, mengahalau ternak lebih berguna daripada bicara panjang lebar,
dan adu pendapat.</div>
<div class="MsoNormal">
</div>
<div class="MsoNormal">
“Kau pikir bicara bisa membuatmu mendapatkan uang?”</div>
<div class="MsoNormal">
Ingin sekali saat itu aku mengangguk dan menantang matanya
yang sinis. Tak tahukah Ibu, di kota sana, banyak sekali pekerjaan yang
mementingkan kemampuan bicara. Seharusnya, Ibu melihat kegiatan pemilihan lurah
di desa, dan tak hanya</div>
<div class="MsoNormal">
berkutat dengan ternak-ternaknya di padang rumput.</div>
<div class="MsoNormal">
Pak Kades trak kan terpilih kalau dia tak punya kemampuan
bicara Bu, kemampuan meyakinkan dan menenangkan rakyatnya!</div>
<div class="MsoNormal">
Akan tetapi, kalimat itu hanya kutelan dalam hati. Tak satu
pun ku muntahkan di hadapannya.</div>
<div class="MsoNormal">
Caraku berpakaian pun tak pernah benar di matanya. Ada saja
yang salah.</div>
<div class="MsoNormal">
Yang tak rapilah, kelihatan kelaki-lakianlah, dan segalanya.</div>
<div class="MsoNormal">
Sebetulnya aku heran, kenapa tiga mbakku yang semua
perempuan itu bisa melalui hari dengan keterpasungan pemahaman Ibu. Mereka bisa
sekolah, paling tidak sampai es em pe dan es em a tanpa banyak bertengkar
dengan Ibu. Lulus sekolah,</div>
<div class="MsoNormal">
menikah dan punya anak … dan sekali lagi, tanpa mengalami
pertentangan dengan Ibu. Sedangkan aku?</div>
<div class="MsoNormal">
</div>
<div class="MsoNormal">
Rasanya tak ada satu hal pun yang pernah kulakukan yang
dianggapnya benar. Selalu saja ada yang kurang.</div>
<div class="MsoNormal">
Dahulu sekali aku pernah mencoba menyenangkan hati wanita
itu. Kucoba memasakkan sesuatu untukknya. Meski semua saudaraku tahu aku benci
kegaiatan daour itu. Hasilnya? Aku menyesal telah mencoba karea Ibu sama sekali
tak menghargai usahaku.</div>
<div class="MsoNormal">
</div>
<div class="MsoNormal">
“Beginilah jadinya kalau anak perempuan cuma bisa belajar
dan belajar. Tak</div>
<div class="MsoNormal">
tahu bagaimana memasak! Siapa yang mau menikahimu nanti
kalau begini Diah?”</div>
<div class="MsoNormal">
Dan saat itu aku makin tersungkur dalam ketidakberdayaanku
mengahadapi Ibu. Perlahan aku malah berhenti berusaha menenangkan hatinya.</div>
<div class="MsoNormal">
Aku capek.</div>
<div class="MsoNormal">
Maka saat ada kesempatan pergi meninggalkan rumah, dan
meneruskan pendidikan ke bangku kuliah, dengan peluang bea siswa, kugempur
habis kemampuanku, agar kesempatan itu tak lepas dari tangan.</div>
<div class="MsoNormal">
</div>
<div class="MsoNormal">
Aku harus pergi, menjauh dari Ibu, dari komentar-komentarnya
yang menyakitkan.</div>
<div class="MsoNormal">
Masih terngiang di telingku suaranya yang bernada mengejek
waktu melihat aku mempersiapkan diri mengahadapi tes bea siswa itu.</div>
<div class="MsoNormal">
“Kau tak kan berhasil Diah! Tak usah capek-capek! Wanita
akan kembali ke dapur, apa pun kedudukannya!”</div>
<div class="MsoNormal">
Tak kuhiraukan kalimat Ibu. Seperti biasa aku selalu
berusaha menahan diri.</div>
<div class="MsoNormal">
Setidaknya hingga saat itu. Kala pertahanan diriku roboh ke tanah.
Dan untuk pertama</div>
<div class="MsoNormal">
kali aku berani menantang matanya yang selalu bersinar
sinis, dan kurasakan tanpa kasih.</div>
<div class="MsoNormal">
Saat itu aku merasa begitu yakin. Wanita tua yang kupangil
Ibu selama ini tak pernah dengar dan tak akan pernah mencintai diriku!</div>
<div class="MsoNormal">
</div>
<div class="MsoNormal">
“Diah … kok melamun?”</div>
<div class="MsoNormal">
Aku mengusap air mata yang menitik. Laili yang menangkap
kesedihanku</div>
<div class="MsoNormal">
menatapku lekat. Ada nuansa khawatir pada nada suaranya
kemudian.</div>
<div class="MsoNormal">
“Ada apa? Tulisanmu ada yang ditolak? Mana mungkin!” ujarnya
mencoba melucu.</div>
<div class="MsoNormal">
Aku tertawa pelan, mencoba mengurangi beban di hatiku.
Kubalas tatapan matanya. Wajah tulus sahabat baikku itu memancar di balik
kerudung coklat yang dikenakannya.</div>
<div class="MsoNormal">
Aku berdehem berat. “Li … percayakah kamu kalau aku bilang,
ada Ibu yang tak pernah mencintai anaknya?”</div>
<div class="MsoNormal">
Laili menatapku bingung. Pertanyaan ini mungkin aneh di
telinganya. Apa lagi aku tahu keluarganya adalah keluarga terhangat yang pernah
kutemukan. Ibu Laili tak hanya bijaksana, tapi juga, tapi juga selalu
melimpahinya dengan banyak kasih dan perhatian. Jauh sekali bila dibandingkan
Ibu!</div>
<div class="MsoNormal">
“Aku rasa, mencintai adalah naluri yang muncul otomatis saat
seorang menjadi Ibu, Diah! Itu karunia Allah yang diberikan pada setiap Ibu.
Rasa kasih, mengayomi, dan melindungi!” jawab Laili hati-hati.</div>
<div class="MsoNormal">
Aku mengalihkan pandangan dari matanya. Kami sudah tinggal
satu kos selama hampir lima tahun. Kupercayakan seluruh kegembiraan dan
saat-saat sulitku padanya. Tapi, tak pernah sekalipun aku bercerita tentang
Ibu, dan ketidakadilan yang</div>
<div class="MsoNormal">
diberikan wanita itu padaku. Sekali lagi air mataku menitik.
Ingat, selama kurun lima tahun ini, aku tak pernah menjenguk Ibu. Ya, tidak
sekali pun! Meski batinku terasa kering.</div>
<div class="MsoNormal">
Bagaimanapun sebagai anak, aku punya kasih yang ingin bisa
kupersembahkan pada wanita yang telah melahirkanku.</div>
<div class="MsoNormal">
Sayangnya, tak pernah ada kesempatan bagiku untuk mewujudkan
itu. Ibu tak pernah menangkap sinar kasih di mataku, apalagi membalasnya dengan
pelukan hangat. Ibu tak pernah peduli!</div>
<div class="MsoNormal">
Bagaimana aku tidak mulai membencinya secara perlahan?
Mungkin tidak dalam artian kata benci yang sesungguhnya. Terus terang, aku
mulai menghapus namanya dalam kehidupanku. Dalam tahun-tahun yang telah kulalui
aku hanya</div>
<div class="MsoNormal">
mengirim surat dan foto pada semua kakak dan keponakanku.
Tak satu pun kualamatkan untuk Ibu. Kalaupun secara rutin kusisihkan uang honor
menulisku untuk Ibu, itu pun tak pernah kukirimkan langsung. Selalu lewat salah
satu kakakku.</div>
<div class="MsoNormal">
Paling sering lewat Mbak Sri.</div>
<div class="MsoNormal">
Aku belajar menyingkirkan kebutuhanku akan kasih sayang dan
sikap keibuan darinya. Aku belajar melupakan ... Ibu!</div>
<div class="MsoNormal">
“Diah ... kenapa kamu menanyakan itu?” suara Laili kembali
terdengar.</div>
<div class="MsoNormal">
Batinku makin kisruh.</div>
<div class="MsoNormal">
Apa pendapatnya kalau tahu, teman baiknya, selama ini telah
melupakan Ibunya? Padahal dalam Islam tertera jelas keutamaan untuk berbakti
dan menghormati Ibu. Selama ini aku selalu berdalih di hadapan-Nya dalam
shalat-shalat yang kulalui.</div>
<div class="MsoNormal">
Bukan aku tak mencintainya. Tapi ... sepertinya itu kehendak
Ibu sendiri untuk dilupakan!</div>
<div class="MsoNormal">
“Ibuku sakit Li! Apa yang harus kulakukan?” tanyaku akhirnya
tanpa daya.</div>
<div class="MsoNormal">
Laili tersenyum. Tangannya kembali menggenggam jemariku.</div>
<div class="MsoNormal">
“Itu aja kok, bingung! Barangkali dia kangen padamu.
Tengoklah Ibu, Di! Eh,</div>
<div class="MsoNormal">
kapan terakhir kali kalian bertemu?”</div>
<div class="MsoNormal">
Teman baikku itu seperti teringat saat-saat libur kuliah
yang tak pernah kumanfaatkan untuk pulang kampung, sebaliknya malah berkunjung
ke tempatnya</div>
<div class="MsoNormal">
atau menghabiskan waktu di kos, merentang hari.</div>
<div class="MsoNormal">
“Aku tak pernah pulang, Laili. Sudah lima tahun!”</div>
<div class="MsoNormal">
Jawabanku membuat Laili tersedak. Pantas saja gadis itu
kaget. Lima tahun bukan waktu yang singkat.</div>
<div class="MsoNormal">
“Kamu haru pulang secepatnya, Di! Biar aku yang memesankan
tiket kereta.</div>
<div class="MsoNormal">
Jangan lupa bawa oleh-oleh untuk Ibumu. Hm ... apa ya,
kesukaan beliau?”</div>
<div class="MsoNormal">
Tiba-tiba Laili dilanda kesibukan luar biasa. Seakan
membayangkan mengunjungi Ibunya sendiri, yang tak pernah ditemuinya selama lima
tahun!</div>
<div class="MsoNormal">
“Tak perlu repot-repot Laili! Biar kuurus sendiri!” tolakku
halus, tetapi Laili tetap bersikeras.</div>
<div class="MsoNormal">
“Hey ... jangan gitu dong, Di! Selama ini kamuselalu repot-repot
saat mengunjungi kami. Jadi ... biarkan aku yang mengurus perjalananmu kali
ini. Lagi pula, kamu masih harus mempersiapkan presentasi skripsimu, kan?”</div>
<div class="MsoNormal">
Aku menyerah.</div>
<div class="MsoNormal">
Sebelum Laili pergi, aku menatapnya sekali lagi, “Kamu yakin
aku harus pulang, Li?”</div>
<div class="MsoNormal">
Pertanyaanku hanya disambut senyum hangatnya.</div>
<div class="MsoNormal">
“Tentu, pulanglah, Ibu pasti kangen kamu Diah!”</div>
<div class="MsoNormal">
Ahh ... andai Laili tahu, perempuan macam apa Ibuku itu!
Beliau lebih keras dari karang Laili, karang masih bisa terkikis air laut,
tetapi Ibuku?</div>
<div class="MsoNormal">
</div>
<div class="MsoNormal">
Rumah mungil kami tak banyak berubah. Juga rumah petak
kecil-kecil lain di</div>
<div class="MsoNormal">
sampingnya. Di mana ketiga mbakku dan keluarganya tinggal.
Saat masuk ke dalam, kulihat ruangan tampak tidak serapi biasanya.</div>
<div class="MsoNormal">
Barangkali kehilangan sentuhan tangan Ibu. Mbak Sri bilang,
setahun belakangan ini Ibu beberapa kali jatuh sakit. Akan tetapi, beliau tak
pernah mengizinkan mereka mengabarkannya kepadaku.</div>
<div class="MsoNormal">
Karena Ibu tak butuh kehadiranku, bisikku dalam hati.</div>
<div class="MsoNormal">
Mbak Ningsih yang melihat kecanggunganku menjelaskan. Di
pangkuannya duduk dua bocah cilik bergelayut manja.</div>
<div class="MsoNormal">
“Ibu tak ingin mengganggu kuliahmu, Diah!”</div>
<div class="MsoNormal">
Aku tersenyum sinis mendengar perkataan kakak tertuaku itu.
Sejak kapan Ibu memikirkan kuliahku? Bukankah baginya anak perempuan cuma akan
ke dapur?</div>
<div class="MsoNormal">
Mbak Rahayu yang lebih banyak diam pun ikut menembahkan,
“Ibu sering bertanya pada kami Diah, berkali-kali malah. Sudah tahun ke berapa
kuliahmu?</div>
<div class="MsoNormal">
Berapa lama lagi selesai.”</div>
<div class="MsoNormal">
“ Sebetulnya Ibu sangat kangen padamu Diah, tapi Ibu lebih
mementingkan kuliahmu.” Mbak Sri menambahkan di tengah aktivitas menyusui
anaknya.</div>
<div class="MsoNormal">
Tapi, aku tak merasa perlu diyakinkan. Aku kenal Ibu. Dan
selama jadi anaknya, tak pernah Ibu bersikap kasih padaku. Tidak sekali pun.
Perkataan kakak-kakakku barusan semata-mata untuk menyenangkan hatiku. Agar aku
tak merasa siasia</div>
<div class="MsoNormal">
datang ke sini. Mereka pasti belum lupa kejadian lima tahun
yang lalu, pertengkaran hebatku dengan Ibu. Pertengkaran yang makin memantapkan
hatiku untuk pergi.</div>
<div class="MsoNormal">
Malam itu Ibu berkali-kali menumpahkan kalimat-kalimat
pedasnya padaku.</div>
<div class="MsoNormal">
Tujuannya satu, agar aku tak pergi Bagiku, sikap Ibu saat
itu sangat egois dan kekanak-kanakan. Sementara orang lain akan menyambut
gembira berita keberhasilan anaknya meraih bea siswa macam</div>
<div class="MsoNormal">
ini, beliau sebaliknya. Tak tahukah Ibu, kalau aku harus
menyingkirkan ribuan orang untuk meraih prestasi ini?</div>
<div class="MsoNormal">
Kucoba menulikan telinga, tetapi kalimat-kalimat pedasnya
tak berangsur surut. Malah bertambah keras.</div>
<div class="MsoNormal">
“Pergi ke kota bagi perempuan macam kau Diah hanya akan
menjadi santapan laki-laki! Tak ada tempat aman kecuali di kampung sendiri. Ibu
tak ingin kau membuat malu keluarga. Pulang dengan membawa aib!”</div>
<div class="MsoNormal">
</div>
<div class="MsoNormal">
Astagfirullah ... Ibu kira perempuan macam apa aku? Mulutku
sudah setengah terbuka siap membantahnya, tetapi ketiga saudaraku mencegahku.
Melihat sikapku yang menantang, kemarahan Ibu makin tak terbendung.</div>
<div class="MsoNormal">
“ Jangan coba membantah! Kurang baik dan terpelajar apa si
Retno? Lalu Sumirah? Bahkan anak pak Haji Tarjo? Pulang-pulang malah jadi
perempuan jalang!</div>
<div class="MsoNormal">
Aku tak ingin punya anak jalang!”</div>
<div class="MsoNormal">
Cukup! Aku tak bisa menahan kesabaranku lebih lama. Darahku
seperti mendidih mendengar kalimat-kalimat Ibu. Kalau saja Ibu cukup
mengenalku, kalau</div>
<div class="MsoNormal">
saja Ibu punya sedikit kepercayaan pada anaknya sendiri? Ibu
cuma percaya pada dirinya sendiri. Seakan semua orang akam mengalami nasib
buruk.</div>
<div class="MsoNormal">
Saat ditinggal Bapak! Ya, Bapak memang meninggalkan kami.
Janjinya bahwa lelaki itu akan kembali dari kota dengan membawa perubahan pada
nasib kami, cuma omong kosong. Di sana Bapak justru menikah lagi. Dan Ibu yang</div>
<div class="MsoNormal">
menganggap dirinya sempurna sebagai wanita, merasa sakit
hati. Setelah itu semua yang berbau pembaruan dan kemajuan dimusuhinya
habis-habisan. Termasuk niatku ke kota untuk mencari ilmu.</div>
<div class="MsoNormal">
Kutatap mata Ibu dengan sikap menantang. Suaraku bergetar saat
berkata-kata padanya.</div>
<div class="MsoNormal">
</div>
<div class="MsoNormal">
“Seharusnya Ibu bangga padaku! Seharusnya Ibu menyemangati,
bukan malah terus-terusan mengejekku, Bu! Sekarang Diah tahu kenapa Bapak
meninggalkan Ibu!’</div>
<div class="MsoNormal">
kataku berani.</div>
<div class="MsoNormal">
Di depanku, Ibu mentap mataku tajam. Matanya diliputi kemarahan
atas kelancanganku.</div>
<div class="MsoNormal">
“Kenapa Bapak meninggalkan Ibumu? Ayo jawab, kenapa?!!!”</div>
<div class="MsoNormal">
Sia-sia usaha mbak-mbakku yang lain untuk mengerem mulutku.
Dalam kelarahan, kulontarkan luka yang mungkin akan melekat selamanya di hati
Ibu.</div>
<div class="MsoNormal">
“Karena Ibu picik! Itu sebabnya!”</div>
<div class="MsoNormal">
Kubanting pintu kamarku dan mengurung diri semalaman.
Menangis. Batinku puas, telah kukatakan apa yang menurtku harus didengar Ibu.</div>
<div class="MsoNormal">
Besoknya, pagi-pagi sekali, hanya berpamitan pada
mbak-mbakku, aku pergi, dengan bongkahan luka di hatiku. Barangkali juga di
hati Ibu. Tapi, aku tak peduli.</div>
<div class="MsoNormal">
Saat aku mengenal Laili dan teman-teman Muslimah lain. Baru
kusesali sikapku. Seharusnya aku tak bersikap sekasar itu pada Ibu. Tak
membalas kekasarannya dengan tindakan serupa.</div>
<div class="MsoNormal">
Meski begitu, penyesalanku tak bisa mengubah perasaan yang
kadung hampa terhadap Ibu. Aku masih tak menyukai wanita yang melahirkanku itu.
Seperti juga beliau tak menyukaiku.</div>
<div class="MsoNormal">
</div>
<div class="MsoNormal">
“Diah ... Ibu sudah bangun.”</div>
<div class="MsoNormal">
Mbak Sri menyentuh tanganku. Mengembalikanku dari kenangan
masa lalu.</div>
<div class="MsoNormal">
Kubuka pintu kamar Ibu. Suara derit engsel yang berkarat
terdengar. Kulihat</div>
<div class="MsoNormal">
Ibu terbaring lemah di dipan. Keperkasaanya selama ini,
kulihat nyaris tak tersisa.</div>
<div class="MsoNormal">
Tangan kurusnya mengajakku mendekat.</div>
<div class="MsoNormal">
Di bawah cahaya lampu teplok, kurayapi wajahnya yang penuih
guratanguratan usia.</div>
<div class="MsoNormal">
Ibu tampak begitu</div>
<div class="MsoNormal">
tua.</div>
<div class="MsoNormal">
“Apa kabarmu Diah?” suaranya nyaris berupa bisikan.</div>
<div class="MsoNormal">
“ Baik, Bu.” Kusadari suaraku terdengar begitu datar.
Barangkali mewakili kehampaan perasaanku.</div>
<div class="MsoNormal">
Ibu tak memandang kaget penampilanku, yang pasti merupakan
pemandangan baru baginya. Atau Ibu terlalu sakit untuk mencela busana Muslimah
yang</div>
<div class="MsoNormal">
kukenakan? Sekali lagi hatiku berkomentar sinis, tanpa bisa
dicegah.</div>
<div class="MsoNormal">
“Kamu kelihatan kurusan Nduk!” ujar Ibu setelah beberapa
saat kami terdiam.</div>
<div class="MsoNormal">
Aku tak menanggapi. Sebaliknya, mataku mengitari ruangan
kecil itu.</div>
<div class="MsoNormal">
Semuanya hampir tak berubah. Kenapa Ibu bertahan dalam
kesederhaan ini?</div>
<div class="MsoNormal">
Bukankah seharusnya dengan ternak-ternak itu Ibu mampu hidup
lebih layak? Belum lagi ketiga mbakku, mustahil mereka tidak memberikan tambahan
masukan, biar pun sedikit, untuk Ibu.</div>
<div class="MsoNormal">
Aku memperhatikan ranjang Ibu. Kasur tipis di atas dipan
yang pasti tak nyaman untuknya. Cahaya penerangan pun tidak memadai. Padahal,
di rumah ketiga saudaraku perempuanku sudah diterangi cahaya listrik. Lalu ... uang
kirimanku yang rutin meski tak seberapa mestinya cukup meringankan Ibu. Tapi
kenapa?</div>
<div class="MsoNormal">
Kulihat meja jati tua di samping Ibu. Ada beberapa botol
obat di sana. Kertaskertas dan beberapa foto yamg dibingkai. Kudekatkan tubuhku
untuk melihat lebih jelas. Mendadak mataku nanar ... masya Allah! Aku tak
sanggup berkata-kata. Segera</div>
<div class="MsoNormal">
kutahan diriku sebisanya untuk tak menangis.</div>
<div class="MsoNormal">
Ibu yang menyadari arah pandanganku menjelaskan, “Jangan
salahkan mbakmu Diah. Foto-foto itu Ibu yang maksa minta. Kadang Ibu pandangi,
jika Ibu kangen kamu. Lihat, itu pasti kamu waktu masih tingkat satu, ya? Belum
pakai jilbab!</div>
<div class="MsoNormal">
Yang lainnya sudah rapih berjilbab.”</div>
<div class="MsoNormal">
Kulihat Ibu tersenyum. Di matanya ada kerinduan yang
mendalam. Batinku kembali terguncang. Ibu kangen kangen padaku? Betulkah? Apa
yang membuat Ibu begitu berubah? Usia tuanyakah? Waktu lima tahunkah? Hatiku
terus bertanya-tanya.</div>
<div class="MsoNormal">
Ke mana larinya sikap keras dan ketus Ibu?</div>
<div class="MsoNormal">
“ Tolong Ibu, Nduk, Ibu ingin duduk di beranda,” pintanya
sekonyongkonyong.</div>
<div class="MsoNormal">
Kupapah tubuh ringkihnya keluar. Di atas sana langit mulai
gelap. Beberapa bintang meramaikan rembulan yang mulai muncul. Langit jingga
tampak berbias</div>
<div class="MsoNormal">
indah menyambut malam.</div>
<div class="MsoNormal">
Bersisian kami duduk di beranda. Beberapa waktu berlalu
dalam keheningan.</div>
<div class="MsoNormal">
Tanpa kata-kata, tetapi bisa kulihat wajah Ibu tampak cerah
menatap langit yang</div>
<div class="MsoNormal">
dihias purnama. Lalu ...</div>
<div class="MsoNormal">
“ Ning ... Ningsih ...” tergopoh-gopoh mbakku muncul
mendengar panggilan</div>
<div class="MsoNormal">
Ibu.</div>
<div class="MsoNormal">
“Dalem Bu ...”</div>
<div class="MsoNormal">
“Tolong ambilkan kotak kayu Ibu di bawah tempat tidur, ya
...”</div>
<div class="MsoNormal">
Tak lama Mbak Ning sudah muncul lagi. Sebuah kotak kayu yang
terlihat</div>
<div class="MsoNormal">
amat tua diserahkannya kepada Ibu.</div>
<div class="MsoNormal">
“ Bukalah Diah, itu untukmu. Ibu selalu takut tak sempat
memberikannya langsung kepadamu. Ibu sudah tua Diah,” suara Ibu. Matanya masih
menatap langit.</div>
<div class="MsoNormal">
Meski tak mengerti, kuturuti permintaan orang tua itu. Dan
tanpa bisa kucegah, kedua mataku terbelalak melihat isinya. Uang! Di mana-mana
uang! Begitu banyakl, dari mana Ibu mendapatkannya?</div>
<div class="MsoNormal">
Ibu terkekeh sendiri melihat keterkejutanku. Beberapa
giginya yang sudah ompong terlihat.</div>
<div class="MsoNormal">
“Itu untukmu Diah ...”</div>
<div class="MsoNormal">
Aku menutup kembali kotak kayu itu, kuserahkan kepada Ibu.</div>
<div class="MsoNormal">
“Diah ndak butuh uang Ibu. Beberapa tahun ini sudah ada
kerja sambilan. Jaga</div>
<div class="MsoNormal">
toko sambil nulis-nulis,” ujarku berusaha menolak.</div>
<div class="MsoNormal">
“Ibu tahu ... Ibu baca surat yang kau kirimkan pada
mbak-mbakmu ... tapi itu uangmu. Kau membutuhkannya. Mungkin tak lama lagi.”
Suara Ibu memaksa.</div>
<div class="MsoNormal">
Ahh ... wisudaku ... itukah yang Ibu pikirkan?</div>
<div class="MsoNormal">
“Wisuda tak perlu biaya sebanyak ini, Bu ...” tolakku lagi.</div>
<div class="MsoNormal">
“ Tapi kau harus menerimaya Diah, itu uangmu. Uang yang kau
kirimkan selama ini untuk Ibu lewat mbakmu. Sebagian ada juga hakmu dari
penjualan ternak,”</div>
<div class="MsoNormal">
jelas wanita itu lagi.</div>
<div class="MsoNormal">
Aku melongo. Teringat dipan tua yang kasurnya tipis, lampu
teplok, kursi di ruang tamu yang sudah jelek dan bufet yang kusam. Bukankah
dengan uang itu Ibu</div>
<div class="MsoNormal">
bisa hidup lebih layak?</div>
<div class="MsoNormal">
“Kenapa tak Ibu pakai untuk keperluan Ibu?” tanyaku heran.</div>
<div class="MsoNormal">
Ibu hanya tersenyum. Matanya mencari-cari rembulan yang
setengah tertutup awan.</div>
<div class="MsoNormal">
“Ibu tak butuh uang sebanyak itu, Diah! Lagi pula ... Ibu
khawatirtak bisa lagi memberimu uang.”</div>
<div class="MsoNormal">
“Diah kan sudah jelaskan ke Ibu, Diah sudah bisa mencari
uang sendiri meski sedikit-sedikit. Ibu tak perlu repot memikirkan aku,” ujarku
keras kepala.</div>
<div class="MsoNormal">
Tapi, lagi-lagi Ibu memaksaku.</div>
<div class="MsoNormal">
“ Kau akan membutuhkannya Diah, untuk pernikahanmu nanti.
Semua mbakmu hidup sederhana. Anak mereka banyak, mungkin tak kan banyak bisa
membantumu jika hari itu tiba!”</div>
<div class="MsoNormal">
Deg! Hatiku berdetak. Untuk pernikahanku? Sejauh itukah Ibu
memikirkanku?</div>
<div class="MsoNormal">
</div>
<div class="MsoNormal">
Kata-kata Ibu berikutnya bagai telaga sejuk mengaliri
relung-relung hatiku.</div>
<div class="MsoNormal">
“Maafkan Ibu jika selama ini keras padamu Diah! Kau benar
... Ibu memang picik! Itu karena Ibu tak ingin kau terluka. Ibu tak ingin kau
kecewa. Itu sebabnya Ibu tak pernah memujimu. Kau harus punya hati sekeras baja
untuk menapaki hidup. Ibu</div>
<div class="MsoNormal">
ingin anak bungsu Ibu mnjadi sosok yang berbeda. Seperti
rembulan merah jambu, bukan kuning keemasan seperti yang kita lihat.”</div>
<div class="MsoNormal">
Ibu menunjuk purnama yang benderang. Aku mengikuti telunjuknya.
Batinku terasa lebih segar.</div>
<div class="MsoNormal">
Rembulan merah jambu ... itukah yang diinginkan Ibu, menjadi
seseorang.</div>
<div class="MsoNormal">
Menjadi orang dalam arti yang sebenarnya. Punya karakter dan
prinsip yang berbeda.</div>
<div class="MsoNormal">
Siap mengarungi kerasnya hidup? Itukah maksud Ibu dari sikap
kerasnya selama ini?</div>
<div class="MsoNormal">
Hatiku berbunga-bunga. Semua kehampaan, kebencian, dan
kekesalanku pada wanita tua itu tiba-tiba terbang ke awan. Aku tak lagi
membencinya! Ternyata aku cukup punya arti di mata Ibu. Aku rembulan di mata
Ibu. Aku rembulan di hatinya!</div>
<div class="MsoNormal">
Tanpa ragu kupeluk Ibu erat.</div>
<div class="MsoNormal">
</div>
<div class="MsoNormal">
Bersama-sama, kami menghabiskan waktu yang tak terlupakan di
beranda memandangi langit, dan ... rembulan yang kini merah jambu dalam
pandanganku!</div>
<div class="MsoNormal">
</div>
SELESAI...Ade Maulana Rahmanhttp://www.blogger.com/profile/06806462507728421518noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1563349201008104401.post-2584488459924877862013-06-05T02:43:00.003-07:002013-06-05T02:43:18.627-07:00Sendal Jepit Istriku<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjeC3acaM9HFeSuPq-ezskTQgk4BG23cUnlm4KrJqQz7I4tdyxtDgYbuFmnDSQU4n4NRTkuGVcN6JQrErjCKm8lrxU7wD4GG7uY4sVVEoTz7cpbhQbsVL1fr1xMFnG4mkkHov2ZpC1wgAVO/s1600/sendal+jepit.jpg" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="183" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjeC3acaM9HFeSuPq-ezskTQgk4BG23cUnlm4KrJqQz7I4tdyxtDgYbuFmnDSQU4n4NRTkuGVcN6JQrErjCKm8lrxU7wD4GG7uY4sVVEoTz7cpbhQbsVL1fr1xMFnG4mkkHov2ZpC1wgAVO/s320/sendal+jepit.jpg" width="215" /></a></div>
<div class="MsoNormal">
Selera makanku mendadak punah. Hanya ada rasa kesal dan
jengkel yang memenuhi kepala ini. Duh… betapa tidak gemas, dalam keadaan lapar
memuncak seperti ini makanan yang tersedia tak ada yang memuaskan lidah. Sayur
sop ini rasanya manis bak kolak pisang, sedang perkedelnya asin nggak
ketulungan.<br />
<a href="http://www.blogger.com/null" name="more"></a><br />
“Ummi… Ummi, kapan kau dapat memasak dengan benar…? Selalu saja,
kalau tak keasinan…kemanisan, kalau tak keaseman… ya kepedesan!” Ya, aku tak
bisa menahan emosi untuk tak menggerutu.”Sabar bi…, Rasulullah juga sabar
terhadap masakan Aisyah dan Khodijah. Katanya mau kayak Rasul…? ” ucap isteriku
kalem. “Iya… tapi abi kan manusia biasa. Abi belum bisa sabar seperti Rasul.
Abi tak tahan kalau makan terus menerus seperti ini…!” Jawabku dengan nada
tinggi. Mendengar ucapanku yang bernada emosi, kulihat isteriku menundukkan
kepala dalam-dalam. Kalau sudah begitu, aku yakin pasti air matanya sudah
merebak.</div>
<div class="MsoNormal">
</div>
<div class="MsoNormal">
***</div>
<div class="MsoNormal">
Sepekan sudah aku ke luar kota. Dan tentu, ketika pulang
benak ini penuh dengan jumput-jumput harapan untuk menemukan ‘baiti jannati’ di
rumahku. Namun apa yang terjadi…? Ternyata kenyataan tak sesuai dengan apa yang
kuimpikan. Sesampainya di rumah, kepalaku malah mumet tujuh keliling. Bayangkan
saja, rumah kontrakanku tak ubahnya laksana kapal burak (pecah). Pakaian bersih
yang belum disetrika menggunung di sana sini. Piring-piring kotor berpesta pora
di dapur, dan cucian… ouw… berember-ember. Ditambah lagi aroma bau busuknya
yang menyengat, karena berhari-hari direndam dengan detergen tapi tak juga
dicuci.</div>
<div class="MsoNormal">
Melihat keadaan seperti ini aku cuma bisa beristigfar sambil
mengurut dada. “Ummi…ummi, bagaimana abi tak selalu kesal kalau keadaan terus
menerus begini…?” ucapku sambil menggeleng-gelengkan kepala. “Ummi… isteri
sholihat itu tak hanya pandai ngisi pengajian, tapi dia juga harus pandai dalam
mengatur tetek bengek urusan rumah tangga. Harus bisa masak, nyetrika, nyuci,
jahit baju, beresin rumah…?” Belum sempat kata-kataku habis sudah terdengar
ledakan tangis isteriku yang kelihatan begitu pilu. “Ah…wanita gampang sekali
untuk menangis…,” batinku berkata dalam hati. “Sudah diam Mi, tak boleh
cengeng. Katanya mau jadi isteri shalihat…? Isteri shalihat itu tidak cengeng,”
bujukku hati-hati setelah melihat air matanya menganak sungai dipipinya.
“Gimana nggak nangis! Baru juga pulang sudah ngomel-ngomel terus. Rumah ini berantakan
karena memang ummi tak bisa mengerjakan apa-apa. Jangankan untuk kerja untuk
jalan saja susah. Ummi kan muntah-muntah terus, ini badan rasanya tak bertenaga
sama sekali,” ucap isteriku diselingi isak tangis. “Abi nggak ngerasain sih
bagaimana maboknya orang yang hamil muda…” Ucap isteriku lagi, sementara air
matanya kulihat tetap merebak.</div>
<div class="MsoNormal">
</div>
<div class="MsoNormal">
***</div>
<div class="MsoNormal">
Bi…, siang nanti antar Ummi ngaji ya…?” pinta isteriku.
“Aduh, Mi… abi kan sibuk sekali hari ini. Berangkat sendiri saja ya?” ucapku.
“Ya sudah, kalau abi sibuk, Ummi naik bis umum saja, mudah-mudahan nggak
pingsan di jalan,” jawab isteriku. “Lho, kok bilang gitu…?” selaku. “Iya, dalam
kondisi muntah-muntah seperti ini kepala Ummi gampang pusing kalau mencium bau
bensin. Apalagi ditambah berdesak-desakan dalam bus dengan suasana panas
menyengat. Tapi mudah-mudahan sih nggak kenapa-kenapa,” ucap isteriku lagi. “Ya
sudah, kalau begitu naik bajaj saja,” jawabku ringan. Pertemuan hari ini
ternyata diundur pekan depan. Kesempatan waktu luang ini kugunakan untuk
menjemput isteriku. Entah kenapa hati ini tiba-tiba saja menjadi rindu padanya.
Motorku sudah sampai di tempat isteriku mengaji. Di depan pintu kulihat masih
banyak sepatu berjajar, ini pertanda acara belum selesai.</div>
<div class="MsoNormal">
</div>
<div class="MsoNormal">
Kuperhatikan sepatu yang berjumlah delapan pasang itu satu
persatu. Ah, semuanya indah-indah dan kelihatan harganya begitu mahal. “Wanita,
memang suka yang indah-indah, sampai bentuk sepatu pun lucu-lucu,” aku
membathin sendiri. Mataku tiba-tiba terantuk pandang pada sebuah sendal jepit
yang diapit sepasang sepatu indah. Dug! Hati ini menjadi luruh. “Oh….bukankah
ini sandal jepit isteriku?” tanya hatiku. Lalu segera kuambil sandal jepit
kumal yang tertindih sepatu indah itu. Tes! Air mataku jatuh tanpa terasa.
Perih nian rasanya hati ini, kenapa baru sekarang sadar bahwa aku tak pernah
memperhatikan isteriku. Sampai-sampai kemana ia pergi harus bersandal jepit
kumal. Sementara teman-temannnya bersepatu bagus. “Maafkan aku Maryam,” pinta
hatiku. “Krek…,” suara pintu terdengar dibuka. Aku terlonjak, lantas menyelinap
ke tembok samping. Kulihat dua ukhti berjalan melintas sambil menggendong bocah
mungil yang berjilbab indah dan cerah, secerah warna baju dan jilbab umminya.
Beberapa menit setelah kepergian dua ukhti itu, kembali melintas ukhti-ukhti
yang lain. Namun, belum juga kutemukan Maryamku. Aku menghitung sudah delapan
orang keluar dari rumah itu, tapi isteriku belum juga keluar.</div>
<div class="MsoNormal">
</div>
<div class="MsoNormal">
Penantianku berakhir ketika sesosok tubuh berbaya gelap dan
berjilbab hitam melintas. “Ini dia mujahidahku!” pekik hatiku. Ia beda dengan
yang lain, ia begitu bersahaja. Kalau yang lain memakai baju berbunga cerah
indah, ia hanya memakai baju warna gelap yang sudah lusuh pula warnanya.
Diam-diam hatiku kembali dirayapi perasaan berdosa karena selama ini kurang
memperhatikan isteri. Ya, aku baru sadar, bahwa semenjak menikah belum pernah
membelikan sepotong baju pun untuknya. Aku terlalu sibuk memperhatikan
kekurangan-kekurangan isteriku, padahal di balik semua itu begitu banyak
kelebihanmu, wahai Maryamku.</div>
<div class="MsoNormal">
</div>
<div class="MsoNormal">
Aku benar-benar menjadi malu pada Allah dan Rasul-Nya.
Selama ini aku terlalu sibuk mengurus orang lain, sedang isteriku tak pernah
kuurusi. Padahal Rasul telah berkata: “Yang terbaik di antara kamu adalah yang
paling baik terhadap keluarganya.” Sedang aku..? Ah, kenapa pula aku lupa bahwa
Allah menyuruh para suami agar menggauli isterinya dengan baik. Sedang aku…? terlalu
sering ngomel dan menuntut isteri dengan sesuatu yang ia tak dapat
melakukannya. Aku benar-benar merasa menjadi suami terdzalim!!! “Maryam…!”
panggilku, ketika tubuh berbaya gelap itu melintas. Tubuh itu lantas berbalik
ke arahku, pandangan matanya menunjukkan ketidakpercayaan atas kehadiranku di
tempat ini. Namun, kemudian terlihat perlahan bibirnya mengembangkan senyum.
Senyum bahagia. “Abi…!” bisiknya pelan dan girang. Sungguh, aku baru melihat
isteriku segirang ini. “Ah, kenapa tidak dari dulu kulakukan menjemput isteri?”
sesal hatiku.</div>
<div class="MsoNormal">
</div>
<div class="MsoNormal">
***</div>
<div class="MsoNormal">
</div>
<div class="MsoNormal">
Esoknya aku membeli sepasang sepatu untuk isteriku. Ketika
tahu hal itu, senyum bahagia kembali mengembang dari bibirnya. “Alhamdulillah,
jazakallahu…,”ucapnya dengan suara tulus. Ah, Maryam, lagi-lagi hatiku terenyuh
melihat polahmu. Lagi-lagi sesal menyerbu hatiku. Kenapa baru sekarang aku bisa
bersyukur memperoleh isteri zuhud dan ‘iffah sepertimu? Kenapa baru sekarang
pula kutahu betapa nikmatnya menyaksikan matamu yang berbinar-binar karena
perhatianku…?</div>
<div class="MsoNormal">
— bersama Fian Unyu-unyu dan 126 lainnya.</div>
<div class="MsoNormal">
Foto: "SANDAL JEPIT ISTRIKU" Selera makanku
mendadak punah. Hanya ada rasa kesal dan jengkel yang memenuhi kepala ini. Duh…
betapa tidak gemas, dalam keadaan lapar memuncak seperti ini makanan yang
tersedia tak ada yang memuaskan lidah. Sayur sop ini rasanya manis bak kolak
pisang, sedang perkedelnya asin nggak ketulungan. “Ummi… Ummi, kapan kau dapat
memasak dengan benar…? Selalu saja, kalau tak keasinan…kemanisan, kalau tak
keaseman… ya kepedesan!” Ya, aku tak bisa menahan emosi untuk tak
menggerutu.”Sabar bi…, Rasulullah juga sabar terhadap masakan Aisyah dan
Khodijah. Katanya mau kayak Rasul…? ” ucap isteriku kalem. “Iya… tapi abi kan
manusia biasa. Abi belum bisa sabar seperti Rasul. Abi tak tahan kalau makan
terus menerus seperti ini…!” Jawabku dengan nada tinggi. Mendengar ucapanku
yang bernada emosi, kulihat isteriku menundukkan kepala dalam-dalam. Kalau
sudah begitu, aku yakin pasti air matanya sudah merebak. </div>
<div class="MsoNormal">
***</div>
<div class="MsoNormal">
<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>Sepekan sudah aku ke
luar kota. Dan tentu, ketika pulang benak ini penuh dengan jumput-jumput
harapan untuk menemukan ‘baiti jannati’ di rumahku. Namun apa yang terjadi…?
Ternyata kenyataan tak sesuai dengan apa yang kuimpikan. Sesampainya di rumah,
kepalaku malah mumet tujuh keliling. Bayangkan saja, rumah kontrakanku tak
ubahnya laksana kapal burak (pecah). Pakaian bersih yang belum disetrika
menggunung di sana sini. Piring-piring kotor berpesta pora di dapur, dan
cucian… ouw… berember-ember. Ditambah lagi aroma bau busuknya yang menyengat,
karena berhari-hari direndam dengan detergen tapi tak juga dicuci. Melihat
keadaan seperti ini aku cuma bisa beristigfar sambil mengurut dada. “Ummi…ummi,
bagaimana abi tak selalu kesal kalau keadaan terus menerus begini…?” ucapku
sambil menggeleng-gelengkan kepala. “Ummi… isteri sholihat itu tak hanya pandai
ngisi pengajian, tapi dia juga harus pandai dalam mengatur tetek bengek urusan
rumah tangga. Harus bisa masak, nyetrika, nyuci, jahit baju, beresin rumah…?”
Belum sempat kata-kataku habis sudah terdengar ledakan tangis isteriku yang
kelihatan begitu pilu. “Ah…wanita gampang sekali untuk menangis…,” batinku
berkata dalam hati. “Sudah diam Mi, tak boleh cengeng. Katanya mau jadi isteri
shalihat…? Isteri shalihat itu tidak cengeng,” bujukku hati-hati setelah
melihat air matanya menganak sungai dipipinya. “Gimana nggak nangis! Baru juga
pulang sudah ngomel-ngomel terus. Rumah ini berantakan karena memang ummi tak
bisa mengerjakan apa-apa. Jangankan untuk kerja untuk jalan saja susah. Ummi
kan muntah-muntah terus, ini badan rasanya tak bertenaga sama sekali,” ucap
isteriku diselingi isak tangis. “Abi nggak ngerasain sih bagaimana maboknya
orang yang hamil muda…” Ucap isteriku lagi, sementara air matanya kulihat tetap
merebak.</div>
<div class="MsoNormal">
<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>***</div>
<div class="MsoNormal">
<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>Bi…, siang nanti
antar Ummi ngaji ya…?” pinta isteriku. “Aduh, Mi… abi kan sibuk sekali hari
ini. Berangkat sendiri saja ya?” ucapku. “Ya sudah, kalau abi sibuk, Ummi naik
bis umum saja, mudah-mudahan nggak pingsan di jalan,” jawab isteriku. “Lho, kok
bilang gitu…?” selaku. “Iya, dalam kondisi muntah-muntah seperti ini kepala
Ummi gampang pusing kalau mencium bau bensin. Apalagi ditambah berdesak-desakan
dalam bus dengan suasana panas menyengat. Tapi mudah-mudahan sih nggak
kenapa-kenapa,” ucap isteriku lagi. “Ya sudah, kalau begitu naik bajaj saja,”
jawabku ringan. Pertemuan hari ini ternyata diundur pekan depan. Kesempatan
waktu luang ini kugunakan untuk menjemput isteriku. Entah kenapa hati ini
tiba-tiba saja menjadi rindu padanya. Motorku sudah sampai di tempat isteriku
mengaji. Di depan pintu kulihat masih banyak sepatu berjajar, ini pertanda
acara belum selesai. Kuperhatikan sepatu yang berjumlah delapan pasang itu satu
persatu. Ah, semuanya indah-indah dan kelihatan harganya begitu mahal. “Wanita,
memang suka yang indah-indah, sampai bentuk sepatu pun lucu-lucu,” aku
membathin sendiri. Mataku tiba-tiba terantuk pandang pada sebuah sendal jepit
yang diapit sepasang sepatu indah. Dug! Hati ini menjadi luruh. “Oh….bukankah
ini sandal jepit isteriku?” tanya hatiku. Lalu segera kuambil sandal jepit kumal
yang tertindih sepatu indah itu. Tes! Air mataku jatuh tanpa terasa. Perih nian
rasanya hati ini, kenapa baru sekarang sadar bahwa aku tak pernah memperhatikan
isteriku. Sampai-sampai kemana ia pergi harus bersandal jepit kumal. Sementara
teman-temannnya bersepatu bagus. “Maafkan aku Maryam,” pinta hatiku. “Krek…,”
suara pintu terdengar dibuka. Aku terlonjak, lantas menyelinap ke tembok
samping. Kulihat dua ukhti berjalan melintas sambil menggendong bocah mungil
yang berjilbab indah dan cerah, secerah warna baju dan jilbab umminya. Beberapa
menit setelah kepergian dua ukhti itu, kembali melintas ukhti-ukhti yang lain.
Namun, belum juga kutemukan Maryamku. Aku menghitung sudah delapan orang keluar
dari rumah itu, tapi isteriku belum juga keluar. Penantianku berakhir ketika
sesosok tubuh berbaya gelap dan berjilbab hitam melintas. “Ini dia
mujahidahku!” pekik hatiku. Ia beda dengan yang lain, ia begitu bersahaja.
Kalau yang lain memakai baju berbunga cerah indah, ia hanya memakai baju warna
gelap yang sudah lusuh pula warnanya. Diam-diam hatiku kembali dirayapi
perasaan berdosa karena selama ini kurang memperhatikan isteri. Ya, aku baru
sadar, bahwa semenjak menikah belum pernah membelikan sepotong baju pun
untuknya. Aku terlalu sibuk memperhatikan kekurangan-kekurangan isteriku,
padahal di balik semua itu begitu banyak kelebihanmu, wahai Maryamku. Aku
benar-benar menjadi malu pada Allah dan Rasul-Nya. Selama ini aku terlalu sibuk
mengurus orang lain, sedang isteriku tak pernah kuurusi. Padahal Rasul telah berkata:
“Yang terbaik di antara kamu adalah yang paling baik terhadap keluarganya.”
Sedang aku..? Ah, kenapa pula aku lupa bahwa Allah menyuruh para suami agar
menggauli isterinya dengan baik. Sedang aku…? terlalu sering ngomel dan
menuntut isteri dengan sesuatu yang ia tak dapat melakukannya. Aku benar-benar
merasa menjadi suami terdzalim!!! “Maryam…!” panggilku, ketika tubuh berbaya
gelap itu melintas. Tubuh itu lantas berbalik ke arahku, pandangan matanya
menunjukkan ketidakpercayaan atas kehadiranku di tempat ini. Namun, kemudian
terlihat perlahan bibirnya mengembangkan senyum. Senyum bahagia. “Abi…!”
bisiknya pelan dan girang. Sungguh, aku baru melihat isteriku segirang ini.
“Ah, kenapa tidak dari dulu kulakukan menjemput isteri?” sesal hatiku. </div>
<div class="MsoNormal">
***</div>
<div class="MsoNormal">
<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>Esoknya aku membeli
sepasang sepatu untuk isteriku. Ketika tahu hal itu, senyum bahagia kembali
mengembang dari bibirnya. “Alhamdulillah, jazakallahu…,”ucapnya dengan suara
tulus. Ah, Maryam, lagi-lagi hatiku terenyuh melihat polahmu. Lagi-lagi sesal
menyerbu hatiku. Kenapa baru sekarang aku bisa bersyukur memperoleh isteri
zuhud dan ‘iffah sepertimu? Kenapa baru sekarang pula kutahu betapa nikmatnya
menyaksikan matamu yang berbinar-binar karena perhatianku…?</div>
Ade Maulana Rahmanhttp://www.blogger.com/profile/06806462507728421518noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1563349201008104401.post-51051432083757779762013-06-05T02:42:00.002-07:002013-06-05T02:42:44.914-07:00Bidadari Tak Secantik Senyummu <div class="MsoNormal">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgnuvWg5oZrRoHEwphj0xBJBsZ51Bl8o6uF-waVNYG1uV85UpjmWYhRcKdMEJuSFsYFQQ0ZL5Ka7LU2ohvqBt3kdfxEH_OWw6OJKjHSZ9rdtv209fixM7k1OIFY1Z-Csq4MRGoynazpbv26/s1600/bidadari.jpg" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="166" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgnuvWg5oZrRoHEwphj0xBJBsZ51Bl8o6uF-waVNYG1uV85UpjmWYhRcKdMEJuSFsYFQQ0ZL5Ka7LU2ohvqBt3kdfxEH_OWw6OJKjHSZ9rdtv209fixM7k1OIFY1Z-Csq4MRGoynazpbv26/s320/bidadari.jpg" width="183" /></a><span class="usercontent">"Bangun ! imam besar, makmum udah nunggu nih…” bisikan
lembut yang mengikuti kecupan dipipiku itu membuatku tak bisa menolak untuk
membuka mataku yang masih lengket ini. Kulirik jam di dinding oranye kamar </span><span class="textexposedshow">tidur kami dengan seperempat mata terbuka. Pukul tiga
pagi.</span><br />
<span class="textexposedshow">“Setengah jam lagi yah Makmum Cantik, Imam Besar
masih ngantuk berat nih…!” kututupkan lagi selimut yang tersingkap ini ke
kepala ku.</span><br />
<a href="http://www.blogger.com/null" name="more"></a><br />
<span class="textexposedshow">“Gak mau, harus bangun sekarang, ntar kucubit lo!”
kali ini rengekan manja ini tak bisa kutolak lagi. Dengan bergaya sempoyongan
ku melangkahkan ke kamar mandi untuk berwudhu. “Eh…selimutnya gak usah dibawa
sayang…!</span><br />
<span class="textexposedshow">Pagi ini aku berpura-pura tampak capek. Setelah
tidurku tadi malam “terganggu” untuk shalat malam, disambung shalat subuh. Dan
“terpaksa”</span><br />
<span class="textexposedshow">membaca satu juz Al-Qur’an agar aku tidak terlelap
lagi. Dengan gaya kuyu aku duduk di depan meja makan menanti sarapan yang
disiapkan istriku. Hari ini aku berangkat pagi. Ada rapat.</span><br />
<span class="textexposedshow">“Pagi Kanda…pagi ini Dinda buatkan sop pavorit
Kanda, biar gak ngantuk lagi.” Senyum manis istriku sudah menyambutku di ruang
makan. Aku masih pura-pura sebal. Padahal senyum itulah yang membuatku tak bisa
pergi lama darinya dalam dua tahun terakhir ini.</span><br />
<br />
<span class="textexposedshow">Aku teringat ketika pertama kali kami bertemu.
Sebenarnya bukan yang pertama, dia adalah teman SMP-ku. Namun sejak lulus SMP
kami tak pernah berjumpa sampai kami bertemu diruang Poliklinik Umum RS
Dr.Sardjito. secara kebetulan, sebuah skenario yang indah dari Sang Maha
Sutradara. Perjumpaan yang akan mengubah jalan cerita hidupku.</span><br />
<span class="textexposedshow">Perutku yang melilit-lilit sejak pagi memaksaku
untuk terpaksa menginjakkan ke tempat yang palin aku benci, rumah sakit.
Mungkin karena sehari sebelumnya aku dan teman-teman jurusan mesin berpesta di
rumah salah satu teman yang telah di wisuda. Seperti biasa anak-anak mesin yang
98,57 persen laki-laki pasti akan melakukan sesuatu yang “radikal” walau kadang
konyol. Sesuatu yang dianggap sebagai permainan untuk membuktikan “kejantanan”
yang kadang tidak jelas parameternya. Kemenanganku di lomba makan sambal yang
mengerikan itu telah mengantarkanku ketempat yang kubenci ini. Walaupun
akhirnya peristiwa itu amat kusyukuri.</span><br />
<span class="textexposedshow">Waktu itu aku belum lulus, walaupun angka sepuluh
menempel dengan malu-malu di semester yang sudah aku tempuh. Biasa anak Mesin
memang lambat lulus, begitu biasanya aku berapologi. Walaupun sebenarnya sudah
banyak temanku yang lulus. Termasuk yang menyediakan “Pesta Sambal” itu.</span><br />
<span class="textexposedshow">Ketika aku melangkah masuk keruang periksa, kulihat
senyum yang tidak akan pernah kulupakan. Yanti, temanku SMP dulu, aku tidak
akan lupa. Meskipun kini dia memakai kerudung besar di kepalanya. Itulah
satu-satunya perubahan besar yang tampak padanya. Sebentar, dia juga bertambah
cantik!</span><br />
<span class="textexposedshow">“Masya Allah, Tyo ya ? Assalamualaikum…kena apa ?”
kata-kata pertama setelah delapan tahun tak bertemu. Waktu itu aku tak banyak
bicara, keterkejutan dan sesuatu bergemuruh dihatiku membuatku menjadi pendiam.
</span><br />
<span class="textexposedshow">Bahkan ketika dia mulai “menginterogasi” gejala
sakitku aku hanya menjawab</span><br />
<span class="textexposedshow">sepotong-sepotong. Padahal biasanya aku sangat rewel
bila diperiksa.</span><br />
<span class="textexposedshow">Ketika itu Yanti masih ko-as. Setelah wisuda
menjadi S.Ked. beberapa bulan sebelumnya. Entah mengapa sejak pertemuan itu,
aku selalu jadi ingin</span><br />
<span class="textexposedshow">bertemu dengannya. Padahal saat itu aku sudah punya
pacar, Kristin.</span><br />
<span class="textexposedshow">Ya, saat itu pergaualanku sangat bebas. Aku tak
perduli ketika banyak temanku yang “alim” mempertanyakan hubunganku dengan
Kristin yang Khatolik itu. Waktu itu tak masalah bagiku pacaran dengan gadis
yang berbeda agama. Toh belum tentu menikah.</span><br />
<span class="textexposedshow">“Ah, jangan fanatik, dosen kita aja ada yang
istrinya beda agama. Dan mereka oke-oke saja.” Argumen yang selalu aku pakai
untuk menepis suara miring tentang Kristin. Namun akhir-akhir itu Kristin agak
menjauh dariku setelah aku menolak ikut acara natalan bersama keluarganya.
Entahlah walaupun dari sentuhan religius, aku masih merasa perlu untuk tetap
konsisten sebagai orang Islam. Aku pernah dengar ada kiyai yang melarang umat
Islam ikut natalan.</span><br />
<span class="textexposedshow">“Wah…males Kris. Lagian aku kan orang Islam. Aneh
kalo ikut natalan </span><br />
<span class="textexposedshow">nanti dikira murtad aku…”</span><br />
<span class="textexposedshow">Kristin yang mulai berlalu dan perjumpaan yang
berkesan di Poliklinik, semakin membuatku mantap untuk mendekati Yanti. Kupikir
ini seperti mengungkapkan cinta yang dulu tak terungkapkan saat SMP. Dulu aku
memang pernah menyukai Yanti ketika SMP. Namun cinta monyet segera berlalu. Di
SMA aku berpacaran dengan Erlin, Julia, Anna…wah aku memang “buaya”!</span><br />
<br />
<span class="textexposedshow">Yanti memang tak secantik Kristin yang aduhai itu.
Tapi senyumnya yang ikhlas dan natural tanpa sapuan kosmetik itu benar-benar
membuatku “melayang”. Entahlah seharusnya aku tidak tertarik pada penampilannya
yang “Full Cowled”. Kurasa ada “Something Wrong” pada hatiku. Biasanya aku
hanya mengejar gadis untuk “having fun”. Dan tentu saja gadis yang bisa diajak
“having fun” bukan tipe seperti yanti ini. Aku tahu karakter orang-orang
berkerudung besar seperti Yanti ini. Mereka anti pacaran !</span><br />
<span class="textexposedshow">Karena itu aku mencari metoda pendekatan lain.
Kukirim SMS dengan pesan-pesan religius yang kudapat dari anak-anak SKI dan
buku-buku agama.</span><br />
<span class="textexposedshow">Aku kadang sekedar mampir kerumahnya dengan berjuta
alasan agar bisa bertemu. Mengajak reuni, atau sekedar menanyakan khabar. Dan
tentu saja aku harus tampil dengan penampilan yang menunjang. Harus tampil
religius.</span><br />
<span class="textexposedshow">Baju koko plus peci pinjaman jadi modal meyakinkan.
Itupun aku tak pernah bisa ngobrol berdua. Yanti selalu mengajak ibunya ikut
berbincang. Wah aku jadi keki. Ilmu “menggombal buaya-ku” tak bisa kupakai!
Tapi tetap saja aku senang. Melihat senyumnya saja membuatku melihat dunia dua
kali lebih indah!</span><br />
<span class="textexposedshow">Suer!</span><br />
<br />
<span class="textexposedshow">Setelah berjalan sebulan aku muali yakin bahwa aku
jatuh cinta beneran sama Yanti. Kubulatkan tekad untuk menyatakan hatiku
padanya. Dengan segenap pengalamanku sebagai “buaya”, kutulis sepucuk surat
cinta penuh rayuan gombal yang sampai sekarang masih kami simpan sebagai
kenangan.</span><br />
<span class="textexposedshow">Biasanya kalau aku lagi ngambek, Yanti akan
membacakan surat itu keras keras.Dan tentu saja itu akan mengakhiri mendung dihatiku.</span><br />
<span class="textexposedshow">Kukirim surat itu melalui kurir, Udin, seorang
ko-as teman SMA-ku.</span><br />
<span class="textexposedshow">Kupesan agar jawabannya kalau bisa segera. Udin sih
oke-oke saja, jajan bakso di Gejayan pasti tidak bisa ditolaknya.</span><br />
<span class="textexposedshow">Jantungku berdegup keras ketika Udin meneleponku
dan mengatakan Yanti ingin bertemu di bangsal anak satu jam lagi. Degg…satu jam
yang sangat lama bagiku. Aku terus berdo’a, “Ya Allah jadikanlah cintaku
bersambut cintanya…” ya, kadang-kadang akupun masih ingat Tuhan , terutama
disaat saat tak ada cara lain didalam benakku selain do’a.</span><br />
<span class="textexposedshow">Selasar didepan bangsal anak. Peristiwa yang sangat
berkesan didalam hatiku. Dengan penampilan yang “meyakinkan”. Baju koko
terbaru, dan rambut terpotong rapi, aku melangkah menemui Yanti yang sudah
menunggu. Dia masih menggunakan jas praktikum putihnya. Senyumnya sudah
mengembang melihat kedatanganku, wah prospek cerah nih !</span><br />
<span class="textexposedshow">“Assalamualaikum…sudah baca surat ku khan ?” sapa
ku dengan salam.</span><br />
<span class="textexposedshow">Sesuatu yang amat jarang aku ucapkan.</span><br />
<span class="textexposedshow">“Waalaikumsalam. Sudah. Jadi Tyo suka sama saya,
cinta sama saya ?”</span><br />
<span class="textexposedshow">suara lembut seperti seorang ibu yang menghadapi
anak nakalnya. “Terus,</span><br />
<span class="textexposedshow">sekarang Tyo mau apa ?”</span><br />
<span class="textexposedshow">“Ya, terus gimana dengan Yanti ? Yanti terima tidak
cinta saya ?” Gleg.</span><br />
<span class="textexposedshow">Lidahku kelu. Padahal biasanya menggombal adalah
keahlianku. Namun kali ini aku benar-benar kena batunya!</span><br />
<span class="textexposedshow">“Tentu saja Yanti terima cinta Tyo. Terus habis itu
gimana ?” masih dengan senyum lembut yang membuatku hampir tak bisa bicara.</span><br />
<span class="textexposedshow">“Ya…terus kita jadian. Kau jadi pacarku begitu…”
jawabku ragu. Ingin kutelan kalimat yang baru saja meluncur dari mulutku.
Mengingat aku tahu</span><br />
<span class="textexposedshow">karakter orang-orang seperti Yanti yang anti
pacaran.</span><br />
<span class="textexposedshow">“Wah, kenapa pacaran ? gimana kalau kita nikah saja
?”</span><br />
<span class="textexposedshow">Deg, aku hanya berdiri kaku. Menikah ? sebuah
tantangan yang baru pertama kali ini ku terima. Hari itu “si buaya” benar-benar
KO! Aku tak habis pikir. Selama karirku menjadi “buaya”, tak satupun gadis yang
berani menantangku untuk menikah. Apalagi saat di “tembak”.</span><br />
<span class="textexposedshow">“Me…menikah ? wah, kalau begitu a…aku pikir-pikir
dulu…” pikir-pikir ?</span><br />
<span class="textexposedshow">sebuah jawaban yang tidak bermutu setelah
pernyataan cinta yang menggebugebu.</span><br />
<span class="textexposedshow">Namun, hanya itulah amunisi kata-kata yang kupunyai
saat itu. Sementara amunisi lain sudah lenyap karena memang kondisi yang di
prediksikan tidak sesuai kenyataan.</span><br />
<span class="textexposedshow">Menikah aku harus berani. Tak peduli apa kata
orang. Aku sudah jatuh cinta beneran sama Yanti. Masak “buaya” takut di tantang
menikah. Tetapi kemudian aku teringat dengan cerita-cerita sumbang tentang
pernikahan.</span><br />
<span class="textexposedshow">Orang yang menikah akan di bebani tanggung jawab.
Harus setia. Harus punya pekerjaan. Harus ini. Harus itu. Nanti kalau punya
anak kan repot. Perlu biaya besar dan segala macam problema rumah tangga yang
kudengar dari mereka yang “berpengalaman” menikah, menghantui pikiranku. Dan
yang jelas setelah menikah aku tidak bebas lagi. Itulah yang terlintas di
benakku. Aku mulai ragu. Apalagi sehari setelah peristiwa itu, Kristin mengajak
baikan. Aku semakin bingung dan kacau. Disatu sisi jujur kuakui aku sangat
takut menikah. Disisi lain aku benar-benar “terobsesi” pada Yanti. I’m trully,
madly, deeply, do love her. Pusiinggg…aku mulai takut dan kacau. Kuliah yang
tinggal mengulang sering kutinggalkan. Aku lebih sering membaca buku. Di kos,
perpus dan bahkan di toko buku. Temanya tentu saja pernikahan. Namun semua buku
itu hanya membuatku semakin pening. Ada yan</span><br />
<span class="textexposedshow">bilang menikah disaat kuliah itu sangat mendukung
perkembangan jiwa</span><br />
<span class="textexposedshow">sesorang. Namun di lain buku ada yang menulis bahwa
menikah diusia muda hanya akan membawa perceraian dan ketidakbahagiaan.</span><br />
<br />
<span class="textexposedshow">Akhirnya kuputuskan untuk berpikir sendiri. Sepekan
penuh aku berfikir keras. Bahkan laporan praktikum pun harus menunggu. Kucoba
menata satupersatu</span><br />
<span class="textexposedshow">masalah dan potensi yang akan kuhadapi dan aku
punyai untuk menikah. Masalah ? tentu saja ada, karena aku masih kuliah, orang
bilang kalau menikah saat kuliah akan berantakan salah satunya. Ah, itu Cuma
kata orang. Yang lain juga bilang kalau menikah di saat kuliah justru akan
membuat kita lebih dewasa.</span><br />
<br />
<span class="textexposedshow">Kurasa masalah lain yang jauh lebih besar adalah
bahwa aku belum punya penghasilan. Kata orang kalau menikah, seorang laki-laki
harus menafkahi istri dan keluarganya. Wah, bagaimana mau menafkahi sementara
aku belum kerja. Tapi kurasa babe-ku tidak keberatan untuk melipatduakan dana
kiriman bulanan. Selain beliau cukup berada untuk mensuplai dana buatku, beliau
juga pernah berkata bahwa, jika kau menikah dan belum punya pekerjaan beliau
akan membantu.</span><br />
<span class="textexposedshow">Setelah sekian waktu berpikir keras, aku menyerah.
Kurasa otak-ku tak kan mampu mengeksekusi sebuah keputusan untuk menikah atau
tidak.</span><br />
<span class="textexposedshow">Ditengah keputusasaanku aku teringat Udin. Kurasa
dia bisa membantuku untuk memecahkan masalah ini. Aku selalu percaya anak-anak
SKI dan alumninya mempunyai kebijakan yang bisa diandalkan untuk memecahkan
masalah masalah rumit. Mereka punya intuisi yang menakjubkan untuk menghadapai</span><br />
<span class="textexposedshow">masalah yang berat sekalipun. Aku meminta
pertimbangan pada Udin yang alim ini. Udin hanya terwata. “Shalat Istikharah
aja, minta petunjuk sama Tuhan.”</span><br />
<span class="textexposedshow">Kuputuskan untuk mengikuti saran Udin. Kuambil air
wudhu dengan sempurna dan aku shalat dengan khusyuknya. Kurasa itu adalah
shalat yang paling khusyuk sepanjang hidupku. Kupasrahkan segalanya pada-Nya.
Jikalau Yanti yang terbaik untukku maka kuatkanlah tekadku untuk menikah
dengannya. Jikalau bukan maka, biarkanlah kami menjadi sahabat yang sejati.</span><br />
<span class="textexposedshow">Sebuah do’a yang tak pernah keluar dari dalam
hatiku sebelumnya. Namun kini do’a ini amat kusyukuri. Mungkin ini salah satu
do’a terbaik sepanjang hidupku.</span><br />
<span class="textexposedshow">Esok pagi aku bangun dengan cerah. Tekadku bulat.
Tuhan dan cintaku akan menguatkan kelemahanku! Akan kupenuhi tantangan Yanti.
Maukah kamu menikah dengan ku ? kalimat itu terus terucap dihatiku. Kutelepon
orang tuaku. Dan mereka memberiku lampu hijau. “yang penting kamu harus lulus
kuliah.” Ya, untungnya orang tuaku permisif untuk urusan ini. Kebetulan
keluarga orang tuaku punya kultur menikah di usia muda, dan ini kusyukuri
sampai saat ini. Tak lupa beliau berdua mengcapkan selamat atas keberanianku
untuk menikah. Selama ini beliau berdua selalu mendesakku untuk menikah, tapi
aku selalu menjawab, “Ntar, kalo udah lulus…”</span><br />
<span class="textexposedshow">Kukurim SMS kepada Yanti. Aku ingin bertemu
dengannya di tempat yang sama saat Dia menantangku. Didepan Bangsal Anak.
Kubilang aku ingin menyampaikan sesuatu pernyataan penting.</span><br />
<span class="textexposedshow">Walaupun hatiku sudah sangat mantap, jantungku
masih saja berdegup keras. Dihatiku masih berlintasan berbagai pertanyaan.
Bagaimana kalau Dia menolak ? kalau setuju bagaimana nanti kesiapanku ? Ah,
kutepis semua pertanyaan itu. Kalaupun Dia menolak artinya Tuhan belum
menentukan Dia sebagai jodohku. Tentang bagaimana nanti, kupasrahkan pada
Tuhan. Entahlah, aku lebih religius setelah bertemu dengan Yanti.</span><br />
<span class="textexposedshow">Kali ini aku tampil sederhana, aku pasrah pada
Tuhan. Aku merasa ringan dan bersih. Kaos lengan panjang hitam, celana kargo
dan sandal gunung. Sangat berbeda dengan pertemuan sebelumnya. Aku ingin tampil
apa adanya, inilah aku, dengan segala kekuranganku.</span><br />
<span class="textexposedshow">Dan selasar didepan Bangsal Anak menjadi saksi.
Dengan bergetar, Bismillah kukatakan “Yanti mau kah kau menjadi istriku ?”
pernyataan yang terlalu lugas buat seekor “buaya” seperti aku. Namun saat itu
hanya itulah kata-kata yang kumiliki. Sebuah ungkapan terjujur yang pernah
kuungkapkan pada gadis yang kucintai.</span><br />
<span class="textexposedshow">“Saya bersedia…menjadi istri Tyo. Tapi
syaratnya…Tyo harus mengaji…”</span><br />
<span class="textexposedshow">kali ini jawaban Yanti sangat serius. Senyum yang
biasanya menghiasi wajahnya menghilang. Suaranya bergetar terbata-bata, seperti
suaraku saat mengucapkan pernyataan berat itu dengan serak. Mata indahnya
berkaca-kaca.</span><br />
<span class="textexposedshow">Dunia seakan lepas dari kaki ku. Semua beban lenyap
tak bersisa. Aku mau teriak pada seluruh dunia sebuah proklamasi “Aku cinta
Yantiiii…” namun kesadaranku masih bersamaku. Aku masih ingat dimana aku
berada. Ku ambil napas panjang, “Alhamdulillah…ya tentu saja aku mau mengaji…”</span><br />
<span class="textexposedshow">Sore itu kutraktir Udin atas suksesnya lamaranku.
“Wheii…Masya Allah.</span><br />
<span class="textexposedshow">Selamat ya!” Udin menepuk bahuku dengan bangga. Aku
juga bangga dan bahagia.</span><br />
<span class="textexposedshow">“Wah kalo begitu nanti, pas walimahannya aku mau
jadi event organizer-nya.” Tawaran yang pasti takkan kutolak. Setidaknya
Udin-lah mak comblangku. Hari ini sekerat ayam goreng dimulutku terasa sangat
enak.</span><br />
<span class="textexposedshow">Mungkin yang terenak yang pernah kurasakan.</span><br />
<span class="textexposedshow">Pagi itu kuterima SMS dari Yanti. “Ngajinya mulai
nanti sore, lho. Nanti jemput Udin di depan parkiran RS jam 4 sore.” Hah? Ngaji
sore-sore? Lagian bukannya ngaji bisa sambil nonton teve. Kayak pengajiannya Aa
Gym ? Padahal sore ini aku mau latihan basket. Aku bingung sesaat, namun demi
cinta apapun kan kujalani…huiii gombal !!!</span><br />
<span class="textexposedshow">Sore itu kujemput Udin. Kami melaju menuju tempat
yang ditunjukkan Udin. Sebuah rumah kos kecil di Pugong. Aku heran, tak ada
tanda-tanda orang akan pergi mengajike situ.</span><br />
<span class="textexposedshow">“Mana pengajiannya, Din ? kok sepi ?” tanyaku ragu.
“Didalam. Dah</span><br />
<span class="textexposedshow">masuk ajah.”</span><br />
<span class="textexposedshow">Ternyata yang disebut pengajian oleh Yanti, jauh
berbeda dengan apa yang aku bayangkan. Sebuah pertemuan kecil. Lima orang
dengan salah satunya menjadi pemateri. Dan semuanya mahasiswa! Tak ada kiyai
yang kubayangkan mengisi pengajian ini. Dan temanya pun sangat berbeda dengan
pengajian yang kukenal. Disini kami juga membahas politik aktual. Sesuatu yang
tabu dibicarakan di pengajian umum.</span><br />
<span class="textexposedshow">Aku mudah merasa include dengan mereka meski semua
itu asing bagiku.</span><br />
<span class="textexposedshow">Dengan segala ke-alim-an, keramahan, keterbukaan,
mereka membuatku yang masih beginner ini, tidak merasa tertinggal jauh. Tak ada
kesan arogan dan merasa lebih senior pada mereka. Walaupun jelas, aku tidak ada
apa-apa nya dibanding mereka. Baik politik, apalagi agama.</span><br />
<span class="textexposedshow">Dan saat yang agung dalam hidupku itu pun tiba.
Setelah sebulan sejak aku melamar Yanti, kami menikah. Suasana yang begitu
sakral kurasakan.</span><br />
<span class="textexposedshow">Setelah ikrar agung itu ku-ucapkan dan Yanti
mencium tangaku pertama kalinya. Tak kuasa kutahan air mata haru dan bahagiaku.
Senyum photogenicku berantakan</span><br />
<span class="textexposedshow">ketika Udin memfoto kami berdua.</span><br />
<span class="textexposedshow">“Hoi, jangan nangis, ini kan hari bahagia.” Udin
terus saja menggoda kami.</span><br />
<span class="textexposedshow">Ya, sejak saat itulah perjalanan hidup kami lalui
bersama. Aku terus berproses menjadi manusia sejati dengan dorongan Yanti yang
tak pernah putus. Dialah coach dan trainer-ku. Banyak ilmu agama yang belum
kuketahui kudapat darinya. Tak perlu malu atau gengsi. Toh kenyataanya memanh
aku yang harus banyak belajar. Walaupun dia juga sering kutraining bagaimana merawat
mesin motornya dengan baik. </span><br />
<span class="textexposedshow">Saat aku malas mengaji, dialah yang selalu
mendorongku. “Bu dokter, hari ini daku absen ngaji ya? Capek nih, habis
nguber-nguber dosen pembimbing…”</span><br />
<span class="textexposedshow">“Gak boleh darling calon ST. gak boleh males ngaji.
Inget janji dulu, hayo. Kalo gak ngaji gak ada yang pijitin nanti malam!”
senyum mu memang charger buat semangat ku yang mudah pudar ini.</span><br />
<span class="textexposedshow">Kau juga selalu membuatku tak pernah kehabisan
energi untuk menyelesaikan tugas akhirku yang berat. Hingga wisudaku begitu tak
terasa sudah didepan mata. Foto wisuda bersama istri yang dulu kuanggap khayal
terwujud juga! Wah senangnya.</span><br />
<span class="textexposedshow">Namun ternyata hidup tidak berhenti dengan wisudaku
sebagai S.T.</span><br />
<span class="textexposedshow">Dunia kerja ternyata tidak seramah yang kukira.
Berkali-kali aku melamar pekerjaan, berulang-ulang pula aku harus mengambil
kembali lamaranku.</span><br />
<span class="textexposedshow">Namun Yanti tak pernah merasa lelah untuk
menyemangatiku. Saat ku lelah dialah tempatku bersandar, saat ku patah dialah
yang sembuhkan aku. Dialah yang telah membimbingku menjadi manusia sejati.
Dialah anugerah terindah yang pernah kumiliki. Yang menuntunku dari kegelapan
menuju cahaya Illahi.</span><br />
<span class="textexposedshow">Sore itu kuketuk pintu rumah dengan semangat.
Kudengar langkahnya tergesa menuju pintu. Pintu terbuka dan seperti biasa
senyumnya menyambutku hangat. Dia baru saja hendak mencium tanganku sebelem
kuraih pinggang nya dan kupeluk dia sambil berputar-putar.</span><br />
<span class="textexposedshow">“Eh,eh, apaan nih…turun-turun…” jeritnya
meronta-ronta.</span><br />
<span class="textexposedshow">“Gak mau. Gak akan kuturunkan sampai aku pusing.
Aku diterima, honey!” teriakku sambil terus berputar dan menjatuhkan diri.</span><br />
<span class="textexposedshow">“Alhamdulillah…eit, tapi ingat lima puluh persen
dari penghasilan bulanan harus deserahkan pada sang istri.” Godanya sambil
menunjuk hidungku.</span><br />
<span class="textexposedshow">“Gak mau, akan ku berikan semuanya buat kekasihku.
Itu lo yang dokter eh insinyur itu. Siapa namanya ? Emmm… Kristin atau…” kataku
sambil memencet hidungnya.</span><br />
<span class="textexposedshow">“Apa…dasar buaya jahat…”</span><br />
<span class="textexposedshow">“Eh, kok malah senyum-senyum sendiri? Gak enak ya
sopnya?” pelukan hangat istriku membuyarkan lamunan nostalgiaku.</span><br />
<span class="textexposedshow">“Emmm…enak-enak. Cuma lagi ngelamunin, gimana
tampang baby kita kalo udah lahir nanti.”</span><br />
<span class="textexposedshow">“Uuu…gombal!” Seperti biasa kalau gemas, Yanti
mencubitku. Aku hanya tertawa.</span><br />
<span class="textexposedshow">Sungguh besar pahala bagi mereka yang menjadi jalan
hidayah bagi seseorang. Kukecup kening permataku. Kekasihku, bidadari tak
secantik senyummu. Semoga Allah menetapkan surga untukmu, untuk semua
pengorbanan dan baktimu.<br /><br />Selesai...</span></div>
Ade Maulana Rahmanhttp://www.blogger.com/profile/06806462507728421518noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1563349201008104401.post-9233741533638706742013-06-05T02:41:00.001-07:002013-06-05T02:41:51.689-07:00Kado Ini Untukmu Akhi<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhriwnXnRrbo-NaffmxEL3177iGBtPHPs9TzZ6EcmnsQyU7OEd2GqIjgyEPy4KyPZR9ny-S0EWyim4Nn-uPBqZROKr0C1xFJJ4kRcY-jp1pTP1JogSOA_wYusHHlko8DKHUWkN4vhtAI9LE/s1600/hadiah-kado.jpg" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="160" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhriwnXnRrbo-NaffmxEL3177iGBtPHPs9TzZ6EcmnsQyU7OEd2GqIjgyEPy4KyPZR9ny-S0EWyim4Nn-uPBqZROKr0C1xFJJ4kRcY-jp1pTP1JogSOA_wYusHHlko8DKHUWkN4vhtAI9LE/s200/hadiah-kado.jpg" width="200" /></a></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Barang itu masih teronggok di atas tumpukan koran
dan majalah. Tak jauh dari meja belajar. Kado dengan bungkus bercorak batik.
Arif sendiri yang membungkus, tak rapi namun enak dilihat.</span></div>
<div class="MsoNormal">
</div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">“Akh ini …” kata Arif dua hari lalu sembari
menyodorkan kado.</span></div>
<div class="MsoNormal">
</div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">“Apa? Buat siapa ini?”</span></div>
<div class="MsoNormal">
</div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">“Buat Antum,” kata Arif sambil meng-he-he. Nyengir
kuda. Tangannya masih digantungi kado.</span></div>
<div class="MsoNormal">
</div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">“Memang apa isinya?”</span></div>
<a href="http://www.blogger.com/null" name="more"></a><br />
<div class="MsoNormal">
</div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">“Nah, biar tahu makanya dibuka.”</span></div>
<div class="MsoNormal">
</div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">“Ah, nggak-nggak. Dalam rangka apa?”</span></div>
<div class="MsoNormal">
</div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">“Memang kalau member harus menunggu rangka dulu ya?”
Arif balik nanya.</span></div>
<div class="MsoNormal">
</div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">“Ah, nggak-nggak. Curiga saya, ntar gratifikasi
lagi,”</span></div>
<div class="MsoNormal">
</div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Astaghfirullah al adzim, desah Arif. “Ya nggak lah.
Ini memang buat Antum.”</span></div>
<div class="MsoNormal">
</div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">“Ini akh,” Arif coba memaksa agar tangan teman satu
kamar kosnya itu bersambut. Namun tak bersambut. “Taruh saja di situ. Masa ke
kampus bawa beginian.”</span></div>
<div class="MsoNormal">
</div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Kopaja 20 pun mengantarkan mereka ke kampus. Ada
rasa yang membuncah bahagia di hati Arif karena bisa memberi sesuatu pada Ardi.
Mereka berdua adalah sekawan yang menempuh di kampus sama dan ngekos bersama.
Demi hemat. Sebenarnya mereka udah kenal lama sejak semester tiga hingga
semester lima ini. Namun gara-gara Ardi mulai ngekos– yang sebelumnya dilaju
dari Bogor ke Jakarta—keakraban mereka makin lekat.</span></div>
<div class="MsoNormal">
</div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Arif memberi kado untuk ikhwan berlesung pipit itu
bukan karena apa-apa, hanya ingin memberi. Kebiasaan Arif adalah suka memberi
kado pada temannya sesama aktivis dakwah kampus. Khusus yang mahram. Dengan
pemberian, hati seseorang yang keras bisa melunak. Ini yang kadang terlupakan
oleh penggiat dakwah. Pernah suatu kali, Arif kesal dengan rekan organisasinya
yang mangkir terus dari kegiatan. Ditanya pun banyak alasan, namun ketika Arif
member kado, rekannya itu menjadi sangat rajin, bahkan lebih shalih.</span></div>
<div class="MsoNormal">
</div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Eh, tunggu! Dia memberi kado Ardi bisa juga karena
Ardi telah membantunya mengerjakan coding PHP untuk tugas kuliah webnya.</span></div>
<div class="MsoNormal">
</div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Kado itu masih teronggok di atas tumpukan Koran dan
majalah. Belum tersentuh pada yang dituju. Arif tak mengerti. Namun ia coba
berpikir sepositif mungkin. Anehnya, belakangan Ardi bersikap dingin. Ngomong
alakadarnya. Sekata bukan sekalimat. Padahal obrolan adalah kumpulan kata-kata.
Arif merasa bersalah. Tapi apa salah Arif?</span></div>
<div class="MsoNormal">
</div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">“Antum ada masalah Akhi?”</span></div>
<div class="MsoNormal">
</div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">“Nggak,” jawab Ardi, datar.</span></div>
<div class="MsoNormal">
</div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">“Oh,”</span></div>
<div class="MsoNormal">
</div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Arif sungguh-sungguh tak mengerti. Apa salah Arif
hingga didiamkan Ardi? Apa gara-gara kado? Masa’ iya gara-gara memberi jadi
‘tersangka’. Mana ada sepanjang perjalanan sejarah, orang memberi malah
dimusuhi. Tapi bisa jadi sih bila pemberiannya membuat sakit hati atau
tersinggung. Apakah kausal itu yang jadi penyebabnya? Beragam tanya berkecamuk
dalam benak Arif.</span></div>
<div class="MsoNormal">
</div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Kehadiran Ardi sebagai rekan satu kamar sangat
berarti bagi Arif. Sangat memberi manfaat. Arif jadi makin rajin shalat tahajud
dan shalat subuh di mushalla karena ada yang membangunkan, yang sebelumnya
kerap tertinggal atau kesiangan.</span></div>
<div class="MsoNormal">
</div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">“Mungkin dia gengsi kali,” kata Arya, teman beda
kampus Arif ketika ia curhat. Gengsi? Masa’ iya? Memang sih Ardi anak orang
kaya, ayah ibunya orang berada. Namun selama tiga bulan ngekos bareng Ardi
hingga kini, Ardi adalah sosok yang rendah hati. Kalau pun sombong, paling
menyombongkan orang dekat dia yang menjadi sosok terkenal. “Coba tanyakan lagi
untuk memastikan, dia mau apa nggak? Mungkin dia sungkan untuk menanyakan
lagi,” tambah Arya.</span></div>
<div class="MsoNormal">
</div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">“Semua orang tak bisa mengkomunikasikan apa isi
hatinya, Akhi,” kali ini Murabbinya Arif berbicara. “Dan tak semua orang mau
menerima pemberian kita. Di sinilah, niatan kita diuji oleh Allah. Amal Antum
tak akan seperti angin kok. Percayalah, Allah akan membalas.”</span></div>
<div class="MsoNormal">
</div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Arif mengangguk apa yang dikatakan Murabbinya saat
konsultasi tentang permasalahannya.</span></div>
<div class="MsoNormal">
</div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Akh, kadonya kok nggak dibawa? Tulis Arif dalam
pesan pendek coba berpikir bahwa tak ada-apa-apa. Coba berpolos hati. Namun tak
ada balasan dari Ardi yang saat itu sedang balik di Bogor. Sepi.</span></div>
<div class="MsoNormal">
</div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Kado itu masih teronggok di atas tumpukan Koran dan
majalah. Betah. Belum tersentuh pada yang dituju. “Akhi, kadonya kok nggak
dibuka,” Arif memberanikan diri untuk menanyakan lagi. Mengikuti saran Arya.</span></div>
<div class="MsoNormal">
</div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Ardi yang sedang asyik dengan leppynya tak berkutik.
Hanya, “Buat apa?”</span></div>
<div class="MsoNormal">
</div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">“Ini buat Antum lho,” Arif yang lagi duduk di kursi
belajar coba memaniskan diri, meski dalam hati gondoknya minta ampun.</span></div>
<div class="MsoNormal">
</div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Tak ada respon jua.</span></div>
<div class="MsoNormal">
</div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">“Jadi, Antum mau menerima ini atau nggak Akhi?”</span></div>
<div class="MsoNormal">
</div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">“Nggak,” kata Ardi dengan suara rendah namun
menabrak.</span></div>
<div class="MsoNormal">
</div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Pernah melihat hujan selain hujan air? Hujan itu
bernama hujan sakit hati yang menyayat hati Arif. Sangat menyayat. Rasanya
ingin, argghh…</span></div>
<div class="MsoNormal">
</div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Masih dengan hati yang entah seperti apa kondisinya,
Arif pun mengambil silet di atas lemari baju. Baru ia beli tadi siang, tingkat
ketajamannya tak diragukan. Sangat tajam.</span></div>
<div class="MsoNormal">
</div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Krash!</span></div>
<div class="MsoNormal">
</div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Kado yang ia bungkus dan yang akhirnya ia buka
sendiri itu pun terkuak isinya. Ardi mendengar suara itu, tapi ia enggan
nengok. Tak tega juga Arif melihat kondisi seperti ini.</span></div>
<div class="MsoNormal">
</div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Ketika Arif tidur, Ardi yang belum tidur itu pun
mendekati meja belajar. Penasaran. Deg! Ardi merasa berdosa telah menyakiti
hati sahabatnya, tahu isi kado itu tak adalah Al-Munawwir, kamus bahasa Arab.
Kamus yang selama ini diinginkannya. Sudah lama Ardi inginkan namun belum
sempat kebeli karena harus ke toko As Sunah Kwitang. Tak sempat, sibuk, jauh,
lebih tepatnya malas ke sana.</span></div>
<div class="MsoNormal">
</div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Allah…desahnya. Ada bintik bening di ujung matanya.
Ia menolak pemberian itu bukan karena apa. Ia hanya ingin menjaga kesucian niat
dalam membantu mengajarkan PHP kepada Arif. Kado itu saja bisa jadi pemancing
niat awalnya. Jika menolak dengan mengatakan: Saya ikhlas membantu Antum,
kalimat seperti ini yang membuat niat ternodai. Karena ikhlas adalah pekerjaan
hati, bukan pekerjaan mulut. Namun kenapa harus ditolak? Terima saja, ah…Ardi
kadang tak mengerti dengan diri sendiri.</span></div>
<div class="MsoNormal">
</div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Matahari mengintip dari timur dengan malu-malu. Hari
cerah, namun tak secerah hati Arif. Sisa sakit hati semalam masih ada. Untuk
kuatkan diri, dalam Twitter ia berkicau: jangan sakit hati bila Allah tujuan
inti.</span></div>
<div class="MsoNormal">
</div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Ia membenarkan kata Murabbinya, tak semua orang
mampu mengkomunikasikan apa yang ada dalam dirinya.</span></div>
<div class="MsoNormal">
</div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Sebelum berangkat kuliah, ia membuka dompetnya.
Hanya ada dua lembar lima puluhan ribu rupiah. Uang segitu untuk waktu 12 hari
ke depan. Uangnya berkurang karena …ah, sudahlah.</span></div>
<div class="MsoNormal">
</div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">—</span></div>
<div class="MsoNormal">
</div>
<div class="MsoNormal">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Untuk kalian yang saling mencintai karena-Nya.</span></div>
Ade Maulana Rahmanhttp://www.blogger.com/profile/06806462507728421518noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1563349201008104401.post-76843148516916143752013-06-04T05:16:00.002-07:002013-06-04T05:16:17.110-07:00Jawaban Terindah Darimu<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg9V9EoToMWFEIrdY6sa4eHoMLN7CFIArPkLRQK7AyjCLqfWjMOKBN_m7LqbG-gzMo7sK-zYc7jcW3nDSyAWbbSfRvGxIwdHWGJfCJ-T5RTCyCx_LXiIuhyXrCuVipbqfcXZm1yVnB0E0DW/s1600/images.jpg" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="149" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg9V9EoToMWFEIrdY6sa4eHoMLN7CFIArPkLRQK7AyjCLqfWjMOKBN_m7LqbG-gzMo7sK-zYc7jcW3nDSyAWbbSfRvGxIwdHWGJfCJ-T5RTCyCx_LXiIuhyXrCuVipbqfcXZm1yVnB0E0DW/s200/images.jpg" width="200" /></a></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Kunikmati udara pagi ini. Subhanallah
begitu menyejukkan. Kuhela nafas panjang agar udara segar itu masuk ke dalam
tubuhku, menjadi kekuatan dakwah bagiku. Hufth....segarnya. Dari kejauhan ku
lihat lelaki itu lagi,lelaki yang kemarin mengantar susu untuk Nenek.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">"Selamat pagi Mbak Killa."
sapanya ramah.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">"Iya,s</span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">elamat pagi juga." jawabku
menundukkan kepala setelah kusadari lelaki itu sedari tadi telah menjatuhkan
pandangannya tepat pada bola mataku.</span></div>
<a href="http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=1563349201008104401" name="more"></a>
<br />
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">"Nenek ada, Mbak?" tanyanya
kemudian.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">"Ma'af, Nenek sedang ke
pasar." jawabku.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">"Kalau begitu saya boleh titip ini
pada Mbak Killa?" tanyanya lagi seraya menyodorkan dua bungkus susu
kedelai dalam kemasan plastik.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">"Insya Allah." kuterima susu
kemasan itu,namun lelaki itu tak juga beranjak dari tempatnya berdiri. Dia
malah terus menatap wajahku. Aku jadi salah tingkah dibuatnya.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">"Maaf, apa masih ada yang bisa saya
bantu?" tanyaku berharap dia tau kalau aku tak nyaman jika seseorang yang
bukan muhramku berlama-lama bersamaku.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">"Tidak, saya hanya ingin melihat
wajah Mbak Killa. Kenapa Mbak Killa terus menunduk?" tanyanya sembari
cengengesan.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">"Dalam islam seorang wanita dan
lelaki yang bukan mahram saling beradu pandang adalah haram." jawabku pada
lelaki yang ku tau dia non muslim itu. Dia hanya mengangguk-anggukkan kepala.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">"Kenapa begitu ya?" ternyata
pertanyaannya masih berlanjut setelah manggut-manggut, kukira tadinya dia sudah
mengerti.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">"Karena syahwat bisa muncul dari
pandangan." jelasku lagi.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">"Mbak Killa selalu memakai tutup
kepala itu?" lanjutnya.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">"Maksudnya jilbab ini?"</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">"Iya, itu."</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Kali ini aku tersenyum mendengar
pertanyaannya.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">"Karena seorang muslimah harus
menutupi auratnya untuk menjaga dirinya dari hal-hal yang tak diinginkan."</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">"Kenapa demikian?" bukankah
rambut adalah mahkota terindah bagi wanita ?"</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">"Itu sangat benar." jawabku
sembari tersenyum tanpa memandangnya.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">"Lalu??"</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">"Mahkota kami hanya untuk lelaki
yang sudah menjadi mahram kami."</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Dia terlihat semakin bingung,mungkin dia
tak tau apa itu arti mahram. Tapi tampaknya dia tak akan menanyakannya lagi.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Semburat senja makin terlihat. Jam sudah
menunjukkan pukul 5 sore tepat. Nenek masih terlihat sibuk dengan kacang yang
harus dikupasnya agar esok hari bisa di jual ke pasar. Sedang aku sibuk
merapikan baju Nenek dalam lemari.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">"Kamu pulang kapan,Nduk ?"
tanya Nenek.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">"Seminggu lagi Nek,soalnya tadi Abi
udah telfon katanya seminggu lagi Mbak Silla di khitbah Mas Imam, jadi Killa
harus bantu-bantu di rumah. Nenek juga disuruh ikut kesana."</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">"Nggak,Nenek suka pusing kalau naik
kendaraan jauh." katanya seraya meneguk susu kemasan tadi pagi. Tiba-tiba
aku teringat lelaki yang mengantar susu itu.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">"Apa lelaki itu setiap hari
mengantar susu untuk Nenek?" tanyaku beberapa saat kemudian.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">"Maksud kamu Vino?"</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Nenek meletakkan kacang dalam ember
dengan rapi. Dia terlihat tersenyum cantik dengan jilbab lebar yang menutupi
kepalanya.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">"Vino sudah seperti cucu Nenek
sendiri,mungkin karena Nenek jauh dari Abimu. Dia yang selalu merawat nenek
saat nenek sakit,dia sangat memperhatikan Nenek." senyum bahagia itu masih
tersungging dibibir nenek. Aku segera menghampirinya,memeluknya dari belakang.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">"Killa juga sayang Nenek. Ma'af ya
kalau Killa tak bisa menjaga Nenek." bisikku tepat ditelinganya. Nenek
membalasnya dengan senyum cantik.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Rasanya ingin selalu dekat dengan
Nenek,tapi aku harus bekerja di Jakarta. itu mengharuskanku menetap disana. Tak
tega rasanya membiarkan Nenek di desa ini hanya sendiri tanpa sanak
saudara,untung ada Vino yang mau memperhatikan Nenek.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">"Vino itu baik loh Kil,dia selalu
memberikan apa saja yang sekiranya Nenek butuhkan. Kamu berteman saja sama dia.
Ya meskipun dia non muslim,yang penting hatinya baik." ujar Nenek.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">"Iya Nek, Killa tau itu."
jawabku sembari tersenyum.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Sudah 4 hari ini Vino selalu di rumah
Nenek sampai sore,alasannya sich membantu Nenek. Tapi kulihat dia lebih banyak
mengusikku,diam-diam memperhatikanku,lalu mentertawaiku jika aku melakukan hal
bodoh. Ternyata dia adalah lelaki yang baik,asik,dan humoris. Aku semakin tau
siapa sosok Vino sebenarnya. Lelaki yang baik, perhatian, lembut, sopan, ramah,
dan...... Astaghfirullah hal'adziim, kenapa denganku ini.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">"Lusa Mbak Killa udah pulang
ya?" tanyanya pagi itu sewaktu mengantarkan susu.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">"Iya." jawabku datar.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Dia terdiam. Kulirik wajahnya. Ada raut
sedih dalam matanya. Dua hari lagi aku akan kembali ke Jakarta. Rasanya sangat
berat....meninggalkan Nenek, Desa ini, pegunungannya, sawah-sawahnya yang
indah, juga aku harus jauh dari Vin......hhuuuuuhhhhh,apa sih aku ini. Ya
Allah,semoga ini hanya perasaanku saja. Tak ingin aku mencintai lelaki yang tak
mencintai-Mu.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Hari dimana aku akan pulang pun tiba juga.
Namun tak kulihat Vino datang kemari di pagi itu. Aku menanti teman baruku itu
didepan pintu rumah,namun nihil. Sampai supir datang menjemputku pun tak
kulihat batang hidung Vino.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">"Jangan lagi kau tunggu
dia."kata Nenek mengagetkanku.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">"Maksud Nenek siapa ?" tanyaku
pura-pura linglung.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">"Siapa aja juga boleh." balas
Nenek genit. Aku cekikikan melihat gayanya.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">"Ini,Vino hanya menitipkan surat
ini untuk kamu." ujar Nenek seraya memberikan sebuah kertas berwarna pink
yang dilipat dengan rapi. Dengan penasaran aku segera membaca isi kertas
itu....</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<blockquote class="tr_bq">
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Teruntuk Akilla Azzahra..</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Aku telah jatuh hati padamu..</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Wajahmu membuatku tak mampu melupakan
cahaya yang terpancar indah dari sana..</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Apakah ini cinta ??</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Maaf.. Diam-diam aku memendam rasa ini..
Aku mengagumimu,Killa. Aku kagum akan keanggunanmu.. Aku kagum akan tutur
katamu yang indah.. Aku kagum pada senyummu yang penuh makna.. Aku kagum
kesetiaanmu pada yang kau percaya.. Aku sungguh kagum, Killa...</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Pagi ini kau akan kembali..</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Namun tak sanggup aku menyaksikan kau
pergi,,</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">ingin rasanya aku bicara tentang rasa
ini tepat dihadapanmu...</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Tapi agaknya aku tak berdaya..</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Dengan segenap rasa yang singgah
dihatiku,sudikah kau menjadi calon ibu dari anak-anakku ???</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Vino Cristiano</span></div>
</blockquote>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Aku tersenyum membaca surat pendek itu.
Hatiku sungguh bahagia. Namun aku tau jika ini hanya ujian hatiku saja,maka aku
tak ingin terpedaya oleh apa yang Allah tak suka. Sebelum aku pergi kutulis
surat balasan untuk Vino.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<blockquote class="tr_bq">
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">To :Vino Cristiano..</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Saya telah membaca suratmu...
Terimakasih untuk pernyataan itu... Aku ingin tetap setia pada penciptaku...
Maka aku akan melangkah bersama orang yang juga mencintai-Nya..</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Akilla Azzahra</span></div>
</blockquote>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Singkat. Cukuplah itu balasan yang
kukirim untuknya. Semoga dia tak tersinggung dan dapat mengerti dengan alasan
yang kupunya.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Lima bulanpun berlalu. Namun aku masih
belum bisa melupakan Vino. Rindu,aku merasakan itu. Aku sungguh merasa berdosa
pada-Mu,Ya Allah. Sungguhkah Kau sedang menguji hatiku ??</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Di sepertiga malam aku kembali memadu
romantisme dengan Sang Pencipta. Sakit, kerinduanku pada Vino membuat dadaku
begitu terasa perih. Aku rindu saat diam-diam dia memandangku, lalu mengalihkan
pandangannya saat aku menyadarinya. Aku juga rindu saat melihat dia menyuapi
Nenek,menghibur Nenek. Aku rindu senyumnya yang diam-diam membuat jantungku
berdebar saat melihatnya. Aku benar-benar merindukannya.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">"Ya Allah, jika suatu hari nanti
aku harus jatuh cinta,maka cintakanlah aku pada seseorang yang melabuhkan
cintanya pada-Mu, agar bertambah kekuatanku untuk lebih mencintai-Mu. Namun
agaknya hati ini telah Kau uji. Aku akan berusaha untuk mengatasi rasa ini, Ya
Allah... Demi cintaku pada-Mu, demi kesetiaanku pada-Mu, maka permudahkan itu,
Ya Allah. Izinkan aku mencintai ikhwan yang sekiranya dia mampu menjadi imamku
menuju keridloan-Mu. Hamba mohon dengan sangat...." tak terasa air mataku
menetes. Aku takut rasaku pada Vino membuat cinta Allah berkurang padaku,aku
benar-benar sangat takut akan hal itu.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Pagi ini hujan datang lagi. Dari kusen
jendela kamar kunikmati indahnya hujan yang mampu menentramkan hatiku. Kulihat
ada seorang lelaki berteduh di teras rumah. Sarung, baju takwa, dan peci yang
dipakainya membuatku menerka bahwa lelaki itu baru pulang dari pengajian yang
diadakan di masjid usai shubuh tadi. Namun aku tak mengenali sosok tubuhnya,
karena dia membelakangi pandanganku. Sepertinya tetanggaku tak ada yang seperti
itu. Lalu siapa ?? Aku segera keluar rumah untuk memastikan sosok itu.
Kuhampiri lelaki berbadan tinggi semampai itu untuk menghilangkan rasa
penasaranku.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">"Assalamu'alaikum, akhi."
sapaku agak sedikit takut.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">"Wa'alaikumsalam Warohmatulloh..."
jawabnya seraya membalikkan badan.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">DEG...!!!!! Jantungku seakan-akan lompat
dari tempatnya setelah melihat wajah itu. Vino, itu Vino. Bermimpikah aku ?
Atau mataku sudah mulai ada gangguan ??? Dia tersenyum manis.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">"Maaf Kil, tadi aku habis dari masjid.
Ternyata di jalan hujan, jadi aku numpang berteduh di teras rumah kamu."
jelasnya tanpa mengurangi senyumnya.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Dari masjid ??? Berteduh di rumahku ??.
Ngapain dia ke masjid ?? Kok dia tau rumahku?? Aku tetap terdiam ditempatku
berdiri dan tak mengeluarkan suara sedikit pun. Rasanya masih seperti tak
mungkin. Lalu sarung, baju takwa, dan peci yang dikenakannya ??? Banyak tanya
dalam otakku,dan aku tak sanggup menanyakannya. Rasanya bibirku mendadak keluh
di hadapan makhluk bernama Vino itu.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">"Kenapa kamu diam saja?"
tanyanya kemudian.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Aku hanya menggelengkan kepala. Terdiam
melihat Vino yang sibuk dengan sarungnya yang sudah basah kuyup.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">"Kamu tau rumahku?" akhirnya
mampu juga aku mengeluarkan suara.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">"Iya,Nenek memberikan alamat rumah
kamu."jawabnya ramah.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">"Sejak kapan kamu di
Jakarta?"lanjutku mirip polisi yang sedang menginvestigasi tersangkanya.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">"Tiga bulan yang lalu. Aku bekerja
disalah satu perusahaan swasta di Jakarta."</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Kembali aku melihat perubahan dari
penampilan Vino. dari atas kebawah,dari bawah keatas, kuperhatikan
penampilannya yang tak biasa. Vino tersenyum melihatku.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">"Aku sudah jadi muallaf, Kil."
katanya. Mendengar itu aku hampir tak percaya.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">"Apa ????" tanyaku memastikan
bahwa apa yang kudengar saat itu memang tak salah. Vino kembali tersenyum
padaku.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">"Iya, aku sudah menjadi
muslim." jawabnya.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">"Alhamdulillah......." aku
benar-benar bahagia mendengar itu.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">"Aku sadar bahwa hanya Allah lah
yang pantas untuk disembah." katanya.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">"Demi Allah,Vin. Aku ikut
senang."</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Selesai juga percakapan itu setelah
hujan reda. Vino harus kembali ke kostnya. Dan aku kembali dengan keheranan
keherananku selanjutnya. Vino yang sekarang adalah seorang muslim,inikah
jawaban dari doaku, Ya Allah ???.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Tiga bulan dia di Jakarta tapi tak
menghubungiku,kenapa ?? Apa rasa yang dulu sudah hilang dari hatinya ?
Tiba-tiba ada rasa khawatir di hatiku. Padahal tak perlulah aku memikirkan
itu,yang pasti Vino sudah menjadi seorang muslim saja aku sudah sangat
bersyukur.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Selang beberapa hari kemudian Vino
mengirim sebuah pesan pendek untukku..</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<blockquote class="tr_bq">
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Assalamu'alaikum wr wb..</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Akilla Azzahra..</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Tiga bulan aku telah memperhatikanmu
dari jauh... Memandang seseorang yang mungkin Allah takdirkan untukku.. Aku tak
tau dengan apa aku bisa pantas bersanding denganmu.. Namun aku mencoba,ukhti
Killa... Aku mencoba belajar islam seperti apa yang kau syaratkan.. Dan kau tau
apa yang ku temui,ukhti ???</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Keindahan...</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Keajaiban...</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Kasih sayang yang sesungguhnya...</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Dan Allah yang kusadari telah memberiku
hidup..</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Hatiku tergugah ketika untuk pertama
kalinya aku belajar membaca Al-Qur'an..</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Al-Ikhlas,surat itu yang membuat dadaku
sakit...</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Surat itu yang membuat aku merasa
menjadi makhluk penuh dosa...</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Surat itu yang membuatku merasa bahwa
memang Allah-lah Tuhanku yang sesungguhnya...</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Surat itu juga yang membuat hatiku
menyuruh lisan ini berucap syahadat...</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Kini aku telah mampu mencintai Allah,
sama seperti yang kau harapkan..</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Sungguh itu mengurangi cintaku
untukmu,,,</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Namun benar-benar hanya kau akhwat yang
singgah dihatiku,ukhti..</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Maka atas nama cintaku pada-Nya, kembali
kubertanya...</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Apakah kau bersedia menjadi istri dariku
??</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Ibu dari anak-anakku kelak ???</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Menantu dari orang tuaku ???</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Dan bidadari untuk dunia dan surgaku ???</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Semoga Allah menjodohkan kita,ukhti
Killa..</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Amiin Allahumma Amiin.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Wassalamu'alaikum wr wb,,</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Moch. Tajuddin Alvino</span></div>
</blockquote>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Aku bahagia membaca pesan itu. Pesan
singkat,namun kurasa terlalu panjang untuk kuanggap itu singkat. Aku menghela
nafas panjang. Bersyukur atas apa yang Allah berikan padaku. Bersyukur karena
Allah telah menjawab doaku dengan jawaban yang lebih indah. Dan yang pasti aku
bersyukur karena Allah mengizinkan Vino menjemput hidayahnya, dan itu bukan
karenaku,tapi karena firman-Nya...</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<blockquote class="tr_bq">
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Al-Ikhlas (memurnikan keesaan Allah)</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">1. Katakanlah : "Dialah Allah, Yang
Maha Esa".</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">2. Allah adalah Tuhan yang bergantung
kepada-Nya segala sesuatu.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">3. Dia tiada beranak dan tiada pula di
peranakkan.</span></div>
</blockquote>
<blockquote>
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">4. Dan tidak ada seorang pun yang setara
dengan Dia.</span></blockquote>
Ade Maulana Rahmanhttp://www.blogger.com/profile/06806462507728421518noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1563349201008104401.post-30207495961164458432013-06-04T05:15:00.001-07:002013-06-04T05:15:24.707-07:00Mencari senyum<br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh_Ye0Hlhlo3dkjB-h_EXmksiEZrEJzlwYrEbklp5dYvaaTmYWe4LSlvJX2CIPSFUH0tMUy11wQlRugaWkdj3NdcvcZeB6SLcTGdUkwzVZX00LDinDSfSlMEw9ZoVcnH6pRMskmnROjE5d7/s1600/images.jpg" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="149" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh_Ye0Hlhlo3dkjB-h_EXmksiEZrEJzlwYrEbklp5dYvaaTmYWe4LSlvJX2CIPSFUH0tMUy11wQlRugaWkdj3NdcvcZeB6SLcTGdUkwzVZX00LDinDSfSlMEw9ZoVcnH6pRMskmnROjE5d7/s200/images.jpg" width="200" /></a></div>
<br />
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Seorang lelaki tua dengan langkah
tertatih-tatih memasuki sebuah kota. Wajahnya kusut, matanya liar dan
pakaiannya kumal. Beberapa orang yang berpapasan dengannya segera menyingkir.</span>
<br />
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Di suatu tempat, di bawah sebuah pohon
setua dirinya, lelaki itu tersungkur. Perlahan ia mencoba bangkit dan kembali
memandangi orang yang lalu lalang di kota itu.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Lelaki Tua: “Tolong…! Tolonglah aku!
Tolong…!” (mengiba, mengulang-ulang perkataannya)</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Dua lelaki muda melintas di hadapannya.
Memandang sekilas kemudian menghampirinya. Lelaki tua itu terus
merintih-rintih. Beberapa orang lewat begitu saja tanpa peduli.</span></div>
<a href="http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=1563349201008104401" name="more"></a><br />
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Lelaki 1: “Ada apa, Pak? Ada apa?”
(memegang tangan, membimbing lelaki tua itu bangkit)</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Lelaki 2: “Ya, apa ada yang bisa kami
bantu?” (prihatin)</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Lelaki Tua: “Tolonglah saya. Tolong!
Saya…saya mencari sesuatu yang telah tak ada lagi di kota kami.”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Dua lelaki muda itu saling berpandangan
heran.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Lelaki 1: “Sesuatu yang tak ada lagi di
kota bapak?”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Lelaki Tua: “Ya…,aku mencari sesuatu
yang sangat berharga, yang tiba-tiba saja tercerabut dari wajah semua orang di
kota kami.” (manggut-manggut, sedih)</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Lelaki 1 dan lelaki 2: “Apa itu…?”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Lelaki Tua: (menerawang penuh harap)
“Sebuah senyuman.”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Lelaki 1 dan 2: “Senyuman?”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Lelaki 1: “Aneh. Bapak bilang bapak
mencari sebuah senyuman. Apa saya tidak salah dengar?”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Lelaki Tua: (menggeleng-gelengkan
kepala) “Ya, aku sudah berjalan begitu jauh, mencari sebuah senyuman.”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Lelaki 2: “Jangan bergurau! Semua
manusia diciptakan dengan wajah. Di dalam wajah kita, ada bibir yang bisa
digerakkan begini, begini dan begitu (menggerakkan bibirnya ke depan, ke
samping dan sebagainya dengan kesal).</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Lelaki 1: “Ya, bahkan orang segila apa
pun masih memiliki senyuman. Aku benar-benar tak mengerti. ”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Lelaki Tua: “Kalau begitu kalian
menganggapku lebih dari gila!? (sewot). Dengar, aku tidak mengada-ada! Semua
orang di kotaku sudah tak bisa lagi tersenyum! Titik!”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Lelaki 1 dan 2 saling berpandangan
kembali.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Lelaki 1 : (menarik napas panjang,
menggaruk-garuk kepala yang tak gatal) “ Baiklah. Sesuatu terjadi tentu ada
sebabnya. Mungkin aku pun telah gila, tetapi aku ingin tahu hal apa yang
menyebabkan penduduk di kota kalian tak bisa tersenyum?”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Lelaki 2: “Ya, apa ada orang-orang yang
berkeliaran dan menjahit semua bibir penduduk di kotamu, sehingga mereka tak
bisa lagi tersenyum atau membuka mulut untuk tertawa?” (mengejek)</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Lelaki Tua: (menggeleng, serius) “Tidak.
Bahkan jahitan-jahitan di mulut kami telah dilepaskan. Dulu memang penduduk
kota kami tidak bisa bicara, kecuali (mencontohkan) Hm…hm…(mengangguk-angguk),
tetapi kini, setelah jahitan-jahitan dilepaskan dari bibir kami, entah mengapa
bibir kami menjadi kebas. Kami bebas berkata-kata tetapi tak bisa lagi
tersenyum. Bahkan, bila kami mencoba untuk tertawa yang keluar adalah amarah,
tangisan dan airmata….”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Lelaki 2: “Aku tak mengerti. Aku
benar-benar tak mengerti. Lebih baik aku pergi daripada mendengarkan celotehan
orang gila ini!” (kesal dan berbalik akan pergi)</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Lelaki 1: (mengejar lelaki 2 yang
bergegas pergi) “Tunggu, teman! Tetapi…kurasa, entahlah…, ia datang dari jauh,
mungkin ia mengatakan yang sebenarnya, dan mungkin kita bisa kita menolongnya.”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Lelaki 2: (cemberut) “ Menolong?
Bagaimana menolong orang gila ini?”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Lelaki 1 bergegas menghampiri lelaki tua
itu.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Lelaki 1: “Katamu seluruh penduduk di
kotamu tak dapat lagi tersenyum?”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Lelaki Tua: (manggut-manggut):
“Ya…,ya….”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Lelaki 1: “Berarti kau juga?”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Lelaki Tua: (manggut-manggut lagi)
“Tentu saja!”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Lelaki 1 bergegas kembali menghampiri
Lelaki 2. Wajahnya lebih cerah.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Lelaki 1: “Dengar, lelaki tua itu
mengaku bernasib sama dengan seluruh penduduk di kotanya! Ia juga tak bisa
tersenyum! Tugas kita adalah menolongnya agar ia bisa tersenyum lagi! Nah,
setelah ia bisa tersenyum kembali, mungkin hal ini akan berpengaruh pada para
penduduk kota itu.”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Lelaki 2: (Bengong) “Jadi…kita harus
membuatnya tersenyum?“</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Lelaki 1: “Ya, tunggulah sebentar di
sini. Aku akan menyuruh orang membawa makanan dan minuman yang enak untuknya.
Siapa tahu ia akan tersenyum.”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Lelaki 2: “Tentu saja (setuju, yakin),
ia akan tersenyum dan berterimakasih pada kita.”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Lelaki 1 meninggalkan tempat itu. Lelaki
2 sesekali memperhatikan si lelaki tua. Wajah lelaki tua itu keras, dingin, dan
penuh curiga.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Tak lama, Lelaki 1, kembali bersama
seorang lelaki lain bergaya genit (lelaki 3) yang membawa baki penuh berisi
makanan dan minuman yang enak. Mereka meletakkan nampan besar itu di hadapan si
lelaki tua.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Lelaki 1: “Ini kubawakan makanan dan
minuman lezat. Nikmati dan tersenyumlah.”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Lelaki Tua: (memakan makanan dan minuman
itu dengan rakus) “Terimakasih….”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Lelaki 2: (menghampiri) “Mengapa kau tak
mengucapkan terimakasih sambil tersenyum pada kami?”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Lelaki Tua : “Sudah kukatakan, aku tak
bisa tersenyum!”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Lelaki 1,2,3 saling berpandangan.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Lelaki 2: “Aku akan menggelitik kakinya.
Biasanya bila digelitik, orang pasti akan tertawa!”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Lelaki 1 : “Ya, ya…, ide yang bagus!”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Lelaki 3: (bindeng) “Aih, ike juga
setuju!”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Lelaki 2 segera menggelitik kaki lelaki
tua itu, tetapi tak ada reaksi. Ia menggelitik sekujur badan orangtua itu.
Sia-sia. Lelaki tua tersebut tak juga tertawa. Akhirnya ketiga lelaki itu
menggelitik sekujur badannya secara bersamaan.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Lelaki Tua: “Aduh…aduh, sakit! Aduh
perih! A…duh!” (mengerang)</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Lelaki 1,2,3: (Terkejut, menghentikan
tindakan mereka) “Sakit? Perih?”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Lelaki 2: “Mengapa kau tak tersenyum?
Seharusnya kau tertawa! Orang akan tertawa bila kegelian!”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Lelaki tua: (melotot) “Aku tidak bisa,
tahu! Bodoh! Bukankah sudah kukatakan sejak tadi, aku tak bisa lagi tersenyum.
Jadi berhentilah melakukan hal yang konyol! Tolong aku, anak muda!”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Lelaki 1,2,3 berpandangan keheranan.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Lelaki 1: (bangkit) “Sebentar, aku punya
akal!” (pergi)</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Lelaki 2 dan 3 bangkit sambil memandang
lelaki tua itu sebal. Mereka bolak-balik di hadapan lelaki tua itu sambil
memikirkan cara membuatnya tersenyum. Sesekali lelaki 2 nyengir kuda melihat
gaya lelaki 3 yang centil. Tetapi lelaki tua itu sama sekali tak bergeming.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Lelaki 3 (bindeng): (berlari gembira
menghampiri lelaki tua itu) “Aih, aku punya dollar yang banyak! Kau mau?
Ambillah? Nih, ini! Semua menjadi milikmu!”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Lelaki Tua: “Untukku? Boleh.”
(memasukkan semua dolar ke sakunya).</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Lelaki 3 : (bengong, bindeng) “Mana
ucapan terimakasihmu?”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Lelaki Tua: “Terimakasih.” (datar)</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Lelaki 3: (kesal, bindeng) “Di
mana-mana, orang itu kalau dikasih bantuan, apalagi uang, matanya
berbinar-binar, hati menjadi girang dan ia akan tersenyum bahkan tertawa.
Bagaimana sih?”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Lelaki Tua: (cemberut) “Ngasih kok nggak
ikhlas. Sudahlah, tolong saja aku dan para penduduk kota agar bisa tersenyum
kembali….”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Lelaki 2 dan 3: “Huh!” (kesal)</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Tiba-tiba, lelaki 1 datang bersama
seorang badut yang lucu sekali. Badut itu menari-nari, menggerakkan kepalanya
ke kanan dan ke kiri. Sang Badut mengitari lelaki tua dan mencoba terus
menghiburnya.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Badut (jenaka) : “Apakabar, Pak tua?
Tralala trilili, aku pelucu, penghibur semua orang (tertawa-tawa), janganlah
takut!” (badut memamerkan berbagai aksi lucu)</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Lelaki 1,2,3 : (tertawa dan bertepuk
tangan melihat aksi badut)</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Lelaki tua itu menatap Sang Badut agak
lama, lalu di luar dugaan, ia malah menangis. Lambat laun tangisan itu berubah
isakan yang semakin kencang. Lelaki 1,2 dan 3 keheranan.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Lelaki Tua: ( Menangis, sedih sekali)
“Mengapa harus ada orang sepertimu? (menunjuk-nunjuk badut). Setelah tiga puluh
dua tahun kepedihan ini kau muncul dengan konyolnya.”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Lelaki 3: “Aih, apa maksudmu, Pak Tua!”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Lelaki 1: “Ya, bukankah seharusnya badut
dapat membuat orang tersenyum dan tertawa?”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Lelaki Tua: (menangis)“Sungguh, aku
telah melihat badut-badut bermunculan tahun ini di sepanjang jalan di kota
kami. Seolah mereka adalah pahlawan yang bisa mengurangi derita dan membuat
kami menyunggingkan senyuman. (mencoba berhenti menangis) Dengar! Kami hanya
bisa menertawakanmu dalam kegetiran terpencil di sudut sanubari kami. Kalian
tak bisa membodohi kami. Sebab kalian cuma badut! Bahkan bila kalian mengenakan
jas, dasi atau sorban sekali pun! Senyumku bukan untuk orang seperti kalian!”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Lelaki 2: “Oh, Tuhan! Aku tak mengerti!
Ia malah marah!”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Badut: (Kesal) “Ya, sudah. Lebih baik
aku pergi.”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Lelaki 1 dan 2 berpandangan bingung
sambil menggelengkan kepala. Lelaki 3 dengan centil melambai-lambaikan
tangannya pada Sang Badut.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Lelaki 3: “Aih, daaag, Om Badut!”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Suram. Ke empat lelaki itu termenung
sesaat.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Lelaki Tua: (berjalan,mencari,
mendamba)“Senyuman…,di mana senyuman itu? Aku ingin membawa berjuta senyuman
kembali ke kota kami…, senyuman…mana senyuman itu? Kehidupan kota kami bagai
mati tanpa senyuman….” (merintih sedih)</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Hening.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Lelaki 1: (berteriak) “Pak Tua! Hei, Pak
Tua! Sebenarnya siapakah yang mengambil semua senyuman dari kota kalian!?”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Lelaki 2: “Ya! Itu yang belum kau
ceritakan pada kami!”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Lelaki Tua: (mengernyitkan kening,
menggelengkan kepala, menerawang) “Aku tidak begitu pasti. Mereka para
penjarah.”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Lelaki 2: “Penjarah? Apa yang mereka
jarah?”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Lelaki Tua: “Apa saja. Harta, kedudukan
bahkan kehormatan. Mereka menjarah beras, gula juga perempuan. Mereka membakar
dan membuat onar. Memaksa kami menggigil karena takut dan lapar, setiap malam
dan siang. Mereka bermain-main dengan darah lalu tiba-tiba para ulama kami
mati. Kemudian tak ada lagi senyum yang bisa kami temukan. Semua senyum mereka
rampas, untuk mereka bagikan pada orang-orang gila yang kini berkeliaran di kota
kami…. “</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Hening lagi.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Tiba-tiba terdengar suara hiruk pikuk.
Lelaki-lelaki itu mencari arah datangnya suara dan terkejut melihat banyak
orang menuju ke arah mereka. Wajah orang-orang itu seperti mencari sesuatu.
Lelaki 1 segera menghampiri salah seorang di antara mereka.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Lelaki 1: “Siapa kalian? Darimana dan
hendak kemana?”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Orang 1: “Kami mencari orang-orang yang
bercahaya.”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Lelaki 2: (menghampiri) “ Orang-orang
yang bercahaya?Apa maksudmu?”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Orang 1: “Kami telah kehilangan
senyuman. Hanya orang-orang bercahaya yang bisa mengembalikan senyum kami.”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Lelaki Tua : ( tersentak,
tergopoh-gopoh) “Jadi kalian juga seperti aku? Hidup tanpa senyuman?”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Orang-orang itu mengangguk-angguk.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Lelaki Tua: “Dan hanya orang-orang yang
bercahaya, yang bisa membuat kita kembali tersenyum?”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Orang 1: “Ya.”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Lelaki 2: “Siapa mereka? Di mana
mereka?”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Orang 1: “Entahlah. Kita bisa jelas
mengetahui, ketika kita melangkah di jalan cahaya….”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Lelaki Tua: “Melangkah di jalan cahaya?”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Orang 1: “Ya, melangkah di jalan
cahaya!”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Orang-orang itu mengangguk-angguk dan
segera berlalu dari hadapan mereka. Tiba-tiba lelaki tua menyusul. Ia berlari
ke arah orang-orang itu.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Lelaki Tua: “Aku ikut! Cahaya! Cahaya!”
(berlari meninggalkan ketiga lelaki yang tampak bingung).</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Lelaki 3: “Aih, masak sih senyuman
begitu susah dicari. Sampai harus menuju cahaya segala. Lihat nih (pada lelaki
2), senyumku manis kan?”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Lelaki 2: (melompat, terbelalak) “Itu
bukan senyuman! (pada Lelaki 1) Teman, lihatlah, seringainya! Menyeramkan!”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Lelaki 3: (bingung, mencoba tersenyum,
tetapi yang tampak seringai yang mengerikan)</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Lelaki 1: “Benar! Kkkau menakuti kami!
Seharusnya kau tersenyum. Lihat senyumku, ini…”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Lelaki 3: (takut) “Aih, tolong!!
Senyummu membuatku takut! Toloooong!” (lari meninggalkan Lelaki 1 dan Lelaki
2).</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Lelaki 2: “Berhenti tersenyum! Kau
menyeramkan. Nah, lihat senyumku (mencoba tersenyum, tetapi kaku) “A…apa yang
terjadi…, a…aku tak bisa tersenyum….”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Lelaki 3: (memegang bibirnya) “A…aku
juga…,mengapa bisa begini? Apa yang…sebenarnya terjadi?”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Panik.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt;">Lelaki 1 dan 2: (sedih, bingung)
“Senyuman…, di mana senyuman? (mencari, melangkah tak tentu arah) Cahaya…,
cahaya… di mana cahaya? Senyuman…senyuman… di mana senyuman…? Cahayaaaa!??
Senyumaaaann!?? Senyumaaaan!?? Cahayaaaa!??”</span></div>
Ade Maulana Rahmanhttp://www.blogger.com/profile/06806462507728421518noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1563349201008104401.post-20531120373163416122013-06-04T05:09:00.000-07:002013-06-04T05:09:04.759-07:00The Rainbow in Memories<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjUzsRBUIUppnRi5SG6oo1DjlHeCPd0uZnR_lxIClDrUXeTXMajR5cJHjdCAaDB3DWkWEfo9vytzwBsY8IOat48b8Fhara92Ii3PzdQBPV_uYG3LbWJ9g0-nIWWOFmjIBDwMszat_NuY692/s1600/rainbow.jpg" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="193" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjUzsRBUIUppnRi5SG6oo1DjlHeCPd0uZnR_lxIClDrUXeTXMajR5cJHjdCAaDB3DWkWEfo9vytzwBsY8IOat48b8Fhara92Ii3PzdQBPV_uYG3LbWJ9g0-nIWWOFmjIBDwMszat_NuY692/s320/rainbow.jpg" width="239" /></a></div>
<span class="userContent">Sebuah rasa yang
tak mampu ku tafsirkan,dalam sebuah angan berharap hadirmu menjadi
warna. Menorehkan segores tinta dalam secarik kertas putih. Terimakasih
karena hadirmu memberi alur dalam sepenggal episode cerita hidupku. 11
tahun sudah kita berpisah, masih tersimpan rapi rinduku
disini”dibawahnya te<span class="text_exposed_show">rtulis nama hanna
dan tanda tangan dengan inisial huruf H didepanya, dia melipat kertas
itu menjadi sebuah pesawat terbang dengan penuntun hati yang menjadi
pilot pesawat kertas itu. terbang oleh angin yang bertiup lembut,
selembut nestapa rindu membalut kalbu.</span></span><br />
<span class="userContent"><span class="text_exposed_show"></span></span><br />
<a href="http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=1563349201008104401" name="more"></a><span class="userContent"><span class="text_exposed_show"><br /> 21 Januari 1998<br />
Dibesarkan bukan di keluarga sendiri. Ah, itu tidak masalah karena hidup
adalah pilihan. pernah suatu kali hanna merindukannya tapi bukankah itu
hanya ilusi karena yang dia tau hanya bunda bukanlah ibu yang
mengorbankan nyawanya demi dia. Teruntuk perempuan yang mengizinkan
hanna menyipi sebagian dari dunia, jangan khawatir. Doa untukmu selalu
terselip dalam setiap munajat hanna meski ia tak tahu bagaimana dan
seperti apa sosok itu.<br /> Hanna duduk di daun pintu jendela kamarnya
sambil menikmati suara apik melly goeslaw yang ada dibalik radio usang
itu, hanna menyadari keberadaan alfan dibelakangnya namun dia tetap
acuh. Alfan membuka pembicaraan. “hanna..”hanna meletakkan telunjuknya
pada bibir alfan berharap alfan diam sebentar saja, sampai lagu ini
selesai.<br /> “ibu”hanna masih menundukkan kepalanya.<br /> “han, kuncirmu lepas”<br /> Hanna menyentuh rambutnya yang acak-acakan tanpa kuncir. “emang sengaja kok, aku nunggu kamu buat nguncir rambut aku”<br />
“dasar manja!”alfan melangkah mundur mengambil sisir yang tak jauh dari
lemari hanna, alfan menyisir rambut tebal hitam sebahu itu.<br /> “enggak, aku gak manja”<br /> “kalo gak manja apa coba? Manja, manja,manja, manja” alfan terus mengulang kata itu.<br /> “menyebalkan! Keluar dari kamarku”hanna mendorong tubuh alfan keluar dan mengunci pintu kamar dari dalam.<br /> “han, han, hanna”<br /> 22 Januari 1998<br />
Alfan menutup mata hanna. “aku tau ini alfan, sudahlah”hanna
menghempaskan tangan alfan kasar.“au..”rintih alfan. “sakit ya? Maaf
fan. Sebelah mana fan, yang sakit”hanna panik dengan nada bersalahnya ia
terus meminta maaf.<br /> “iya han... sakiittt, sakiittt banget”ucap
alfan namun tidak segera menunjukkan sisi sakitnya kemudian, “ini”alfan
meletakkan tangan hanna diatas dadanya. “jangan marah lagi sama aku,
sakit kan jadinya”ucap alfan yang memecah tawa hanna.<br /> “heii.. heii.. kembalikan sisirku”<br /> “hahaha, ini maksudmu?”alfan mengeluarkan sisir hanna yang disimpanya di saku celananya, “sisir jelek aja dicariin”ledek alfan.<br /> “dasar kamu, masih aja nyebelin. Hha, kalau kata kak dinda nih, limited edition”<br /> “nanti kedengaran orangnya bisa bahaya loh”<br /> “terus___”<br /> “nantang nih anak”<br /> “hha, ampun bos. Fan ajari aku berhitung”<br />
“oke, gini” alfan menggunakan jari jemarinya untuk mengajari hanna
dengan sabar sampai hanna benar-benar mengerti dan bisa. Alunan
burung-burung yang bertengger pada dahan cemara kian meramaikan suasana
mereka. Suara yang merdu dipadukan bersama seperti paduan suara dalam
sekolah sayang hanna belum sekolah, umurnya masih terlalu dini tapi
semangat belajarnya terus berkobar. Melalui alfan dia belajar berhitung,
dia belajar tentang warna dia belajar semuanya tentang segala sesuatu
dari alfan. Apa yang alfan ketahui dari hasil sekolahnya dan hanna
menangkap dengan cepat. Hanna memang cerdas.<br /> 3 Februari 1998<br />
hanna, lihat”dengan bangga alfan memperlihatkan gambarnya, kepala yang
berbentuk bulat, dua kaki yang sejajar dan dua tangan yang berjari.
Cukup sempurna memang, untuk anak seusia dia. “ini aku dan keluarga aku”<br /> “kamu mau pergi ya?”<br /> “enggak, aku akan selalu ada disini. Buat kamu hanna”<br /> “tapi.?”hanna menatap wajah alfan sejenak, “tapi, bunda bilang ada keluarga yang ingin mengangkat kamu sebagai anaknya ”<br />
“hanna”alfan menarik hanna dalam dekapannya. Matanya yang hitam
seketika berubah, matanya berkaca dan mengalir bulir bening dari pelupuk
matanya. “aku yakin kamu gadis yang kuat, meski tanpa aku. I hope it's
worth it, what's left behind me... I know you'll find your own way when
I'm not with you...” ucap alfan lirih.<br /> “hanna, alfan. sudah
sore”tiba-tiba suara bunda memecah kesunyian mereka. Hanna mencoba
mencerna kata-kata alfan, dia tersenyum kecil sambil mengusap pipi alfan
halus.<br /> “ayo!”Alfan menggenggam erat jari-jari hanna. Melangkahkan kaki pelan untuk memperlambat waktu senja yang telah menjingga.<br /> 11 Februari 1998<br /> “bunda, bunda”<br /> “iya, sayang”<br /> “alfan mana?”hanna menggeret paksa tangan bunda ke kamar alfan yang berada disamping kiri ruang tamu.<br />
“tadi pagi, alfan dijemput orangtua angkatnya. Kamu sabar ya.. masih
ada oca, naila, haikal dan anak-anak lain yang akan menemani kamu”bunda
mengelus rambutnya dengan sayang meski ia tahu hanna bukan anak
kandungnya. “ada titipan dari alfan. Sini, biar bunda yang pakaikan
kalung itu”<br /> Raut kesedihan tak mampu disembunyikan, hanna berlari ke
rumah pohon yang dibangunya bersama alfan. Menempel lumut pada
dindingnya yang hanya terbuat dari kayu sisa perbaikan Panti menandakan
usianya tak lagi muda.<br /> Mengupas kenangan bersamanya sama hal nya
dengan mengupas kulit bawang, airmata tak pernah tertinggal bukan
berarti jahat semua itu pasti mempunyai alasan dan alasanya untuk
mendapatkan hasil terbaik dari setiap kulit yang terkelupas. Hanna masih
terduduk dibawah Pohon Beringin, menikmati semilir angin yang
berhembus. Pandanganya masih tertuju pada pesawat kertasnya yang belum
terlalu jauh namun telah jatuh, seorang lelaki berpakaian rapi lengkap
dengan dasi dan sepatu hitam mengambilnya mendahului hanna dan dengan
lancangnya membuka lipatan-lipatan itu. hanna bangkit, mendekat.<br /> Hanna berkacak pinggang, “anda ini siapa, kenapa anda membuka hak yang bukan milik anda?”<br /> “hanna..”suara lelaki itu sedikit parau, matanya menatap lekat hanna.<br />
“iya, saya hanna. Mana?”setelah merebut pesawat itu, hanna melipat
kembali kertas yang berhasil dibuka oleh lelaki tersebut. hanna
melangkah pergi dengan pandangan sinis.<br /> “tunggu!”suara itu menghentihkan langkah hanna.<br /> “apalagi?”<br /> Lelaki itu memegang kedua pundak hanna, spontan hanna melepaskan.<br /> “kamu sekarang sudah dewasa, semakin cantik dengan hijab yang membalut rambutmu yang dulu kau kuncir”<br /> Hanna menyipitkan matanya menyelidik, alisnya yang tebal saling mendekat. Membuka tanda tanya yang diberikan lelaki itu.<br /> “aku alfan, kamu masih ingat sama aku kan han?”<br />
“hah? Alfan?“sumeringah di wajahnya terlihat jelas “alfan, siapa
ya?”hanna melipatkan tanganya diatas dada dan menaik-turunkan jari
telunjuknya, “ohh.. alfan yang pergi tanpa pamit dan meninggalkan hanna
sendiri, alfan yang pergi saat hanna pulas tertidur, alfan yang
menitipkan surat dan sebuah kalung kepada bunda padahal hanna gak butuh
kalung, hanna cuma butuh teman yang biasanya membetulkan kuncir hanna
saat karet itu mulai melentur dan putus lalu menggantikanya dengan karet
gelang yang selalu melingkar di tangan hanna”kata-katanya mengalir
tanpa celah menunjukkan kekesalan hatinya.<br /> “iya, iya, iya. maafin aku ya han.. kamu masih menyimpan kalungnya?”<br />
Hanna mengeluarkan sebuah kalung dibalik hijabnya dengan liontin yang
berbentuk hati“udahlah semua udah berlalu, aku yakin kamu juga pasti
punya alasan untuk semua ini toh.. sekarang kamu juga kembali lagi
sesuai dengan isi suratmu. Emm.. Aku ada kabar baik nih fan”<br /> “Apa?”<br /> “aku dapat beasiswa fan”<br /> “wah.. selamat. Kamu emang hebat, ambil jurusan apa?”<br />
“insya allah, jurusan kedokteran sesuai dengan cita-cita yang aku tulis
dulu di rumah pohon kita. gimana? Pasti kamu sekarang sudah jadi
pelukis sukses”<br /> “tidak han, apa yang aku inginkan berbanding
terbalik setengah derajat. Aku kuliah di bisnis management, keluarga
baruku ingin melanjutkan bisnisnya di kantor yang sudah turun-temurun
itu tapi aku tak pernah absen dengan dunia lukis. Aku selalu mengunjungi
galeri lukis, tak jarang juga aku melukis kenangan-kenangan kita dalam
sebuah kanvas dan syukurlah orangtua angkatku tak pernah melarangku
untuk hal ini. Oh ya.. rumah pohon kita?”<br /> “itu, itu rumah pohon kita”hanna menunjuk pada pohon beringin yang menjadi tempat berteduhnya tadi.<br /> “mana han, gak ada”<br />
“dasar oneng, kita bangun rumah itu saat usia 3 tahun dan bukankah kini
usia kita 18 tahun? Eh,salah itu usiaku. Usiamu? entahlah”<br /> “seventeen boleh, hahaha. Eh.. hari ini tanggal 8 november ya?”ucapnya mengingat, “tanggal lahir kamu han”<br />
“iya”hanna nyengir dan mengembangkan sebiah senyuman, “fan, boleh.. aku
minta satu hadiah dari kamu”ivan menggangguk. “satu hadiah yang sangat
aku inginkan. gak bakal ninggalin aku lagi kayak dulu, janji..”hanna
mengangkat jari kelingkingkingnya.<br /> alfan mengaitkan jari
kelingkingkingnya pada jari kelingking hanna. “tapi maaf han, aku gak
bisa janji. Setiap jiwa yang hidup pasti akan kembali pada sang kuasa.
Anggap saja aku seperti pelangi, meskipun hanya datang sesaat namun
meninggalkan jejak yang begitu indah, i love you. ”<br /> hanna segera
mengusap buliran buning yang mulai membentuk sungai kecil di pipinya.
hanna tertunduk, “love you too. You never be changed in my heart”suara
lembut itu membisik pelan di telinga alfan.<br /> tiba-tiba gerimis
datang. Mungkin karena mereka juga ingin merayakan kebahagiaan yang
tertunda itu tapi tidak, bukan bahagia melainkan sebuah tangisan. Alfan
melajukan sepeda motornya dengan kecepatan sedang dan sebuah mobil sedan
hitam yang berlawanan arah sukses menjatuhkan alfan, hanna dan juga
ninja hitam alfan. kepala alfan yang saat itu tidak memakai helm
langsung menghantam aspal.<br /> “alfan, bangun fan..”hanna memeriksa
denyut nadinya yang terasa amat lemah dilanjutkan dengan pertolongan
pertama sederhana. Menekan dadanya perlahan untuk memancing reaksi dari
detak jantungnya.<br /> Tak lama kemudian matanya membuka.<br /> Dia tersenyum.<br /> Syahadat terakhir terucap sempurna dan pada detik itu pula nadinya kian melemah, tarikan nafasnya memberat. Dan.....<br />
“alfaaaaaan....” dia telah menghadap sang kuasa meninggalkan hanna
lagi, meninggalkannya untuk selamanya. “innalillaahiwainnailaihiraaji<wbr></wbr><span class="word_break"></span>’uun”kekasih
setia adalah kematian, semoga allah menempatkannya disisinya yang
sempurna. Mungkin takdir hanna bukan bersama alfan, semuanya akan indah
pada waktunya dan jika yang terjadi saat ini masih pahit itu berarti
allah sedang mengujinya untuk berproses menuju kebahagiaan. Sama seperti
yang dikatakan alfan, kenangan-kenangan itu akan selalu menjadi pelangi
dalam memori hanna.<br /> <br /> Note: Rasa, rasa yang begitu indah itu
membawaku untuk lahir, menuangkan sebuah pikiran dalam bentuk cerpen dan
inilah hasilnya. Memang bukan karya yang sempurna. Semuanya masih
sederhana. Ku harap kalian bisa memberikan saran yang dapat membangunku
untuk bangkit dan menciptakan karya lagi. Sekali lagi thanks before.</span></span>Ade Maulana Rahmanhttp://www.blogger.com/profile/06806462507728421518noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1563349201008104401.post-73980805324231597482013-06-04T05:06:00.003-07:002013-06-04T05:06:57.507-07:00Hujan akhir november<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgik3XqyqpPbY52pVnuHvOqOwLQOD87qQAl7O1rLjH7tXbJUDYk7WjNV0ftgdVIFomohn7TeAuBtNfVeKX8nZrT363STRuoFS1DK5uGm99SJR4ONQzJqSS9k7KwJUiVzGDaiVsP5MH5njvm/s1600/images.jpg" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="130" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgik3XqyqpPbY52pVnuHvOqOwLQOD87qQAl7O1rLjH7tXbJUDYk7WjNV0ftgdVIFomohn7TeAuBtNfVeKX8nZrT363STRuoFS1DK5uGm99SJR4ONQzJqSS9k7KwJUiVzGDaiVsP5MH5njvm/s320/images.jpg" width="173" /></a>Hujan akhir november ini, kau tahu? Betapa hal ini membuatku
bahagia. Mungkin juga selama hidupku. Ada kisah yang amat menyenangkan
di akhir bulan ini. Di sana terkandung sebuah kisah yang tak henti-henti
ku syukuri. Kisah yang belum pernah aku mengalaminya. Dan kau, adalah
pelengkap yang nyata kisah termanis itu.<br />
<br />
<a href="http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=1563349201008104401" name="more"></a><br />
Pagi
itu, pagi yang terasa hambar, ibarat sayur tanpa garam. Hanya saja
sebuah melati yang bermekaran di pekarangan rumah, cukup lumayan
menemaniku. Antara sejuknya pagi dan basahnya embun. Ku lihat
samar-samar bayangmu, ya, cuma bayangmu. Tak lebih dari itu. Karena ku
tahu, kau tak mungkin datang kesini menemaniku. Kau seperti temali yang
terjerat waktu. Tak bisa apa apa, dan tak sanggup melawannya lantas
menemaniku.<br />
<br />
Oh tidak, tidak mungkin kau menemaniku
walaupun waktu tidak menjeratmu. Ya, ya, aku tahu, kau adalah manusia
yang ku rindu, namun kau sendiri tak merasakan hal itu. Oh ya, kan ku
ceritakan secara detil semua perasaanku terhadapmu. Perasaan yang
bertahun tahun ku pendam tanpa sepengetahuan orang, apalagi semacam
dirimu.<br />
<br />
Tahukah kau? Sejak dulu memang aku ada rasa
denganmu--rasa cinta lebih tepatnya. Sejak pertama aku memandangmu,
sejak dahan-dahan dan ranting-ranting masih basah oleh air embun. Begitu
sudah lamanya aku begitu, tentu saja hal itu hanya aku yang tahu.<br />
<br />
Dulu,
aku tak pernah merasakan seperti itu, rindu yang membara. Cinta yang
membahana. Yang terpikirkan olehku hanyalah bermain dan bermain. Namun,
ternyata benar. Filosofi orang-orang. Mereka benar adanya. Jika
seseorang beranjak dewasa, ia akan mengenali apa itu cinta, apa itu
rindu. Hukum alam yang tak akan tergantikan. Ah, hal ini benar-benar
terjadi padaku. Membelit pada permukaan hati dan mendesaknya. Seperti
terjerat.<br />
<br />
Kau mungkin takkan pernah tahu, bahwa pagi itu,
hari sabtu, aku sangat linglung. Mirip orang kesambet jin pendiam.
Hari-hari hanya memandangi melati. Karena setiap kali ku melihat melati
itu, aku selalu dan selalu terbayang wajahmu--yang cantik itu.
Memandang dengan mata sayu. Terkatup katup lamban. Mirip bunga mawar
kurang siraman air. Hari itu aku--merasakan puncak kerinduan. Dan
berfikir, mengapa kau tak lekas bisa membaca pikiranku?, tak lekas
mengerti arti penantianku.<br />
<br />
Takkah kau kenal arti bahasa
penantian? Atau tak mau mengenalinya? Coba saja kenal, pasti kau akan
merasa iba terhadapku yang mirip pengemis. Terlunta-lunta. Ingin sekali
kau sumbangkan taburan cinta itu padaku. Tapi kau, benar-benar tak
kenal. Maka, sekalipun kau tak akan pernah mengerti bahwa aku, pengemis
cinta.<br />
<br />
Baru kali ini aku merasakan serindu-rindunya.
Ternyata, rindu itu sakit, buat hati gelisah tak tentu arah. Apalagi
mencoba tersenyum terasa tak mudah. Aku mondar-mandir, kesana-kemari.
Menggigit jemari, kadang juga pulpen. Tak terasa sekali, aku sudah
mengenalimu dua tahun silam. Serasa baru kemarin kita mengenalkan diri
di depan kelas sebagai murid baru madrasah Aliyah. Serasa baru kemarin
saja aku tatap matamu untuk pertama kalinya.<br />
<br />
Dua tahun
aku menyimpan rasa itu, bayangkan! Betapa aku tak ingin rasa cintaku
berlari kemana saja jika ku mau, tak ingin cintaku tergadaikan ke orang
selainmu. Dua tahun, jika kita merasa itu kesedihan, maka akan terasa
lama. Lama sekali. Telur rindu tak kunjung terpecahkan olehmu.<br />
<br />
'' I don't wanna fall in love but you.''<br />
<br />
Kau
memang pendiam, namun kependiamanmu keterlaluan. Hingga tak mampu
membaca suara hatiku. Cobalah. Kau pandangi aku lekat-lekat. Jangan
buru-buru lewat. Kau akan menemukan segenggam mutiara cintaku. Betapa
itu ingin sekali kurasa. Ingatkah kau? Disaat ku memberimu beberapa
surat berisi puisi-puisi, segenggam melati serta senyum pasti. Tapi kau
menganggap itu soal remeh temeh. Tak perduli. Meski kau menyimpan puisi
itu. Namun tetap saja kau tak bisa membaca pikiranku bahkan tak mau.<br />
<br />
Aku
mengagumimu. Iya, benar. Seperti orang-orang mengidolakan artis
kesukaanya. Kaulah ibarat guru. Memberi teladan tentang ilmu-ilmu tata
bicara. Diam mengagumkan, bicara lebih mengagumkan. Itu mungkin prinsip
yang tertera di kehidupanmu. Mengajariku arti sebuah diam dan tak
pernah bicara soal cinta. Ironisnya, aku tak suka hal itu. Sebab, saat
itu aku ingin sekali engkau membuka pembicaraan tentang cinta. Serta
lekas dapat membaca setiap urat nadiku adalah tentangmu. Tapi kau tetap
diam, bahkan membisu.<br />
<br />
Kau tak pernah bilang kalau aku
ini sahabatmu, juga tak pernah bilang aku ini kekasih atau apalah. Kau
memang pendiam, namun aku ingin sekali kau bicara. Oh ya, apa kau malu?
Apa kau takut?<br />
<br />
''you know? I am weak without you''<br />
<br />
Sepuluh
menit kemudian, aku tetap saja mondar-mandir. Dan hampir saja aku
putus asa. Meninggalkanmu yang acuh tak acuh terhadap cinta. Namun, ada
hal yang membuatku curiga. Apa yang aku cintai darimu? Sehingga dua
tahun telah berlalu, aku bertahan di antara cinta yang bertepuk sebelah
tangan, diantara gejolak rindu. Aku mulai berpikir, meski tempurung
kepalaku terasa panas.<br />
<br />
Dan jawabnya adalah, aku mencintaimu karena aku sendiri tak tahu maksudku.<br />
Tak
perlu lagi ku tafsirkan kata-kata di atas. Kerena ku sudah tak sanggup
mengatakannya panjang lebar. Mulutku terlanjur kelu. Meski begitu, aku
masih menyimpan pertanyaan. Kok ada orang sepertimu? Tak mengenali
cinta.<br />
Telah lama aku berfikir tentang bagaimana agar engkau
mengerti, biar cintaku ini tak termakan api. Biar cintaku ini tak
memudar. Tapi lagi-lagi aku tak kunjung-kunjung menemukan ide itu.<br />
<br />
¤<br />
<br />
Se-jam kemudian, entah ada angin apa, sebuah ide tak di duga-duga, muncul menyalang menyergap otakku<br />
Aku teringat apa kata kak iqball rapper indonesia.<br />
<br />
''jika
kau merasakan cinta pada seseorang, maka ungkapkanlah, entah orang itu
menerima atau tidak, yang penting kau sudah berani ungkapkan dan itu
akan membuatmu lebih mengenal cinta. Serta tidak akan membuat hatimu
sakit selanjutnya''<br />
<br />
Aha, iya benar, aku harus ungkapkan
dengan jelas. Dengan lisan yang jelas. Aku baru sadar, selama ini aku
mencintaimu dengan isyarat dan kau tak mengerti isyarat itu.<br />
<br />
Besoknya--
atau hari ini, hari jum'at. Aku menemuimu, dan apa jawabmu? Itulah
yang mengejutkanku. Selama ini aku tak menyangka sekali, ketika ku
katakan cinta padamu, di depan matamu. Kau hanya memandangku konyol.
Namun aneh, buku diarymu terjatuh. Lempiran-lempiran itu berterbangan
di terjang angin mendung.<br />
Kau tak bisa menjawab dengan kata-kata,
hanya anggukan saja. Aku berbenah diri, mengambil kertas-kertas yang
berterbangan. Betapa hal itu membuatku bahagia. Mungkin seumur hidupku.
Karena tertera jelas disana;<br />
<br />
"Aku mencintaimu, tapi
hatiku tak sanggup mengatakannya, sungguh tak sanggup. Hanya ku pendam
saja, barangkali kau tahu. Aku mencintaimu sejak dulu, dua tahun yang
lalu, dan aku, malu membuktikannya"<br />
<br />
Seperti tersambar
petir, seluruh tubuhku pyar-pyar. Gelombang seperti menerjangku
kuat-kuat. Merasakan betapa engkau juga merasakan hal yang sama. Selama
ini aku salah sangka, benar-benar salah sangka. Kau ulurkan tanganmu
dan aku menyentuhnya, memegangnya. Betapa halus dan lembut. Dan di
benakku, aku menyalahkan diriku, mengapa kita tak saling mengadu cinta
sejak dulu. Mungkin kau juga menyalahkan dirimu.<br />
Langit mulai
menumpahkan air. Gerimis ini persis sekali di surga-surga. Gerimis yang
mengundang cinta. Lama-lama gerimis itu berubah hujan, hujan yang
belum pernah aku temukan. Hujan yang penuh kasih sayang.<br />
<br />
"And now, i am very love the rain."<br />
<br />
Dan
kau tahu? Hujan akhir november ini, mengakhiri rasa rinduku padamu.
Dan akan membuka lembaran-lembaran baru kisah hidup yang akan ku lalui
bersamamu, bersama cintamu.Ade Maulana Rahmanhttp://www.blogger.com/profile/06806462507728421518noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1563349201008104401.post-87340769554125730962013-06-04T05:06:00.000-07:002013-06-04T05:06:07.663-07:00Ketika Persahabatan berubah jadi cinta<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEieFz6zgdM-ch9X2G50bMntmYHnXg1ZcFxCmDD8KiNzEARF9XkQmKw-deay1AxmdIvXyn_z-hLL8Ml2vzwzFb1-Y6Jq_nchAQQ-RMLA3PRq1tNZxHzeubdDMLhMyMa7wDaAvjgLcq2JlubW/s1600/sahabat+cinta.jpg" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="200" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEieFz6zgdM-ch9X2G50bMntmYHnXg1ZcFxCmDD8KiNzEARF9XkQmKw-deay1AxmdIvXyn_z-hLL8Ml2vzwzFb1-Y6Jq_nchAQQ-RMLA3PRq1tNZxHzeubdDMLhMyMa7wDaAvjgLcq2JlubW/s200/sahabat+cinta.jpg" width="184" /></a></div>
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">Terik matahari ini menembus kulit,
menyengat perlahan, seolah-olah membakar kulitku. Dengan gegapnya aku mengambil
sepeda miniku dan segera aku kayuh menuju jalan pulang ke rumah.. saat itu aku
berada di bangku Sekolah Menengah Pertama. Sekolahku tak jauh dari rumah. Hanya
berjarak kurang lebih 1-3 kilo. Saat itu hari pertamaku masuk sekolah. Disana
banyak sekali hal baru yang aku temukan, terutama TEMAN. </span><br />
<a href="http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=1563349201008104401" name="more"></a><br />
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">Banyak sekali
perbedaan –perbedaaan kecil yang kurasakan. Dan sepertinya aku harus belajar
lebih bersosialisasi dengan orang di sekitarku, terutama teman-teman satu
kelasku. Keesokan harinya aku kembali kesekolah, seperti biasa, aku
beraktifitas layaknya anak sekolahan lainnya. Aku juga berteman dengan banyak
anak. Salah satunya adalah Nayla. Sebut saja Nay. Nayla adalah teman sebangku
ku, aku kenal dia karena ternyata rumah dia dengan rumah saudara ibuku
berdekatan, jadi aku lebih dulu mengenal Nayla, walau tak sedekat sekarang...</span>
<br />
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">Aku dan Nayla hampir seperti anak kembar. Karena menurut
beberapa teman, wajah kita hampir sama, bahkan guru-gurupun juga bilang
demikian. Tapi aku dan Nay menanggapinya dengan senyum.Nayla anaknya baik, dia
walaupun agak tomboy, tapi seru dan kocak abis...</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">Bel pulang sekolah berbunyi...</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">Teng..Teng.. Teng...</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">“Tyaaaaaaaaaa.......................... </span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">tunggu aku, .........!!” Terdengar salah seorang perempuan
memanggilku dari arah parkiran sepeda.....</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">“ada apa Ria ???”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";"> Ternyata si Ria. Dia adalah temen kecilku. Aku
sahabatan dengannya dari mulai kita SD.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">“Barengan dong,,,”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">“Ok...”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">Aku pulang dengan Ria, di tengah perjalanan ada Sarah yang
sengaja menyusul kita dengan terburu-buru...</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">“ehh dasar kalian yaa... aku di tinggal...” tegur si Sarah
dengan nada Be-Te ..</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">Dia adalah Sarah. Temen sekelasku yang kebetulan satu desa
dengan si Ria.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">“uuppppsss .. maaf lah Sarah.. kita kira kamu uda pulang
duluan ?” Jawabku dengan mencoba menenangkan hati Sarah..</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">“ya gk lah,,, aku nunggu kalian tau ???”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">“ya sudah,, ayo kita pulang,,, ”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">Kita bertiga pun pulang...</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">Hari pun berlalu.. hingga akhirnya aku menemukan teman
laki-laki yang tengah akrab denganku. Dia adalah Rama. Rama anaknya rame,
gokil, dan selalu membuat aku tertawa bahagia jika bersama dia.. Aku dan Rama
menjadi dekat, karena kebetulan kita berdua 1 kelas, dan dia duduk di bangku
tepat di belakangku, jadi tak ada satupun cela yang dapat menghalangi
kebersamaan kita untuk berbincang-bincang atau sekedar bersenda gurau dengan
kapanpun kita mau. Hingga aku begitu tahu banyak tentang diri Rama begitu juga
sebaliknya.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">Pernah, suatu ketika aku merasa, kalau aku harus membuat
sebuah hubungan dekat dengannya... Akhirnya aku SAHABATAN dengan Rama. Aku dan
Rama sahabatan dari sejak kelas 7. Persahabatan kita berjalan indah. Layaknya
kakak-beradik. Maklumlah tinggi badanku tak setara dengan dia. Dia lebih
mempunyai tinggi badan yang bagus dari pada aku.. hehehheee...</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">Semuanya berlalu begitu indah... Hingga aku mengikuti
salah satu Ekskul di sekolah. Yaitu aku mengikuti keanggotaan
Kepramukaan. Aku tidak tahu, kenapa aku lebih semangat kalau pada waktu Ekskul
yang satu ini aku selalu paling bersemangat untuk ingin mengikutinya. Pada saat
itu aku dan Rama menduduki kelas 8 Sekolah Menengah Pertama. Hubungan ku
dan Rama mulai agak renggang. Aku tak begitu tau penyebabnya apa? Hingga
panggilan sayangku ke dia juga lama kian lama, menjadi tersebar luas ke orang
lain, seperti kakak kelas kita. Terutama anak anggota Pramuka. Aku mulai
penasaran dengan sikap anehnya Rama... </span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">Hingga suatu ketika aku menjumpai dia bersama adik kelas
kita, sebut saja namanya Sita. Aku kebetulan juga mengenalnya, karena aku dan
Sita dulunya pernah satu SD. Aku melihat keakraban mereka begitu dekat. Canda
tawa itu, adalah canda tawa yang slama ini ku rindu dari sosok Rama padaku.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">Sejak saat itu hatiku terasa ingin mengatakan sesuatu, namun
tak mampu untuk mengungkapnya dengan kata-kata, aku mulai merasakan sakit yang
aneh pada diriku, seperti rasa yang tidak terima akan kenyataan kalau Rama
bercanda tawa berduaan, ketawa lepas, dengan selepas-lepasnya....</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">Usiaku terlalu muda, untuk mengenal sebuah JATUH CINTA. Apa
itu CINTA dan bagaimana itu CINTA ?? aku masih belum begitu mengenal dalam
tentang arti CINTA. Tapi yang aku tahu, hati ini meragu, hati ini pilu, hati
ini terasa begitu sendu, ketika Rama menjauh dariku...</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">Apa aku salah ????</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">Tapi dimana letak kesalahanku ??</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">Atau aku lagi dilema?? </span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">Karena saat ini aku sedang dirundung kepada dua pilihan...</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">Haruskah aku menyelamatkan Persahabatanku demi Rama, atau
berkorkan Perasaanku, dengan memutuskan persahabatanku dengan Rama.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">Sebuah pilihan yang bagiku sulit untuk diputuskan dengan
segera. Karena bagiku, Rama adalah Sahabatku, aku menyayanginya hingga seperti
kakak kandungku sendiri. Namun angin apa yang mengubah semuanya, aku juga tak
begitu tahu, tiba-tiba... akhir-akhir ini aku sering melamunkannya,
merindukannya, sdan merasakan sakit ketika melihatnya berdua dengan anak-anak
perempuan, walaupun hubungan mereka sebatas teman dengan Rama.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">“Aku gak tahu Rama, apa yang harus aku lakukan.. kian hari,
kulihat kau semakin bahagia diluar sana tanpa aku.. apa kau telah melupakan
aku. Aku sahabatmu Ram, aku yang mengerti keadaanmu... aku yang selalu ada
ketika kau dalam suasana apapun... Tapi entah mengapa, sekarang kau tak ada
kabar? Tak ada seorang Rama yang ku kenal dulu? Aku kehilanganmu Ram... Dan aku
sangat merindukanmu...” bisikku dalam hati...</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">1tahun berlalu..</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">Hingga akhirnya aku berada di detik-detik akhir dari
masa-masa SMPku... Dan perasaan itu masih saja tersimpan rapi di hatiku. Aku
tak tahu apa ini masih bisa disebut sebuah perasaan CINTA
??????? </span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">Rama terus menjauh dariku, apalagi sejak kepergian
ibundanya... Aku pun ikut merasakan kesedihan yang dialami Rama saat itu... </span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">Tapi aku tahu Rama adalah anak yang kuat, dia penuh
semangat. Keadaan dia yang kini sangat berbeda dengan Rama yang dulu,
penampilannya pun tak se menarik dulu. Yah, mungkin karena dia cenderung belum
bisa menerima kepergian ibunya...</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">Hingga suatu ketika, Rama tiba-tiba menyapaku.. Aku dan dia
kembali berbincang-bincang, layaknya dulu awal persahabatan kita, namun apa
yang kurasa, mengapa ku dirundung rasa yanng aneh ketika aku dekat dengannya,
menyentuh tangannya, dan menatap matanya...</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">Mengapa hati ini seolah-olah berbicara, berbicara akan semua
hal yang dulu terkubur rapi di dalam.. sesungguhnya perasaan apa ini ???
Mengapa belum juga hilang perasaan aneh ini?? Sampai kapan, aku juga tak
tahu...</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">Namun disisi lain, aku sangat bahagia.. SAHABATku yang dulu
kembali... aku menemukan SAHABATku yang dulu lagi... Haruskah aku mengungkapkan
semua yang selama ini terjadi pada hatiku, setelah sekian lama terpendam? Atau
kubiarkan saja, hingga sang waktu yang akan menjawab kegundahan hatiku ??</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">Aku tak tahu,,,</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">Mungkin aku hanya percaya takdir, semua akan indah pada
waktunya....</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">Hingga suatu ketika, aku dengar Rama memanggil salah satu
cewek yang tengah berada di dekatnya...</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">“Sayang... kenalin.. ini Septya.. Sahabatku...” </span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">“Dan Tya, kenalin.. dia Fatmah, pacarku...” </span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">Sontak, bibirku mlongo, bak tersambar petir di siang bolong
???</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">Akupun menjulurkan tanganku sembari membalas senyum cewek
manis yang berada di sebelah Rama itu. Dia adalah pacar Rama...</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">Ampun TUHAN... Kenyataan apa lagi yang harus aku terima,
sekarang... haruskah aku tetap berdiri tegar, melihat kebahagiaan sahabatku
bersama orang lain ????</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">Haruskah aku benar-benar mengubur dalam perasaan ini
terhadap Rama, yang masih utuh, hingga kini???????</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">Ataukah aku masih harus memperjuangkan Hatiku dan menyakiti
hati cewek itu ?</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">Sungguh tak mungkin TUHAN... </span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">Yang harus ku terima adalah kebagiaan ini, kebahagiaan Rama,
Fatmah, dan Kebahagiaan hatiku yang selalu melihat sorot mata itu menjadi
berbeda ketika bersama orang lain??</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">...............................................</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">SELESAI </span></div>
Ade Maulana Rahmanhttp://www.blogger.com/profile/06806462507728421518noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1563349201008104401.post-40441098026861992362013-06-04T05:03:00.001-07:002013-06-04T05:03:55.640-07:00Cinta yang terdustai<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgE2sO-pHrM9yRd-hr7gxJmOUTtiq94SxeLQ0YzdSpTCM3SLheCgY0pn7LrdldsEefnsqNbcQi-wj4zsN1tJkZAPMISPzrUhyphenhyphenJx64ZqCLQVcTVZq469VY5gu5pXQpWExSNTfYViV3H8cIAQ/s1600/dusta+cint.jpg" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="150" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgE2sO-pHrM9yRd-hr7gxJmOUTtiq94SxeLQ0YzdSpTCM3SLheCgY0pn7LrdldsEefnsqNbcQi-wj4zsN1tJkZAPMISPzrUhyphenhyphenJx64ZqCLQVcTVZq469VY5gu5pXQpWExSNTfYViV3H8cIAQ/s200/dusta+cint.jpg" width="200" /></a></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 12.0pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">
Ajaran tahun baru pun dimulai, di suatu sekolah yang bernama SMP *pipp*
berkumpul anak-anak kelas 7 baru yang ingin bersekolah di SMP itu. Di sekolah
itu terdapat ketua osis yang bernama Jesica Anastasia atau yang sering di
panggil Chika. Ia anak yang cantik, ramah, humoris, baik dan disenangi
teman-temannya. Namun hanya satu kekurangannya, dia kurang bisa memilih lelaki
yang benar untuk mendapatkan cintanya . Menjelang tahun ajaran baru, ia pun
sibuk mempersiapkan acara MOS untuk anak-anak kelas 7 dengan di bantu oleh
rekan-rekannya yang mengikuti osis. Acara MOS berlangsung dengan lancar dan
tanpa ada halangan satupun.</span></div>
<a href="http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=1563349201008104401" name="more"></a><br />
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: center;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 12.0pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">Hari-harinya pun di lalui dengan biasa. Pada saat istirahat
disebuah taman, vivian bercerita pada chika<br />
<br />
“Eh chik, elo udah tau belum kalau ada anak kelas 7 yang suka sama gue. Haha
lucu ya ada anak kecil yang suka sama gue.”<br />
<br />
“Hah? Yang bener lo? Haha bagus deh akhirnya elo ada juga yang suka.” Chika
tertawa senang.<br />
<br />
“Seneng lo heh ngetawain gue?”<br />
<br />
“Hehe becanda vi, abisnya lucu banget”<br />
<br />
Dengan muka mesemnya vivi pun lanjut bercerita (walaupun dalam hati sebenarnya
dia udah pengen nelen si chika ) ,<br />
<br />
“Iya-iya deh. Oh ya chik, elo udah tau belum kalau ada kakak kelas kemarin yang
nanyain elo?”<br />
<br />
Chika termenung lalu berkata, “Hah siapa? Kok gue gak tau?”<br />
<br />
“ Makannya elo gaul dong, kalau pulang sekolah jangan langsung pulang ke rumah
tungguin anak-anak SMA dulu lah biar beken. :p”<br />
<br />
“Males ah gue, lagian gak penting tau nungguin anak SMA, mendingan langsung
balik. Eh iya emang siapa yang nanyain gue?”<br />
<br />
“Elo tau Steven anak kelas 11 ipa kan? Dia kemarin yang nanyain elo”<br />
<br />
“emm gue gak tau hehe. Nanyain apa emangnya?”<br />
<br />
“Nanyain tentang elo pokoknya. Trus dia kemarin pesen ke gue, elo di suruh
tunggu dia di taman belakang pas istirahat nanti. Elo pokoknya harus dateng,
kalau gak gue bisa di suruh nelen bola basket.”<br />
<br />
Dalam hati chika sebenarnya penasaran siapa sih Steven Steven itu. Akhirnya ia
memutuskan untuk menunggunya di taman belakang pas waktu jam istirahat.<br />
<br />
“Teng.. teng.. teng..” Jam istirahat pun tiba. Chika tidak ikut bersama
teman-temannya melainkan lebih memilih ke taman belakang.<br />
<br />
“Chik, elo mau ke kantin gak?” Tanya riko.<br />
<br />
“emm gak deh rik, gue gak laper” jawab chika<br />
<br />
“ok deh, gue ke kantin ya dadah chikchicken haha” kata riko sambil mencubit
hidung chika<br />
<br />
“eh sialan lo!!! Awas kalau ketemu lo”<br />
<br />
“weeee haha :p”<br />
<br />
Dengan hati kesal dia beranjak ke taman belakang. Di sana terdapat satu bangku
yang biasa di duduki oleh anak-anak yang sedang malas ke kantin. Namun tidak
biasanya taman belakang sekolah yang sering ramai itu sekarang sepi sekali,
disana hanya terdapat seorang cowok yang sedang duduk sambil memandang ke arah
pepohonan. Dalam hati Chika penasaran dengan cowok itu, apakah dia yang bernama
Steven? Dengan ragu-ragu diapun menghampiri cowok itu. Lalu menyapanya ..<br />
<br />
“Hai.. “<br />
<br />
Cowok itu pun kaget karena tiba-tiba di sapa oleh suara perempuan (dia kira
kuntilanak)<br />
<br />
“eh hai ! Chika ya?”<br />
<br />
“Kok kamu tau namaku?”<br />
<br />
“tau dong, siapa sih yang gak kenal sama cewe yang palin beken di sekolahan
ini.” Kata cowok itu sambil tersenyum. Terlihat lesung pipi meghiasi wajah cowo
tampan itu.<br />
<br />
Dengan pipi bersemu merah, chika pun menjawab.<br />
<br />
“ah kamu bisa aja, aku gak terkenal kok di sekolah ini. J oh ya kamu itu
steven?”<br />
<br />
“Kamu belum tau aku? Parah banget kamu belum tau aku, aku itu cowo paling
ganteng di sekolah ini masa kamu gak tau aku ?” kata steven sambil
menyombongkan diri.<br />
<br />
Chika tertawa, “wooo, pede gilaa kamu haha mana buktinya kamu cowo paling
ganteng di sekolah? Kok aku tak tau? :P”<br />
<br />
“haha dasar ndeso ya kamu, masa tak tau aku ini ? :p”<br />
<br />
Perkenalan pun berlanjut hingga mereka menjadi dekat. Pada suatu malam dalam
perkenalan yang singkat, Steven menyatakan cintanya pada Chika. Chika yang
awalnya sudah menyukai steven akhirnya menerima cinta cowok berparas cucok itu.<br />
<br />
Hari-hari dilalui oleh chika dan steven sangat bahagia. Namun dibalik
kebahagiaan itu tersimpan suatu kebohongan yang sangat besar. Ternyata steven
yg di panggil epen itu masih mencintai mantannya yang bernama Sylvia. Sylvia
yang mengetahui bahwa chika sudah berpacaran dengan epen pun tak tega melihat
chika di permainkan seperti itu. Dan suatu hari sylvia pun bercerita pada
chika.<br />
<br />
“ Maaf ya dek, bukannya kaka mau ngerusak hubungan adek dengan Epen, tapi kamu
memang harus tau yang sebenarnya.”<br />
<br />
“ Memang ada apa kak dengan Epen? Sepertinya ia biasa-biasa saja.”<br />
<br />
“ Coba kamu lihat sms ini<br />
<br />
SMS pertama : “syl, aku masih sayang kamu syl. Aku mohon kamu balik lagi ke
akuL”<br />
<br />
SMS kedua : “Aku cuma sayang sama kamu, setiap aku ngeliat chika aku pasti
langsung inget kamu. Aku ga sayang sama chika syl. L”<br />
<br />
Dengan mata yang berkaca-kaca chika melanjutkan membaca pesan yang berasal dari
epen untuk chika itu. Sangat kejam epen memainkan hatinya.<br />
<br />
“Udah kak aku gak kuat lagi ngeliatnya.”<br />
<br />
“maap ya adek, bukannya kakak mau ngerusak hubungan kamu dek. Maafin kakak ya
adek sekali lagi.”<br />
<br />
“ini bukan salah kakak kok. Udah kakak gausah minta maaf sama adek. Makasih ya
kak udah tentang ini sama adek. ”<br />
<br />
Chika tetap tersenyum walaupun sebenarnya dalam hati ia menangis. Lalu ia
selalu bersikap cuek kepada Epen jika bertemu ataupun di sms/ telp. Sampai pada
suatu hari Epen mencegat chika.<br />
<br />
“kamu kenapa sih ngejauh dari aku?”<br />
<br />
“gak kenapa-kenapa” masih dengan sikap cueknya chika menjawab.<br />
<br />
“ jujur sama aku kamu kenapa chika?!!”<br />
<br />
“jangan bodo-bodoin aku lagi pen! Kamu kira aku gak tau kamu di belakang aku kayak
gimana? Kamu pacaran sama aku cuma karena untuk pelarian aja kan? Udah kamu
ngaku aja, aku udah tau semua. Jahat banget kamu sama aku pen. Tega kamu bikin
aku kayak gini.”<br />
<br />
“jadi kamu udah tau semua? Maaf bukan maksud aku jadiin kamu pelarian aku
sayang kamu chik”<br />
<br />
“ udah kamu gausah bohong lagi sama aku. Sakit hati aku, sekarang kita putus
aja.” Sambil menangis chika pun beranjak pergi. Epen tidak mengejarnya karena
tahu kalau chika butuh waktu untuk sendirian.<br />
<br />
6 bulan kemudian..<br />
<br />
Hari demi hari mereka lalui, tak terasa chika telah memasuki masa-masa SMA.
Namun ada satu permasalahan, epen masih menghantuinya. Sebenarnya dalam hatinya
ia masih menyimpan rasa yang besar pada lelaki itu, ia sangat mencintai lelaki
itu. Namun apa boleh buat lelaki itu telah menyakiti hatinya.<br />
<br />
Pada suatu hari chika sakit keras, ia di fonis dokter mengalami kanker tulang.
Epen yang mengetahuinya langsung mencari chika untuk meminta maaf atas kesalahan
yang pernah ia lakukan dulu. Namun semua tlah terlambat chika sudah terbaring
lemas tak berdaya di kamarnya, chika hanya menitipkan sepucuk surat untuk epen.
Hati epen hancur, dia merasa tak berguna karena selama ini tlah menyia-nyiakan
orang yang dia sayang. Lalu dibuka surat itu, isinya :</span></div>
<br />
<blockquote class="tr_bq">
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 12.0pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">“ Heyy .. Steven hartanto J apa kabar ?? kamu baik” saja kan
hehe jangan bersedih ya kalau gak ada aku, aku akan selalu ada di samping kamu
kok. Lanjutkan hidupmu jangan berhenti sampai disini . Aku menyayangimu, walau
kamu dulu pernah menyakiti aku. Aku sebenarnya gak pernah marah sama kamu, aku
udah maafin kamu dari dulu cuma aku ga ngomong itu sama kamu . Tetap jadi epen
yang aku kenal dulu ya, jangan pernah berubah kalau berubah aku marah sama kamu
lho. Hehe jangan nangis ok. Sudah dulu ya aku mau istirahat dulu, capek
nih haha semoga kita bisa bertemu kembali ya. Oh ya aku lupa, tolong jaga
paopao kita jangan sampai rusak. I love you steven hartanto, always. You’r my
everything.:*</span></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: right;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">Love,</span></div>
<div align="right" class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: right;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">Jesica
anastasya.</span></div>
</blockquote>
<br />
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";"><br />
Steven menangis dalam hati, dia menyesal kenapa dulu ia menyia-nyiakan
perempuan yang benar-benar mencintainya. Berat bagi ia untuk melupakan
perempuan yang pernah mengisi hari-harinya dengan penuh kebahagiaan, chika tak
pernah menyakiti dia. Tapi malah dia yang menyakiti chika dengan menjadikan
perempuan itu pelarian cintanya. Walaupun chika sudah tiada tapi steven tetap
melanjutkan hidupnya seperti yang chika pesan di surat itu dan terus bersama
paopao, boneka teddy yang dulu ia pernah berikan untuk chika.<br />
<br />
Pada saat ia berada di taman belakang sekolah tempat dulu ia bertemu dengan
chika, ia tak sengaja berkata,<br />
<br />
“ I miss you hunbie. I always love you. Thanks for your love and your
care. I’m sorry if i make you sick. You’re my everything . “ kata Steven
sambil menitikkan air mata.</span></div>
Ade Maulana Rahmanhttp://www.blogger.com/profile/06806462507728421518noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1563349201008104401.post-46868047058358139132013-06-04T04:59:00.000-07:002013-06-04T04:59:02.675-07:00Kekasih Pertama Davia<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"></span>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"><br /></span></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi8Shgl4gYYsJYOjSAPX_MZPoj4FlAeUx9EEU8kvMSvz9QRZZsyi95Df6V5W1KqaABUWGTOJTomwCVIZJ-ntQCs3uxMFpJ14SlgEo-cQ925Q7gOihZAK_quyZhNRzrykgo-Q7mkM0Jd7Kv-/s1600/unduhan+%282%29.jpg" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi8Shgl4gYYsJYOjSAPX_MZPoj4FlAeUx9EEU8kvMSvz9QRZZsyi95Df6V5W1KqaABUWGTOJTomwCVIZJ-ntQCs3uxMFpJ14SlgEo-cQ925Q7gOihZAK_quyZhNRzrykgo-Q7mkM0Jd7Kv-/s1600/unduhan+%282%29.jpg" /></a></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Sore itu hujan turun.
Terlihat air yang turun dari langit, lalu mengalir dari atas genting dan
kemudian turun ke bumi. Bunga-bunga di depan rumah basah, begitu pula
rumput-rumput disekitarnya. Tapi beruntung hujan kali ini sudah sudah reda.
Hanya terlihat rintik-rintik air yang turun.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Davia menyandarkan
kepalanya dikursi dekat jendela. Sedari hujan turun, ia terus memandangi keluar
jendela. Tak sepatah katapun keluar dari mulutnya. Hanya terdiam dan terdiam.</span></div>
<a href="http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=1563349201008104401" name="more"></a><br />
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Tiba-tiba terdengar
suara hanphone berdering dari maja dekat Davia duduk. Suara handphone itu
memecahkan lamunan Davia. Ia segera meraih hanphone-nya. Rupanya satu pesan
telah ia terima.</span></div>
<blockquote class="tr_bq">
<i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Vi,
nanti kita ketemu di taman jam 7 malam,
ya? Aku tunggu, loh! Aku pingin kasih kamu sesuatu. Malla.</span></i></blockquote>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Rupanya pesan itu dari
Malla, sahabat Davia.</span></div>
<blockquote class="tr_bq">
<i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Iya.
Tapi ada apaan sih La? Kamu mau kasih apa ke aku?</span></i></blockquote>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Davia membalas pesan
Malla. Namun sampai satu jam kemudian Malla tidak membalas pesan Davia. Davia
jadi penasaran. Kira-kira apa, ya yang akan dikasih oleh Malla? Sahabatnya yang
satu ini memang suka memberi kejutan.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Pernah ketika Davia
berulang tahun, ia dikerjain habis-habisan oleh Malla. Malla memang jago kalau
soal urusan sureprise.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Waktu sudah menunjukkan
pukul tujuh kurang lima belas menit. Davia masih mempersiapkan diri untuk pergi
menemui Malla di taman.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Vi, kamu mau kemana?”
Tiba-tiba seorang laki-laki lantas membuka pintu kamarnya. Dan ternyata ia
adalah mas Danang, kakak Davia.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Mau ke taman kota,
mas. Tadi Malla SMS aku. Katanya aku suruh kesana.”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Oh, iya sudah
hati-hati. Ingat! Jangan pulang malam-malam.”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Iya, mas. Bawel
banget, sih”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Davia segera pergi
menemui Malla di taman kota.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Sesampainya di dapan
taman kota, Davia berhenti sejenak. Sepintas ia seperti melihat sesosok
laki-laki yang ia kenal. Tapi entah siapa dia, Davia tidak bisa mengingatnya.
Karena sudah tidak sabar mengetahui surprise apa yang akan diberikan oleh
sahabatnya, Davia segera menemui Malla.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Davia mencari-cari
dimana posisi Malla. Dan pada akhirnya Davia menemukan sahabatnya itu. Davia
segera menghampiri Malla.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Hai, La! Kamu mau
kasih aku sureprise apa lagi sih? Kebiasaan, deh!” tanya Davia penasaran.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Sini! Duduk Dulu! Tapi
kamu janji jangan marah, ya?” Davia semakin dibuat penasaran oleh Malla.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Malla terlihat sedang
mencari seseorang. Apapun yang dilakukan Malla, Davia benar-benar tidak
mengerti. Davia terlihat asyik dengan jus apel yang telah dibelikan oleh Malla.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Tiba-tiba Malla tersenyum
manis sambil menunjuk kearah belakang Davia. “Itu dia orangnya.”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Davia mengangkat
wajahnya dan menoleh ke arah Malla. Setelah itu Davia menoleh ke arah belakang.
Davia benar-benar terkejut ketika melihat sosok laki-laki memakai jaket biru,
celana jeans panjang. Davia kaget dan kemudian berdiri memandangi laki-laki
itu.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Hai, Vi!” sapa
laki-laki itu.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Vi, sesuatu yang mau
aku kasih ke kamu itu ya ini.” Ucap Malla.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Davia tak dapat berkata
apa-apa setelah melihat laki-laki itu. Namanya Farel. Ia adalah mantan pacar
Davia. Mereka berdua sudah putus dua tahun yang lalu. Farel meninggalkan Davia
karena Davia jarang ada waktu untuk Farel. Davia jarang menemui Farel karena
kegiatannya di sekolah sebagai pengurus OSIS dan setelah pulang sekolah Davia
kursus melukis. Meskipun begitu, Davia tetap menunjukkan perhatian dan kasih
sayangnya pada Farel. Sedangkan Farel sendiri disibukkan dengan kegiatan yang
merupakan hobinya, yaitu sepakbola.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Hubungan mereka harus
berakhir karena adanya pihak ketiga yang hadir merusak hubungan mereka. Namanya
Anggun. Dia selalu dekat dengan Farel ketika di kelas. Hingga akhirnya Farel
merasa jatuh hati pada Anggun. Parahnya, Farel lebih memilih Anggun daripada
Davia karena Anggun selalu dekat dengan Farel.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Setelah setahun
kelulusan, akhirnya mereka bertemu lagi karena ulah Malla yang sengaja
mempertemukan mereka berdua. Padahal saat itu Davia nyaris melupakan masa
lalunya itu walau tidak seratus persen. Malla pun meninggalkan mereka berdua
agar mereka bisa berbicara dengan leluasa.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Farel memegang tangan
Davia. Farel menatap Davia dengan penuh harapan. Davia pun masih terdiam
membisu seolah tidak mengerti dengan apa yang terjadi. Mata Davia berkaca-kaca
ingin menangis.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Vi, aku ingin bicara
sama kamu. Aku ingin minta maaf sama kamu karena aku sudah ninggalin kamu demi
mendapatkan belaian dari seorang kekasih. Aku tau kamu sayang banget sama aku,
Vi. Aku minta maaf sama kamu. Dan sekarang aku ingin kita kembali sama kamu.
Aku janji Vi gak akan sia-siakan kamu lagi.” Dengan itu, Farel memberanikan
diri untuk berkata bahwa ia ingin kembali pacaran lagi dengan Davia.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Perlahan-lahan air mata
Davia menetes. Dalam ingatannya saat itu adalah teringat akan masa-masa dimana
Farel selalu membuat Davia sakit hati dengan terus memperlihatkan kedekatannya
dengan Anggun. Dan Farel tidak sedikitpun mempedulikan Davia. Namun saat itu
teringat pula kenangan-kenangan indah bersama Farel ketika mereka masih
bersama. Kata-kata cinta dan sayang yang selalu terucap dan tercurah diantara
mereka dulu. Hati Davia terasa sakit malam itu.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Davia memeluk Farel.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Farel, Davia kangen
sama Farel. Tapi Davia tidak tau apakah Davia siap kembali lagi sama Farel.
Davia sayang banget sama Farel.” Davia melepas pelukannya. Ia meneruskan
kata-katanya.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Farel, kamu gak tau
gimana rasanya jadi aku yang di duakan, Rel. Kamu gak tau gimana perasaanku
ketika kamu bilang ingin memutuskan hubungan kita. Padahal aku sayang banget
sama kamu, Rel. Tega, ya kamu. Dan kamu gak tau apa yang ...”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Belum sempat meneruskan
kata-katanya, Farel menempelkan jari telunjuknya ke bibir Davia. Farel memotong
kata-kata Davia.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Dan aku tau apa yang
sudah kamu korbankan untuk aku, Vi. Malla sudah cerita semuanya ke aku. Bahkan
selama ini kamu menahan perasaanmu pada orang lain demi menunggu cintaku
kembali, Vi. Maafkan, aku, Vi!” Farel memeluk Davia. “Aku mohon beri aku
kesempatan untuk memperbaiki kesalahanku, Vi!”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Aku gak bisa jawab
sekarang, Rel.” Davia melepaskan pelukan Farel dan pergi meninggalkan Farel di taman
itu.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Diperjalanan pulang
Davia teringat akan apa yang telah terjadi dengannya tadi. Tiba-tiba Farel
datang dan memohon kembali kepada Davia. Sakit di hati Davia belum terobati
karena ulah Farel. Davia tidak bisa melupakan apa yang telah Farel perbuat pada
dirinya.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Sesampainya dirumah,
Davia langsung masuk menuju kamarnya. Ia melempar tasnya dan merebahkan diri di
ranjang tempat tidur. Air mata Davia masih tetap mengalir. Yang ia ingat malam
itu adalah masa pacarannya dulu dengan Farel, masa dimana Farel menyakiti
Davia, dan peristiwa malam itu.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Tiba-tiba handphone
Davia berdering. Dua pesan telah ia teriama. Pesan tersebut dari Malla dan
Farel</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;">
</div>
<blockquote class="tr_bq">
<i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Farel.</span></i><i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Vi,
maafkan aku. Aku yakin kamu masih sayang sama aku, Vi. Beri aku kesempatan, Vi.
Satu hal yang harus kamu tau. Aku akan menunggu jawabanmu.</span></i></blockquote>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Dan satu lagi pesan
dari Malla.</span></div>
<blockquote class="tr_bq">
<i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Malla.</span></i><i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Vi,
gimana tadi kamu sama Farel? Kalian pasti balikan, kan? Aku tau kamu kan masih
sayang sama Farel.</span></i></blockquote>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Tak satupun dari dua
pesan itu yang dibalas oleh Davia. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Davia merasa lelah
dengan perisatiwa malam ini. Akhirnya ia tertidur pulas bersama buku diary-nya.</span></div>
<blockquote class="tr_bq">
<i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Dear
diary.</span></i><i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Di,
hari ini aku lelah. Aku benar-benar lelah.</span></i><i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Sahabatku
Malla telah mempertemukan aku dengan Farel, pacar pertamaku sekaligus mantan
pacar pertamaku. Kamu sudah tau dia, kan, Di.</span></i><i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Farel
berkata padaku bahwa ia ingin kembali lagi padaku. Katakan padaku, Di! Apa yang
harus aku lakukan, Di? Aku memang masih sayang padanya, Di. Tapi rasanya hatiku
masih sakit ketika teringan oleh apa yang pernah ia lakukan padaku.</span></i><i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Aku
bimbang, Di.</span></i></blockquote>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Itulah yang ditulis
Davia dalam buku diarynya.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Hari ini adalah hari
minggu. Davia sendirian dirumah. Mas Danang pergi bersama Mbak Laras, pacarnya.
Sedangkan mama dan papa Davia pergi ke rumah sakit mengunjungi temannya yang
sedang sakit. Tapi Davia memutuskan untuk tidak keluar pada hari itu.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Kegalauan masih
menyelimuti hati Davia karena peristiwa semalam. Selera makan hari itupun tak
ada dalam diri Davia. Davia sedari pagi hanya terdiam. Mondar-mandir, kesana
kemari, berpindah tempat duduk sesuka hati.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Rindu melanda hati
Davia. Ia sebenarnya ingin memberi kesempatan Farel. Namun Davia ragu. Davia
mengambil handphone di kamarnya. Ia mengirim pesan untuk Farel.</span></div>
<blockquote class="tr_bq">
<i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Davia.</span></i><i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Temui
aku jam tiga sore ditempat tadi malam.</span></i></blockquote>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Beberapa menit
kemudian, balasan pesan dari Farel telah ia terima.</span></div>
<blockquote class="tr_bq">
<i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Farel.</span></i><i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Iya,
Vi. Aku pasti datang.</span></i></blockquote>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Waktu terus berjalan
hingga akhirnya menunjukkan pukul tiga kurang sepuluh menit. Davia segera
mempersiapkan diri untuk menemui Farel. Davia pun berangkat.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Sesampainya di taman,
Davia berhenti berjalan dan menatap sosok laki-laki yang akan ia temui, Farel.
Davia dengan perlahan-lahan berjalan menghampiri Farel sambil menatap Farel
dalam-dalam. Ketika sampai tepat di depan Farel, Davia pun masih terdiam.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Hai, Vi!” Farel
memulai membuka percakapan diantara mereka.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Farel, maafkan aku karena
selama ini aku jarang mendekatimu. Aku terlalu sibuk dengan urusanku dan aku
juga terlalu membiarkanmu jarang menemui aku. Tapi kamu juga harus meminta maaf
padaku karena hal yang sama, Rel.” Ucap Davia secara perlahan-lahan. Air mata
Davia perlahan-lahan keluar.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Mereka masih saling
bertatapan. Kemudian Farel memeluk Davia.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Farel berkata, “ Iya,
Vi. Aku minta maaf. Aku janji gak akan menyia-nyiakan kamu lagi, Vi. Kamu yang
terbaik buat aku, Vi. Aku sayang kamu.”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Aku juga sayang kamu,
Rel.”</span></div>
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;"><br clear="all" />
</span>
<br />
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Davia melepas pelukan
Farel. Farel pun mengusap air mata yang mengalir di pipi Davia. Kemudian Davia
memegang tangan Farel.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Davia berkata, “Rel,
kamu tau, kan bahwa aku sayang banget sama kamu?”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Farel menjawab, “Iya,
Vi.”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Kemudian Davia bertanya
lagi pada Farel. “Rel, kamu tau, kan aku masih mengharapkanmu?”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Dan Farel menjawab,
“Iya, Vi, aku tau itu.”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Kamu janji gak akan
sia-siakan aku lagi?”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">“Aku janji, Vi. Jadi,
kamu mau balikan sama aku, Vi?” tanya Farel memastikan pertanyaan Davia. Davia
mengangguk. “Serius, Vi?” Davia mengangguk lagi.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Farel terlihat senang
mendengar hal itu. Dan Davia yang semula meneteskan air mata, kembali tersenyum
karena melihat kegirangan Farel.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Dulu ketika Farel
hendak memutuskan hubungannya Bersama Davia, Farel berkata bahwa ia akan
kembali bila ia sudah bisa mencintai Davia lagi. Dan sekarang cinta itu kembali
pada Farel.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Dan pada akhirnya, dua
sejoli yang sama-sama berstatus baru pertama kali pacaran itu kembali lagi
seperti dulu. Sejak hari itu, Farel selalu menyempatkan diri untuk Davia.
Mereka sering jalan berdua, bergandengan tangan dan saling bercanda. Dan sejak
saat itu pula senyum utuh Davia kembali utuh karena Farel.</span></div>
<blockquote class="tr_bq">
<i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Sesungguhnya,
cinta yang indah itu di dasari dengan hati yang tulus dan pengertian yang kuat.
Maka dari itu, suatu hubungan akan tetap utuh walau badai coba memisahkan.</span></i><i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Ibarat
dua ikan yang berenang melawan arus air, mereka tetap saling bergandengan untuk
melawan arus itu bersama-sama.</span></i></blockquote>
Ade Maulana Rahmanhttp://www.blogger.com/profile/06806462507728421518noreply@blogger.com0