Aku terduduk di kursi taman yang terletak tak jauh dari rumahku.
Tanganku memegang sebuah novel yang kebetulan belum aku baca sampai
halaman terakhir, ku benahi posisi dudukku, dan memasang sebuah headset
ke dua saluran pendengaranku. Bola mataku mulai bergerak kanan kiri
membaca setiap kata dalam novel. Angin sepoi-sepoi sesekali menerbangkan
beberapa helai rambutku. Keadaan sepi seperti di taman ini yang kucari
selain mencari tempat yang enak untuk membaca, aku juga ingin
menenangkan pikiranku selepas dari sibuknya kegiatan sekolah.
Drrzztt.. Drrzztt..
Kurasakan sesuatu bergetar dari saku celanaku, ya.. Handphone. Segera ku
rogoh saku celanaku dan melihat siapa yang mengirimkan pesan.
Assalamualaikum.
Sya, Ima sakit. Di Rumah Sakit Amanda.
Seketika perasaanku berdebar khawatir setelah membaca isi pesan
tersebut. Tanpa membalas sms yang masuk, aku langsung pergi menuju rumah
sakit yang dimaksud.
***
"Mbak, Ima kenapa?" tanyaku dengan napas terengah-engah, ketika sudah berdiri dihadapan wanita berjilbab anggun itu.
"Mbak, nggak tahu, Sya. Mudah-mudahan Ima nggak apa-apa" jawab wanita
yang berumur tiga tahun diatasku, yang kuikuti dengan mengaminkan.
Namanya Hani, kakak Ima, sahabatku. Jari-jarinya terlihat diremas-remas.
Wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang sangat akan keadaan adiknya itu.
Setelah dokter memeriksa keadaan Ima, dokter memberitahukan jika Ima
hanya kelelahan, dan telat makan, yang menyebabkan mag nya kambuh lagi.
Aku menghela napas lega. Syukurlah !
*****
Tanganku sudah sibuk berkutat mengerjakan PR rangkuman Geografi yang
lupa untuk aku kerjakan tadi malam. Memburu waktu, aku berusaha
menyelesaikannya sebelum bel berbunyi, suasana sekolah dan kelas masih
terlihat lengang. Aku pun sengaja berangkat pagi hanya untuk tugas itu.
"Huhft, beres juga" gumamku, sambil menghentakkan tangan kananku yang
letih sekian saat menggenggam pulpen. Kumasukkan kembali buku dan alat
tulisku ke dalam tas.
Kutatap jam berwana ungu muda yang melingkar dipergelangan tanganku ,
jarum jamnya berhenti pada jam 06.10 WIB. Masih sangat pagi, bukan?
Drzzt.. Drzzt..
Kurasakan getaran didalam tas sekolahku, apalagi kalau bukan pesan masuk. Aku melihat layar hp, muncul sebuah nama : Ima.
Sya, kamu udah nyampe di sekolah? Aku udah ada di halaman nih. Kesini dong [:D]
Setelah membaca smsnya, aku bergegas ke halaman belakang sekolah untuk
menemui Ima. Disana aku melihat seorang gadis membelakangiku, dengan
jilbabnya yang lumayan panjang, dan dilengkapi seragam panjangnya.
Keningku berkerut. "Mana Ima?" gumamku dengan nada suara yang hanya aku yang bisa mendengarnya.
Gadis yang ku lihat itu jelas bukan Ima, Ima gadis tomboy yang paling
suka main basket dan main gitar. Aku memutuskan untuk bergegas kembali
ke kelas.
"Sya..," panggil seseorang ketika kakiku nyaris melangkah.
Suara itu sudah tak asing bagiku, segera ku tolehkan kepalaku. Aku
terkaget-kaget, juga heran dengan apa yang kulihat . Gadis itu tersenyum
dan senyuman khas yang sudah sering ku lihat. Aku mendekat pada gadis
yang tak lain adalah Ima, gadis yang dikenal tomboy, dan bukan seseorang
seperti yang ku lihat sekarang.
"I... Ima, kamu?" Ucapanku menggantung, masih dengan perasaan heran melihatnya berubah 180 derajat.
"Assalamualaikum, Sya. Kenapa? Kamu kaget, ya lihat aku?" jawabnya yang tumben-tumbenan melontarkan salam. Manis sih..
Dhuar. Seperti meletus balaon hijauku.
"Waalaikumsallam, Ma. Jelas! Aku kaget dan gak percaya kamu pake jilbab?
Kok bisa, Ma?" tanyaku yang menatap Ima lekat-lekat. Ima tersenyum dan
memilih menatap lurus ke depan.
Kami pun duduk di kursi panjang, dekat kolam ikan sebelum meneruskan perbincangan.
"Ini udah saatnya aku menutup aurat, Sya. Aku sadar, aku ini udah
baligh, bukan anak kecil lagi. Saat aku masuk rumah sakit kemarin, aku
sempat bermimpi ketemu sama Alm. Ibuku. Dia datang menemuiku dengan
membawa jilbab berwarna putih. Senyuman ibu begitu indah dan mengembang.
Tanpa berbicara satu kata pun ibu menghilang setelah memberikan jilbab
yang ia pegang" jelas Ima, air matanya terlihat menetes.
Aku tak menyangka dengan perubahan drastisnya, padahal aku sudah lama
mengenal Ima, dan dia paling anti memakai jilbab, apalagi rok. Lebih
dari aku yang nggak terlalu risih kalau pake jilbab. Tapi, sekarang ia
terlihat anggun, dan nada bicaranya yang lembut tak seperti biasanya.
"Dari situlah aku merasakan kasih sayang ibu yang luar biasa, beliau
sejak dulu sangat menginginkan aku memakai jilbab dan menutup aurat.
Tapi aku membandel tak mendengar perintah Ibu. Sepertinya sekarang
saatnya aku diberikan kerinduan untuk menaati Ibu," butiran bening itu
sudah keluar dengan derasnya.
"Aku kangen Ibuku, Sya.."
Aku bisa melihat gurat penyesalan dari mata bulatnya.
"Udah, Ma. Jangan nangis! Aku yakin Ibu kamu udah bahagia sekarang. Kamu
cantik, lebih cantik setelah kamu pake jilbab. Aku kagum sama kamu,
Ma." Ima mengalihkan pandangannya menjadi menatapku. Lagi-lagi dia
tersenyum, dan tangannya mengusap sisa-sisa hujan yang jatuh dari
kelopak matanya.
"Aku harap kamu juga bisa pake jilbab, Sya" balas Ima, yang membuatku
tercekat. Aku bingung harus membalas omongannya dengan menjawab apa. Aku
hanya bisa menggoreskan senyum walaupun kupaksakan.
***
Semenjak memakai jilbab, Ima benar-benar total melaksanakan kewajibannya
sebagai seorang muslimah. Dulunya yang jarang banget sholat, sekarang
rajin sholat dan juga mengaji. Main basket pun memakai jilbab, padahal
kan agak ribet basket make jilbab begitu. Sekarang Ima memilih menambah
ikut eskul yang berbau Islami.
Disela-sela acara melamunku, kurasakan seseorang menyentuh bahuku, aku
segera menoleh dan beranjak dari dudukku. Sebuah senyum cantik sudah
menyambutku.
"Ima," ucapku, saat tahu orang itu adalah Ima.
"Udah adzan, tuh, sholat yuk? Dari pada ngelamunin yang nggak jelas" Ima
tersenyum, membuatku tersenyum malu, tahu saja kalau aku sedang melamun
tentang dirinya. Setelah sholat, Ima memberikan ku sebuah kotak sedang
yang berbalut kertas kado berwarna ungu, warna kesukaanku. Aku
menerimanya dengan rasa bingung, inikan bukan hari ulang tahunku. Dan
dalam rangka apa Ima memberikan kado itu?.
"Anggap aja itu kado ulangtahun kamu yang udah kelewat. Aku harap kamu
bisa pake itu setiap kamu menemui aku. Bukanya di rumah aja, ya, Sya"
ucap Ima, yang sudah menjawab pertanyaanku yang belum aku utarakan.
"Makasih, ya, Ma kadonya" balasku yang tak lupa tersenyum, lalu dibalas
cepat oleh Ima. Sesampainya di rumah, aku langsung membuka kado yang
diberikan Ima, karena dari tadi aku memikirkan apa isinya. Kertas kado
yang tadinya rapi, terburu-buru kusobek. Setelah terbuka, ku ambil kain
putih yang terlipat rapi itu.
"Jilbab..," gumamku tersentak. "Cantik banget jilbabnya. Tapi, aku belum
siap buat berjilbab," ucapku lirih, yang tak lain pada diriku sendiri.
******
Lantunan lagu Katy Perry-Firework berdering lewat handponeku. Tanganku meraba-raba dimana handponeku berada.
"Haduh, siapa sih yang telepon subuh-subuh? Kurang kerjaan apa?"
gerutuku, dengan mata yang belum terbuka sempurna. Nama yang tertera
dilayar HP pun tak ku lihat jelas.
"Hallo, " sapaku dengan nada sedikit kesal.
"Assalamualaikum, Sya" balas seseorang bersuara parau.
"Waalaikumsallam" jawabku singkat, diantara berat mataku yang terjaga dan tak terjaga.
"Sya, maaf sudah mengganggu subuh-subuh begini. Ini Mbak Hani.."
mendengar nama Mbak Hani, aku langsung bangkit dari tidurku, menjadi posisi duduk. Mataku mulai terbuka sempurna.
"Oh, Mbak! Ada apa, Mbak?"
"Sya, kamu bisa datang ke rumah Mbak, sekarang?" aku mendengar isak
tangis dari suara Mbak Hani yang dia sembunyikan. Entah benar atau hanya
perasaanku saja.
"Memangnya ada apa, Mbak?"
"Hiks, Ima. . Ima, Sya" tangisan itu memang nyata. Tiba-tiba perasaanku tak enak.
"Mbak, Ima kenapa?"
***
"Tengah malam Mbak masih mendengar Ima keluar kamar dan mengambil wudhu
untuk melaksanakan sholat tahajjud. Dan mbak masih mendengar dia mengaji
ayat suci Al-Quran. Sekitar pukul 04.00, Mbak pergi ke kamar Ima untuk
mengembalikan buku yang Mbak pinjam. Mbak lihat Ima malah terlelap
dengan mukena yang masih melekat di tubuhnya, beralas sejadah, dan
memegang Al-Quran. Saat mbak akan bangunkan, Ima gak memberi respon dan
ternyata Ima udah nggak bernapas lagi," jelas Mbak Hani yang terisak
menjelaskan kejadiaannya kepadaku, tepat di pinggir makam Ima yang masih
merah, bertabur bunga-bunga segar mewangi, dengan nisan yang kokoh
tertancap diatasnya "Fatimah Nurkhoerotun"
Sama halnya dengan Mbak Hani, aku tak menyangka Allah memanggil sahabat
terbaikku itu begitu cepat, dan juga dengan cara yang mulia, di hari
Jumat pula, hari yang penuh arti menurutku.
*****
Di rumah, segera kubuka surat yang diberikan Mbak Hani dari Ima untukku.
Assalamualaikum, Sya [:)]
Alhamdulillah, aku masih bisa menulis surat ini untukmu. Sebelum aku
benar-benar merasa Allah akan segera memintaku kembali dan dipeluk dalam
syurga-Nya, amien..
Sya, jilbab putih yang aku hadiahkan untukmu, adalah hadiah terakhir
yang bisa kuberikan. Dan berharap jika ada keinginan dalam hatimu untuk
segera memakainya.
Dulu kamu juga tahu diriku anti terhadap Jilbab. Tapi, alhamdulillah
Allah memberikan cahayanya pada hatiku yang gelap. Jilbab itu bukan
sesuatu yang buruk, bukan sesuatu yang risih, apalagi bisa menghilangkan
kecantikan seorang wanita. Itu salah besar, Sya! Coba kamu perhatikan
dirimu di cermin. Betapa cantiknya jika tubuh dan rambut indahmu
tertutup, bahkan lebih cantik. Kecantikan yang pertama itu berasal dari
hati, kecantikan hati nggak akan pernah pudar, tapi kecantikan wajah,
akan berkerut dan mengendor. Allah takkan memerintahkan sesuatu, jika
itu bukan untuk kebaikkan. Jilbab melindungi kita dari mata nakal
laki-laki, lebih menjaga kita dari hal buruk, dan wujud rasa cinta dan
patuh kita sebagai hamba-Nya. Aku masih belajar untuk memakai jilbab
sesuai syariat, kamu juga sama. Kita sama-sama belajar.
Oh iya, jangan lupa, Sya. Kalau kamu ingin menemuiku, pake jilbabnya, ya [:)].
Sekian dariku, dan Semoga Allah selalu melindungimu.
Wassalamualaikum wr.wb.
Sahabatmu, Ima []
Buliran hangat itu mengalir dengan sendirinya di pipi ini tanpa otakku
yang memerintahkan. Aku terenyuh, sangat benar yang dituliskan Ima dalam
surat itu. Aku menatap bayanganku di cermin, dengan kepala yang
terbalut jilbab pemberian Ima. Ya Allah, aku terlihat berbeda dan aku
merasakan getaran dalam hatiku, ketenangan yang belum aku rasakan
sebelumnya
******
Sodaqallahhul'adzim...
Wa shodaqo rosululloh..
Ku akhiri doaku saat itu disamping makam Ima. Kusirami air dan kutaburi bunga segar. Ku tatap batu nisan yang tertulis namanya.
"Assalamualaikum, Ma. Lihat kan aku datang dengan jilbab yang kamu kasih
ke aku. Aku cantik nggak? Hehe. Makasih ya, Jilbab ini sangat berati
untukku. Seperti dirimu! Kamu pasti sudah bahagia di Syurga Allah.
Terimakasih juga sudah mengingatkanku. Kamu sahabat terbaikku, Ma. Aku
sudah berjanji, akan memakai jilbab dan nggak akan aku lepas lagi"
---The End---
Sebuah cerpen remaja islami tentang sebuah jilbab yang simple tapi bisa
diambil hikmahnya. Tentang sebuah jilbab dan juga pesan terakhir seorang
sahabat. Semoga bisa jadi bacaan dan juga renungan.
Kisah anak Alay yang sok gaul tentang Blackberry...
9 tahun yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar